titaStory.id, namlea – Bertepatan dengan peringatan HUT RI ke 78, bangsa ini ada dalam euforia kegembiraan. Baliho, umbul-umbul hingga berbagai lomba mewarnai HUT Kemerdekaan RI. Namun tak semua nuansa kegembiraan ini dirasakan oleh sebagian masyarakat di pelosok Nusantara. Berbagai masalah dihadapi, baik ketertinggalan maupun keterisolasian hingga diskriminasi oleh Negara karena mempertahankan tanah adat mereka.
Kondisi ini seperti dialami oleh masyarakat Desa Wapsalit, Kecamatan Kaiyeli, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku dalam setahun terakhir ini. Mereka terasa tidak merdeka di atas tanah adat milik leluhur mereka. Kenapa demikian, karena kemerdekaan yang hakiki dan ingin dirasakan adalah menyingkirkan PT Amor Geotermal tanah Titar Pito
Kebebasan yang mereka maksudkan adalah bahwa mereka tidak ingin meninggalkan rumah kediaman mereka di Desa Wapsalit dan memilih tinggal di hutan atau di tempat lain karena terpaksa sebab di cengkram ketakutan atas aktifitas pengeboran Gas alam oleh PT Ormat Geothermal.
Ada getaran, ada suara ledakan yang kerap kali terjadi dan diduga berasal dari lokasi pengeboran pada tiga titik, dimana titik terdekat berjarak 700-meter dari perkampungan warga.
Penolakan telah dilakukan warga, namun perasaan warga desa yang ingin merdeka itu pun seolah tak dihiraukan.
Warga memilih untuk PT ini meninggalkan lokasi karena merupakan lokasi sakral dan merupakan lokasi adat yang selama ini dijaga.
Terpancar jelas keinginan, perusahan PT Ormat Geothermal harus angka kaki dari Tanah Titar Pito.
Mengungsi dan membawa anak anak yang masih kecil dan terpaksa harus tidur berlapiskan kulit kayu pengganti kasur. Di hutan sesekali tangisan bayi menyaingi suara jangkrik dan serangga malam.
Sementara anak usia remaja kelas SMP dan SMA yang mulai paham keadaan tetap memaksakan pulas tidur hanya karena merasa aman karena ada Sombar atau lindungan orang tua yang menyembunyikan kecemasan. Namun sesungguhnya ada yang sementara ditakuti.
Mereka ingin perusahan ditutup, tak ada keinginan Lain, sebagaimana diungkapkan beberapa warga salah satunya, Lice Tasane di tenda pengungsian, (14/8/2023).
Dikatakan, operasi pengeboran dilakukan diatas gunung yang merupakan situs keramat masyarakat Soar Pito Soar Pa atau 7 Soa, Empat Soa di dataran tinggi Petuanan Kayeli tepatnya Titar Pito, dan Air Keramat Waemkedan (air tertua) sangat mencemaskan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi, karena kami tidak diberitahu,’ ulasnya dengan malu malu saat di sorot kamera handphone.
Dia juga menegaskan sebagai orang tua cukup kecewa karena anak dan cucunya manjadi korban sebab sudah berhari hari tidak ke sekolah.
“Anak dan cucu kami sudah berapa hari ini tidak ke sekolah karena kami harus pindah ke hutan,” ucapnya
“Kami ingin sekolah. Demikian diucapkan Popi Wael (14). Tak ragu menjawab cita citanya sebagai seorang dokter, Popi bilang pemerintah harus liat masa depan.
“Bagaimana mau sekolah? Sekolah saja tutup. Guru guru juga tak pernah melihat dan menjenguk kami,” ucapnya dalam bahasa hari hari dengan polosnya.
Lukas Wael, menegaskan aktifitas ditempat keramat jadi harus ditutup. Dan kami tidak akan biarkan tanah kami dikuasai.Kami ingin merdeka.
“Ditutup saja, merugikan, bikin susah. Keluar, kami tidak butuh panas bumi. Yang kamu butuh itu hidup tenang.Kami ingin kemerdekaan di tanah kami ” ucap Lukas tegas.
Di salah satu titik tenda pengungsian, Deliana Behuku, Koordinator aksi di Pulau Buru menerangkan aksi penolakan sudah dilakukan sejak tahun kemarin. Namun tidak ada respons yang berarti baik dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat.
“Ini namanya perampasan ruang hidup masyarakat. Proyek oleh PT Ormat Geothermal telah menyisakan luka dan duka,” ujarnya.
Dijelaskan, ketika ada bersama emak emak di tenda pengungsian maka ada sejumlah persoalan yang kini terbenam di setiap benak.
Persoalannya adalah soal hak hidup aman dan nyaman. Persoalan makan dan pakai. Hal pendidikan anak anak.
“Warga mengungsi seolah dianggap lelucon, padahal aktifitas di belakang Desa Waipsalit menimbulkan ketakutan bagi warga setempat. Jika mereka tidak takut mengapa mereka mengungsi atau menyingkir? pungkas Koordinator SASI Kabupaten Buru ini.
Dengan demikian, kata Deliana, pemerintah tidak bisa menutup mata atas kondisi ini. Mereka harus menyerap aspirasi masyarakat sehingga tidak menimbulkan persepsi dan kecurigaan yang negatif dari masyarakat.
Diakhir pernyataannya perempuan adat Pulau Buru ini menegaskan, masyarakat butuh kepastian. Kepastian yang dimaksudkan adalah bahwa aktivitas perusahaan harus ditutup dan harus meninggalkan lokasi. Pendapat mereka ini pun terurai bahwa kemerdekaan bukan soal angka 78, bukan soal tahun 1945 dan tahun 2023, namun angka yang mereka inginkan ratusan warga harus menghirup kebebasan dan udara kemerdekaan dari kungkungan ketakutan. (TS-02)