TITASTORY.ID, – Saya mencermati duel argumentasi dan pertengkaran konsep, di beberapa grup WhatsApp maupun di berbagai dinding Facebook, seputar tema “Pemerintah daerah berutang ke PT SMI”. Sebenarnya tidak ingin berkomentar, karena menyadari basic keilmuan saya bukan disitu.
Walaupun saya memahami bahwa fungsi media sosial, merupakan arena pertikaian pemikiran secara bebas tanpa wasit. Atau juga memiliki fungsi lain sebagai tempat dirkursus bagi semua orang untuk tuangkan aneka ide, dan ragam gagasannya terkait problematikkah Maluku.
Tetapi, karena tema tersebut, terus di daur ulang dan selalu mewarnai setiap percakapan publik. Maka, saya tertarik untuk mendonor sedikit argumen melalui tulisan ini.
Di tulisan ini, saya tidak dalam posisi mengupas utang tersebut dalam konteks “membebani rakyat atau pemerintah daerah”. Tetapi saya lebih kepada menyoal hal-hal urgensi analisis kebijakan berutang, dan sistem peminjaman yang di lakukan oleh PT SMI kepada pemerintah daerah.
Oleh karena itu, mengawali opini ini saya melontarkan beberapa pertanyaan kritis. Yaitu, pertama, apakah hutang tersebut ada sistem suku bunganya atau tidak ? Kedua, apakah dana tersebut sudah digunakan untuk membangun infrastruktur sesuai dengan skala prioritas ?, Dan ketiga, apakah Pemerintah daerah sudah transparansi dan accountable dalam kelola dana tersebut ?.
Pertanyaan semacam ini, pentingnya di jawab oleh pemerintah daerah Provinsi Maluku, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Agar menghindari dugaan dan spekulasi publik, setidaknya Pemerintah daerah tidak sering di intip oleh masyarakat terkait kebijakannya.
Dalam memahami esensi utang pemerintah daerah ke PT SMI, tidak cukup dengan menggunakan satu perfective atau hanya semata-mata meneropong dari optik ekonomi, tetapi juga bisa dari optik normatif dan perfective yang lain. Begitu pula menilai langkah pemerintah daerah untuk berutang di PT SMI tersebut, jangan hanya di interpretasikan secara negatif, tetapi juga harus positif.
Sebagaimana diketahui, Asbabun nuzul terjadi utang mayoritas Pemda se-Indonesia ke PT SMI. Karena Negara pada tahun 2019 lalu, di landa dengan pandemik covid-19, yang mana mengakibatkan hampir semua sektor terpukul dan babak belur, terutama di sektor ekonomi.
Maka atas dasar itulah, Pemerintah pusat merancang dan menetapkan sebuah kebijakan, yang namanya program pemulihan ekonomi (PEN). Kebijakan pemerintah terbaru yang menjadi bagian dalam program PEN tersebut, adalah kredit PEN Daerah. Hal ini, bertujuan untuk menjalar ke masyarakat Indonesia secara luas, serta memberikan implikasi positif untuk menopang pertumbuhan pembangunan infrastruktur di daerah.
Dengan demikian, pinjaman PEN Daerah di Maluku, mestinya dapat menjadi sumber alternatif dukungan bagi daerah untuk pemulihan ekonomi. Namun, perlu dipahami tujuan utama pinjaman atau kredit PEN daerah adalah khususnya di prioritaskan bagi daerah2 di Indonesia, yang memiliki skala prioritas dan mengalami dampak Covid-19 yang relatif parah. Agar bisa membiayai berbagai belanja prioritas di tingkat daerah.
Kalau memang tujuan pinjaman PEN ke daerah demikian. Maka, muncul beberapa pertanyaan kritis ialah seberapa parah Maluku kena dampak covid-19 ketika di landa dengan pandemik saat itu ? Indikator dan variabel ilmiah apa terkait sektor mana saja yang terpukul akibat pandemik covid-19 ? Dan apa urgensi analisis kebijakan Pemerintah daerah, sehingga berutang kepada PT SMI ?
Sekali lagi, ini bukan masalah utang tersebut menjadi beban daerah atau masyarakat, atau utang tersebut pemotongan melalui DAU dan DAK. Tetapi alasannya harus di jelaskan secara objektif rasional ilmiah, dan utamanya pertanggungjawabannya harus secara transparansi dan akun tabel. Sehingga dapat dipahami oleh masyarakat luas.
