Oleh : Andre Barahamin
TITASTORY.ID,- Saat kota-kota besar di Indonesia sedang digulung gelombang protes para pelajar dengan dukungan buruh, petani dan organisasi sosial lain, di bagian utara pulau Halmahera, sekelompok kecil orang Tobelo Dalam juga sedang berjuang. Bertahan hidup di tengah gempuran perusahaan-perusahaan tambang nikel yang mengincar wilayah adat mereka.
Pola hidup yang bergantung sepenuhnya pada kebaikan hutan dianggap sebagai sandungan dan tidak lagi cocok dengan kereta pembangunan yang bergerak cepat. Menyandarkan diri sepenuhnya kepada alam dipandang sebagai laku terbelakang yang sinonim dengan slogan anti pembangunan.
Mengenal Tobelo Dalam
Tobelo Dalam, adalah penyebutan terhadap komunitas pemburu peramu terakhir yang bermukim di belantara Halmahera. Migran lokal yang mendiami daerah pesisir pantai, perusahaan dan pihak pemerintah memandang orang-orang Tobelo Dalam sebagai kelompok terbelakang peninggalan masa lalu yang seharusnya hanya eksis di buku-buku yang berkisah tentang perjalanan manusia di periode saat mesiu belum ditemukan.
Tobelo Dalam hidup terpisah dalam kelompok-kelompok kecil yang mendiami wilayah tertentu di dalam hutan Halmahera. Setiap kelompok menghargai demarkasi antar teritori ini sehingga rute semi-nomadik akan hanya terbatas di dalam wilayah tersebut. Tidak ada aktivitas perburuan hewan atau pengumpulan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan obat dan makanan yang dilakukan di dalam wilayah kelompok lain.
Aturan tidak tertulis tersebut memiliki konsekuensi serius yang dapat berujung pada hilangnya nyawa para pelanggar. Marka antar teritori – seperti umum ditemukan pada komunitas-komunitas adat lain di Nusantara – biasanya berupa sungai, gunung atau bukit.
Hingga hari ini, menurut Burung Indonesia (2005) ada sekitar 21 kelompok Tobelo Dalam yang mendiami hutan Halmahera dengan jumlah anggota yang berbeda-beda. Selama puluhan tahun, mereka menjadi sasaran dari upaya Kristenisasi dan Islamisasi dan juga upaya pemerintah untuk mengubah pola hidup semi-nomadik orang-orang Tobelo Dalam yang dikenal dengan nama resettlement yang mencapai titik puncaknya di akhir dekade 1970-an hingga 1980-an.
Kristenisasi misalnya, merupakan satu dari dua perubahan besar yang memengaruhi orang-orang Tobelo Dalam, pertama kali dimulai pada akhir tahun 1982 ketika tim misionaris Barat dari New Tribes Mission, sebuah organisasi misionaris Protestan evangelis, mendarat di dekat mulut Sungai Lili untuk menyebarkan Injil. Tim tersebut terdiri dari empat keluarga, masing-masing berasal dari Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Indonesia. Mereka menghabiskan lima tahun awal untuk mempelajari dialek Lili dari bahasa Tobelo sehingga mereka dapat mengajarkan Injil di Tobelo.
Selama lima tahun itu, mereka juga terlibat dalam berbagai proyek, yang dapat dianggap sebagai bentuk-bentuk “pengembangan masyarakat,” termasuk mengajar bahasa Indonesia dan menerapkan program melek huruf di Tobelo. Salah satu proyek dengan konsekuensi yang luas adalah upaya misionaris untuk mengkonversi pola hidup komunitas-komunitas adat di Tobelo dari subsistensi berbasis perburuan dan meramu (hunting and gathering) menjadi berbasis hortikultura dengan menyediakan bibit kelapa untuk orang-orang yang bersedia membuka lahan untuk menanamnya.
Kristenisasi dipandang sukses hingga menjadi sebab replikasi model ini – dengan modifikasi-modifikasinya – oleh kelompok Islam.
