ESKALASI konflik di Bumi Cenderawasih semakin meningkat seiring upaya pasukan gabungan TNI-Polri menggelar operasi penyelamatan pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens yang ditawan oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sejak 7 Februari lalu.
Insiden terbaru pecah, pada Sabtu, 15 April saat pasukan tim gabungan Satuan Tugas Batalion Infanteri Raider 321/Galuh Taruna dan Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat bergerak mendekati tempat penyanderaan, namun secara tiba-tiba muncul serangan dari kelompok TPNPB-OPM di Distrik Mugi-Mam, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan.
Peristiwa kontak senjata melawan kelompok TPNPB-OPM yang dipimpin Egianus Kogoya itu akhirnya menewaskan empat prajurit TNI.
Menghadapi kondisi ini Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, seperti yang dilansir dari tni.mil.id pada Selasa (18/4/2023) akhirnya menetapkan status siaga tempur di wilayah rawan konflik di Papua saat menyampaikan jumpa pers di Lanud Yohanis Kapiyau Timika, Papua.
Persoalannya status operasi TNI dari pendekatan lunak (soft approach) ditingkatkan menjadi operasi siaga tempur jika ditinjau dari kacamata hukum tidak ada dalam nomenklatur Undang-Undang TNI maupun Peraturan Pemerintah yang mengatur pertahanan negara dalam keadaan bahaya.
Untuk itu, penetapan status siaga tempur yang dicetuskan oleh Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dalam menjawab situasi keamanan di Papua patut dipertanyakan legitimasinya dan seperti apa bentuk operasinya?
Hal ini tidak hanya dapat ditafsir liar dan berimplikasi memantik kecemasan warga sipil di Nduga Papua tetapi juga perlu digaris bawahi sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam UU itu disebutkan bahwa sistem pengelolaan pertahanan Negara maupun pengerahan TNI harus mengikuti instruksi Presiden yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Karena itu, pemberlakuan status siaga tempur oleh Panglima TNI Laksamana Yudo Margono bisa dikatakan diluar aturan hukum dan cenderung mencerminkan respon reaktif dari situasi kebatinannya sebagai seorang Panglima atas gugurnya satu persatu prajurit TNI dibawah naungan kepemimpinanya.
Namun disisi Lain, memperhatikan serangkaian ancaman teror yang kukuh dilancarkan TPNPB-OPM dengan tuntutan pengakuan Indonesia atas kemerdekaan Papua maka langkah Panglima TNI Laksamana Yudo Margono patut dipertimbangkan untuk dinilai sebagai sebuah langkah progresif atas ambiguitasnya kebijakan politik pemerintah menanggapi situasi keamanan dan pertahanan (hankam) di Papua.
Ketidakseriusan pemerintah dalam mencari resep penyelesaikan konflik di Papua justru membuat siklus lingkaran kekerasan terus dilanggengkan dan sebagai konsekuensinya korban baik militer maupun warga sipil terus berjatuhan.
Amnesty Internasional Indonesia mencatat, sepanjang tahun 2018 hingga 2022, terdapat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan dan kelompok pro kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil. Sedangkan korban jiwa yang berjatuhan dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan diluar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Sejauh ini Pemerintah juga tak pernah dengan lantang dan tegas menetapkan status keamanan di Papua, apakah darurat sipil, darurat militer ataukah berstatus dalam keadaan perang sebagaimana merujuk pada Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Penempatan personil TNI-Polri pada setiap pos-pos militer untuk menduduki wilayah basis operasi TPNPB-OPM tanpa alas kebijakan politik dalam arti pemerintah memperjelas status keamanan wilayah serta kurang begitu terkonsepnya jenis operasi militer, sama dengan pemerintah mengamini nyawa prajurit dikorbankan sebagai tumbal.
Disamping itu, pelabelan TPNPB-OPM sebagai Kelompok Separatis Bersenjeta (KSB) atau Kelompok Separatis dan Teroris (KST) belum terlalu diarusutamakan.
Persepsi publik sejalan dengan pola yang di-framing media dimana TPNPB-OPM masih dianggap sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dalam paradigma hukum tentunya akan ditangani dan berhadapan dengan aparat penegak hukum atau institusi Polri.
Kondisi semacam ini justru merugikan institusi TNI sendiri karena tidak bisa berbuat banyak dan seolah-olah hanya sebagai penyokong dan pembantu tugas Polri. Posisi TNI ibarat buah simalakama; maju tanpa restu, mundur akan malu. Sementara penguasaan taktik tempur gunung hutan merupakan kapasitas TNI yang seharusnya berada di garda terdepan.
Mencermati serangkaian aksi teror yang dilancarkan TPNPB-OPM bisa dibilang sebagai ancaman militer yang dilakukan secara terorganisir, mengerahkan kekuatan persenjataan, telah membahayakan kedaulatan dan keutuhan negara, serta membahayakan keselamatan dan keamanan warga sipil.
Bila pemerintah tidak bernyali memutuskan suatu kebijakan politik untuk mengevaluasi situasi hankam di Papua, sebagaimana wacana operasi siaga tempur yang diinisasi Panglima TNI Laksamana Yudo Margono maka sudah saatnya pendekatan militeristik terutama dalam operasi penyelamatan pilot Susi Air, Philip dikaji kembali.
Dan jika pemerintah tidak menerapkan pendekatan militer secara terukur dan terencana yang mestinya dirumuskan oleh Presiden, menteri pertahanan, DPR maupun seluruh stakeholder terkait maka seyogianya Pemerintah harus berani memilih opsi negosiasi.
Pendekatan humanis dengan negosiasi dan membuka ruang dialog adalah harapan sejumlah pihak demi mendorong situasi kondusif bagi jaminan keselamatan masyarakat sipil di Papua serta keselamatan para personil yang bertugas.
Marwah bangsa Indonesia juga sedang dipertaruhkan di kancah internasional maka strategi dan pendekatan yang tepat mesti segera ditetapkan Pemerintah guna mencegah jatuhnya anak bangsa dan mempertimbangkan keselamatan sandera pilot Susi Air, Philip yang masih berada di tangan TPNPB-OPM.
Menggelar meja perundingan untuk mendengarkan permintaan TPNPB-OPM dan saling mencari solusi yang berorientasi menghapus akar masalah di Papua, bisa menjadi langkah yang perlu diupayakan Pemerintah. Harapannya konflik di Papua akan mereda seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan sumber daya manusianya.
Kaitan dengan itu, aparat keamanan di Papua agar bertindak secara cermat khususnya dalam status siaga tempur yang sedang diberlakukan saat ini, jangan sampai ada lagi warga sipil yang kembali menjadi korban. Hendaknya jaminan rasa aman bagi warga sipil patut diutamakan.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pattimura dan aktif di Komunitas Penulis Maluku
Discussion about this post