titastory.id, jakarta – Meskipun berbagai kebijakan telah diambil oleh pemerintah dari masa ke masa untuk mendorong pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI), ketimpangan yang terjadi antara wilayah barat dan timur terus melebar. Engelina Pattiasina, tokoh perempuan asal Maluku yang kini berdomisili di Jakarta, menyoroti bahwa perubahan kebijakan di setiap pemerintahan justru menambah kerumitan dalam upaya percepatan pembangunan KTI.
“Setiap pergantian rezim, kebijakan pengembangan KTI selalu berubah tanpa adanya keberlanjutan. Pemerintah kerap kali mengoreksi kebijakan sebelumnya dan memulai dengan ide baru yang pada akhirnya tidak membawa hasil konkret,” ungkap Engelina Pattiasina, Founder Archipelago Solidarity Foundation, dalam tulisan opini yang berjudul, Negara Jangan Hanya Mencintai SDA Kawasan Timur, Jumat, 4 Oktober 2024.
Engelina menilai bahwa ketiadaan “roadmap” atau cetak biru pengembangan kawasan timur telah memperlambat proses pembangunan yang diharapkan. Salah satu kebijakan yang dinilai gagal adalah program “transmigrasi” yang diterapkan pada masa Orde Baru, di mana penduduk dari Pulau Jawa dipindahkan ke kawasan timur.
“Kebijakan transmigrasi hanya memindahkan masalah dari Pulau Jawa ke kawasan timur yang sudah bergelut dengan masalahnya sendiri. Bukannya menyelesaikan masalah, justru persoalan semakin menumpuk,” ujar Engelina.
Selain transmigrasi, kebijakan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) pada masa Orde Baru juga dinilai gagal. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, kebijakan Kapet hilang begitu saja tanpa ada hasil yang signifikan.
Pada era pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, upaya percepatan pembangunan KTI sempat menjadi prioritas dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2000 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, Wahid juga membentuk posisi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Namun, kebijakan ini dihentikan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang menggantinya dengan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal.
Di era Presiden Joko Widodo, kebijakan untuk KTI kembali berubah dengan pengenalan konsep Indonesiasentris. Kendati sekilas positif dan populis, Engelina menilai bahwa kebijakan Indonesiasentris hanya memperparah ketimpangan kawasan.
“Indonesiasentris seolah menegaskan kesetaraan antara kawasan barat dan timur, padahal kawasan timur sudah jauh tertinggal selama puluhan tahun. Ini hanya menambah ketimpangan permanen karena tidak ada kebijakan afirmatif untuk kawasan timur,” tegasnya.
Ketimpangan Ekonomi dan Kemiskinan yang Terus Meningkat
Data “Produk Domestik Bruto (PDRB” Indonesia secara spasial menunjukkan bahwa Pulau Jawa masih mendominasi dengan kontribusi 57,05 persen pada 2023. Sementara itu, Sumatera berkontribusi 22,01 persen, dan kawasan Maluku serta Papua hanya menyumbang 2,58 persen.
Data triwulan II tahun 2024 menunjukkan hasil yang hampir serupa. Pulau Jawa tetap menyumbang 57,04 persen terhadap PDRB, diikuti Sumatera sebesar 22,08 persen, Kalimantan 8,18 persen, Sulawesi 7,16 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,84 persen, serta Maluku dan Papua sebesar 2,70 persen.
“Kontribusi PDRB yang timpang ini berbanding lurus dengan angka kemiskinan. Kelompok provinsi di kawasan timur, seperti Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Barat, masih mencatat angka kemiskinan tertinggi di Indonesia,” ujar Engelina, mengutip data BPS Tahun 2024.
Dari 17 provinsi di KTI, hanya empat provinsi yang memiliki angka kemiskinan di bawah 10 persen, yakni:
– Bali (4 persen),
– Maluku Utara (6,32 persen),
– Sulawesi Utara (7,25 persen), dan
– Sulawesi Selatan (8,06 persen).
Sementara itu, 13 provinsi lainnya termasuk dalam 15 provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia, seperti:
– Papua Pegunungan (32,97 persen),
– Papua Tengah (29,76 persen),
– Papua Barat (21,66 persen),
– Nusa Tenggara Timur (19,48 persen), dan
– Papua Barat Daya (18,13 persen).
“Dominasi Pulau Jawa dalam struktur perekonomian hanya memperburuk ketimpangan kawasan timur di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” tambah Engelina.
Ketiadaan Afirmasi dan Solusi yang Jelas
Engelina menyoroti bahwa ketimpangan tersebut diperparah oleh minimnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kawasan timur. Pada APBN 2024, total anggaran yang dialokasikan untuk 17 provinsi di KTI hanya sebesar Rp345,65 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan alokasi untuk Jawa Barat (Rp121,93 triliun), Jawa Timur (Rp129,3 triliun), dan Jawa Tengah (Rp111,89 triliun), yang jumlahnya hampir menyamai alokasi untuk seluruh provinsi di KTI.
Selain itu, Engelina menyoroti ketimpangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Realisasi APBD tahun 2022 untuk provinsi di kawasan timur total mencapai Rp75,1 triliun, lebih kecil dibandingkan realisasi APBD DKI Jakarta yang mencapai Rp77,9 triliun pada periode yang sama.
“Ini jelas menunjukkan bahwa kawasan timur tidak memiliki daya untuk mendorong percepatan pembangunan secara mandiri. APBD yang minim, ditambah dengan distribusi anggaran negara yang tidak merata, menjadikan kawasan timur terus tertinggal,” ungkap Engelina.
Menurut Engelina, pemerintah harus segera mengambil terobosan nyata untuk mempercepat pembangunan di KTI. Terobosan ini harus fokus pada pengembangan sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang merata.
“Keberpihakan yang nyata melalui kebijakan alokasi anggaran negara sangat dibutuhkan. Kalau hanya slogan dan pidato, kawasan timur akan terus terpuruk dan menjadi objek eksploitasi bagi kawasan barat,” pungkasnya. (TS-01)
Discussion about this post