Namun secara kultural, perubahan paling besar yang dihadapi oleh orang-orang Tobelo Dalam adalah adalah proyek pemukiman (resettlement). Pembuatan kampung-kampung ini dipicu salah satunya oleh kedatangan perusahaan kayu Barito Pacific pada tahun 1989. Duet mematikan Barito Pacific dan Negara untuk membangun desa-desa sebagai kandang bermukim bagi kelompok seminomadik terutama menyasar kelompok-kelompok yang berada di dalam atau di sekitar wilayah konsesi penebangan kayu. Pemukiman dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk meredam resistensi pembabatan hutan oleh perusahaan dengan izin negara.
Proyek ini tidak hanya berbentuk kesepakatan informal, tapi merupakan permufakatan jahat yang dilegalisasi. Untuk mendapatkan keleluasaan menghabiskan pohon di belantara Halmahera, Barito Pacific memiliki kewajiban untuk membangun resettlement. Salah satu hasilnya adalah pemukiman yang terdiri dari enam puluh rumah individu, tiga sumur, sekolah, gereja, lapangan atletik, dan fasilitas lainnya di awal beroperasinya Barito Pacific. Mereka juga membantu desa dalam berbagai upaya pengembangan seperti menyediakan bibit pohon dan benih lainnya untuk kebun-kebun orang-orang Tobelo Dalam.
Penyebutan Tobelo Dalam sendiri mengandung dilema antropologis. Hal ini disebabkan oleh dua muka penyebutan tersebut sebagai upaya setengah hati untuk membedakannya dengan kelompok pemukim di daerah pesisir pantai yang juga menyebut diri mereka sebagai orang Tobelo. Meski sebenarnya, orang-orang Tobelo Dalam lebih memilih menamai komunitas mereka sebagai O Hongana Manyawa.
O Hongana Manyawa adalah satu dari sedikit masyarakat adat nomaden terakhir yang tersisa di Indonesia. Mereka sangat bergantung pada hutan sebagai sumber makanan mereka, jembatan mereka untuk menghubungkan mereka dengan Tuhan dan leluhur mereka, serta rumah mereka selama ratusan tahun. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, O Hongana Manyawa adalah salah satu dari beberapa masyarakat adat nomaden terakhir di Indonesia dan merupakan kelompok masyarakat adat yang terancam punah.
Namun penyebutan Tobelo Dalam masih dipandang jauh lebih baik dari kesalahan yang umum terjadi di banyak literatur sejarah, dokumen pemerintah hingga catatan antropologis yang biasanya menyebut O Hongana Manyawa sebagai Tugutil (Fraassen 1980: 136; Huliselan 1980; Martodirdjo 1991; Meite 1933; Safwan 1995; Taylor 1990: 34). Kesalahan fatal ini terus dipelihara meski pada dasarnya penamaan Tugutil sangat bermasalah karena sejumlah alasan. Misalnya, penggunaan “Tugutil” oleh Pemerintah Indonesia secara semena-mena dilakukan untuk merujuk pada kelompok apa pun yang diklasifikasikan sebagai “suku terasing” (masyarakat terasing) yang berada di pulau Halmahera.
Akibat langsungnya, para penutur Modole di distrik Kao, beberapa kelompok berbahasa Weda di Halmahera Tengah, serta penghuni hutan berbahasa Tobelo di berbagai lokasi, semuanya dikelompokkan bersama di bawah satu penamaan tunggal. Kebingungan tersebut semakin menjadi-jadi saat dokumen yang dirilis oleh Pemerintah (KWDSPM 1996; Safwan 1995) dengan semena-mena melakukan klasifikasi seperti: Tugutil Lino, Tugutil Modelo, Tugutil Biri-biri dan lain sebagainya, tanpa mengidentifikasi perbedaan-perbedaan antar kelompok tersebut secara antropologis selain kenyataan perbedaan ruang hidup teritorial secara geografis.