Sebagaimana diketahui bersama sejauh ini, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), telah mendistribusikan pembiayaan atau utang kepada kurang lebih 24 pemerintah daerah di seluruh Indonesia, pada akhir tahun 2019 sebesar 4,61 Triliun.
Namun, Pemerintah pusat memberikan tenggang waktu hanya 24 bulan maksimal atau selama waktu penyelesaian proyek infrastruktur. Jangka waktu pinjaman bagi setiap daerah paling lama 10 tahun, karena dana dari BI, maka jangka waktunya antara 5-7 tahun. Kalau selama 10 tahun maka berarti pemerintah menenggang 3 tahun lebih panjang.
Esensi pendistribusian pinjaman dari PT SMI ke pemerintah daerah Maluku, dilakukan guna mendukung pemda dalam percepatan penyediaan, dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat setempat. Sehingga proyek infrastruktur yang akan di bangun di Maluku, dari dana pinjaman PT SMI harus di prioritaskan ke pembangunan infrastruktur rumah sakit daerah, jalan maupun jembatan.
Jika dana pinjaman tersebut, sudah dapat di pergunakan atau di realisasikan untuk membangun pembangunan infrastruktur di Maluku, sesuai dengan skala prioritas infrastruktur RSUD, jalan maupun jembatan. Maka, kita perlu apresiasi kebijakan pemerintah daerah, yang menggunakan dana tersebut sesuai dengan tujuan utama pinjaman. Dan tentunya berimplikasi positif memulihkan dan menopang pertumbuhan ekonomi Maluku.
Tetapi, sebaliknya jika misalnya sejauh ini kebijakan pemerintah daerah, terkait dengan penggunaan dana pinjaman tersebut, belum transparansi dan akun tabel, ada sistem suku bunga maupun penggunaan dananya belum orientasi menggenjot pertumbuhan pembangunan infrastruktur di beberapa sektor di atas. Maka, Pentingnya peran masyarakat untuk mengawasi dan mempertanyakan analisis urgensi kebijakan pemerintah selama ini.
Maka tugas kita masyarakat Maluku atau sebagai sivil society adalah mendorong pemerintah daerah, agar lebih ekspansif dan produktif dalam pembangunan infrastruktur di Maluku, guna demi kepentingan pemulihan ekonomi daerah.
Sebab, yang menjadi kekhawatiran publik dan masyarakat Maluku selama ini, jangan sampai PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dapat merugikan daerah, dengan menerapkan skema pinjaman berbunga tinggi pada pembangunan infrastruktur di Maluku.
Karena PT SMI merupakan organ keuangan non bank, yang berkembang biak di tubuh kementerian keuangan republik Indonesia. Sehingga bisa saja memungkinkan ada akibat tagihan bunga pada Pemda Maluku. Dan hal ini, menjadi antisipasi daerah lain juga di Indonesia.
Oleh karena itu, pentingnya pemerintah daerah harus memahami perbedaan, prinsip skema pinjaman, dan skema pembiayaan oleh PT SMI dalam kedudukannya sebagai organ keuangan non bank, yang berkembang biak di tubuh kementerian keuangan RI.
Jika, kebijakan PT SMI memberlakukan bunga utang nanti kepada Pemda Maluku. Maka, tentunya kebijakan tersebut tidak relevansi dengan tujuan pembiayaan, sebagaimana yang kita Kotahui, yaitu untuk pembiayaan Infrastruktur daerah.
Dengan demikian terkait penggunaan dana tersebut, muncul teka teki bagi publik, bahwa apakah tujuan utang pemerintah daerah ke PT SMI, murni sebagai pembiayaan infrastruktur atau pinjaman dengan memberlakukan bunga utang ?
Jangan sampai PT SMI berbisnis dengan Maluku, dan menjelma menjadi monster keuangan yang mencekik daerah. Hal ini, bisa mungkin terjadi ketika PT SMI meneropong potensi gagal daerah bayar utang nyaris tidak ada.
Oleh karena itu, Pemerintah daerah perlu transparansi dan akun tabel untuk mengelola dana tersebut. Selain itu, juga harus menjelaskan kepada publik terkait sistem pembiayaan atau pinjaman, yang diberikan oleh PT SMI kepada pemerintah daerah Provinsi.
Pemerintah daerah juga harus menjelaskan kepada publik, apa dan bagaimana penggunaan anggaran tersebut dalam membangun pembangunan infrastruktur di Maluku. Utamanya di sektor RSUD, Jalan maupun Jembatan. Dan apakah ada penagihan suku bunga atau tidak dari PT SMI.(**)