Penggunaan Tugutil juga merupakan aksi derogatif yang dibasiskan pada pandangan diskriminatif bahwa komunitas-komunitas adat yang masih menjaga nilai dan menjalankan praktek-praktek kultural sebagai barbar, tidak beradab dan tidak berbudaya (barbaric, uncivilized and cultureless). Tugutil sebagai nama adalah bentuk kolonialisme yang gagal mengidentifikasi keunikan sebuah sistem budaya hingga memilih jalan singkat yang rasis.
Tingkat kepercayaan orang-orang Tobelo Dalam pada orang luar sangat rendah. Ini bisa dilihat dari bagaimana mereka berkomunikasi dengan orang luar atau dari mata yang curiga ketika bertemu dengan orang luar. Anggota kelompok tidak akan menjawab pertanyaan dari orang luar yang baru saja bertemu. Sikap ini adalah salah satu mekanisme pertahanan mereka untuk melindungi diri dan komunitas, yang merupakan akumulasi dari trauma pengalaman di masa lalu ketika berinteraksi dengan orang dari luar.
Ketersediaan sumber makanan dari hutan membantu memastikan kelangsungan hidup kelompok Tobelo Dalam di Akejira. Sebagai kelompok berburu dan mengumpulkan masyarakat, makanan diperoleh langsung dari alam/hutan.
Secara umum, masyarakat Tobelo Dalam tidak mengenal sistem budidaya pertanian seperti menanam singkong, nanas, tebu atau padi. Mereka biasanya menggunakan produk alami untuk bahan makanan mereka seperti sagu, umbi hutan, berburu, memasang jerat dan menangkap ikan. Pisang, singkong, nanas, dan tebu biasanya diambil dari kebun penduduk desa yang memiliki hubungan dengan mereka.
Mengusir Tobelo Dalam
Grup Akejira adalah salah satu dari 21 kolektif orang-orang Tobelo Dalam yang tinggal di sekitar hulu sungai Akejira, tepatnya di belakang desa Woejerana. Interaksi kelompok ini dengan masyarakat luar baru dimulai ketika perusahaan tambang menjelajahi sekitar kawasan hutan Akejira. Pertemuan ini kemudian membawa beberapa anggota kelompok laki-laki untuk pergi ke desa sambil mencari kebutuhan tertentu untuk kelompok tersebut. Perempuan dan anak perempuan tinggal di belakang untuk alasan keamanan.
Sekarang gaya hidup nomaden yang bergantung pada tradisi berburu dan mengumpulkan orang-orang Tobelo Dalam di Akejira berada dalam bahaya penghancuran oleh koalisi jahat perusahaan-perusahaan penambangan yaitu PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), PT. Weda Bay Nickel (WBN) dan PT. Tekindo Energy yang sedang mengincar hutan Akejira untuk mengambil untung.
Hutan Akejira, domain leluhur tempat O Hongana Manyawa masih hidup, menjadi sasaran pengusiran karena kekayaan nikel yang tersembunyi di bawah tanah mereka. Perusahaan-perusahaan ini mengabaikan Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (PADIATAPA) dan mulai membangun jalan untuk mendukung kegiatan penambangan mereka.
Meskipun aktivitas ini ditolak oleh orang-orang Tobelo Dalam di Akejira, perusahaan-perusahaan ini masih bersikeras menjalankan rencana tersebut. Perlawanan dan protes yang dilakukan dengan mudah dapat diredam perusahaan – semisal pembubaran aksi pemalangan jalan oleh keluarga orang Tobelo Dalam di Akejira yang mendapatkan dukungan dari pihak kepolisian.
Upaya pengusiran komunitas adat Tobelo Dalam dari Akejira yang kini sedang berlangsung merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan melanggar berbagai aturan di tingkat internasional – seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP), Pasal 18b dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2012 (MK 35/2012). Selain itu, pengusiran O Hongana Manyawa yang berada di Akejira merupakan praktek etnosida, yaitu penghancuran manusia dan kebudayaannya melalui pengusiran, relokasi dan pelarangan.
(Tulisan ini pernah dimuat Media Malutpost tanggal 22 oktober 2019 dan Penulis adalah Peneliti lepas, Antropolog)
Discussion about this post