TitaStory,Ambon,.-Ditengah upaya mempertahankan nilai-nilai adat sebagai warisan leluhur, status Tulehu sebagai Negeri Adat kini terancam hilang, berganti dengan Desa administrasi. Ironisnya, ancaman perubahan status ini mencuat setelah terjadi kisruh pemilihan Raja Negeri setempat yang tidak kunjung diselesaikan dengan baik. Usulan calon raja dari mata rumah parentah belum ada kata kesepakatan.
Bupati Maluku Tengah (Malteng), bahkan dengan sigap memanfaatkan momen ini dengan mengusulkan proses pemilihan raja dilakukan secara langsung yang kemudian menerbitkan SK Panitia Pemilihan Kepala Pemerintah Negeri Tulehu, sebagaimana yang terjadi di desa administratif, bukan Negeri Adat.
Kebijakan Bupati Malteng, Tuasikal Abua ini tentu saja disesalkan dan menimbulkan kontroversi di masyarakat. Menyikapi kondisi yang terjadi, dua akademisi di Maluku, Abdul Rahim Lestaluhu, S.Pi, M.Si dan Dr. Rirvency Vania Rugebregt, SH, MH angkat bicara.
Lestaluhu mempertanyakan, siapa yang berhak untuk merubah model pemilihan kepada desa adat. Meskipun masih menimbulkan sesal bagi sebagian anak negeri, Lestaluhu menilai, realitanya setidaknya polemik siapa yang harus menjadi Raja Negeri Tulehu telah selesai. Empat nasab keturunan mataruma parenta Bangsa Roho Ohorella, tak lagi berseteru terkait siapa yang berhak menjadi raja. Persoalan penentuan raja diserahkan kepada masyarakat (adat?) untuk memilih rajanya secara demokratis.
Implikasi dari sikap legowo empat nasab tersebut, lanjut dia, menyebabkan hak eksklusif keturunan Bangsa Roho Ohorella sebagai mataruma parenta, untuk menjadi raja atau Kepala Pemerintah Negeri Tulehu sudah berakhir. Semua warga masyarakat Tulehu (adat) yang memenuhi syarat, dapat menggunakan haknya untuk dipilih, tidak saja memilih. Selain itu, ada ancaman terjadi perubahan bentuk “Negeri”, dari Desa Adat menjadi Desa.
“Atas implikasi tersebut, mengacu pada Undang-Undang Desa Nomor 16 tahun 2014, pemilihan kepala desa bagi Desa dilakukan secara langsung, layaknya pemilihan kepala daerah atau presiden. Sementara pemilihan kepala desa untuk Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat yang berlaku di desa adat tersebut,”ucapnya.
Tulehu sebagai desa adat menurutnya, memiliki hukum adat terkait pemilihan kepala desa (raja). Hukum adat yang berlaku adalah raja berasal dari fam / marga Ohorella dari keturunan Patti Akarabu Ohorella, yang untuk saat ini diteruskan oleh keturunan Bangsa Roho Ohorella.
Dalam terminologi desa adat, fam / marga keturunan raja ini disebut sebagai “matarumah parenta”. Dengan demikian, atas hak asal usulnya, Tulehu sebagai desa adat penentuan kepala desanya (raja) ditentukan oleh matarumah Ohorella Bangsa Roho.
Dia membeberkan, pasca meninggalnya Almarhum Raja John Saleh Ohorella, terjadi kekosongan raja. Upaya untuk menentukan raja ini tak menemui kata sepakat, hingga berujung pada pertemuan Masohi, tanggal 13 Januari 2022, yang melahirkan keputusan pemilihan secara demokratis untuk menentukan kepala pemerintah Desa Tulehu. Dengan konsekuensi tak ada lagi yang namanya matarumah parenta.
Lestaluhu pempertanyakan, apakah keputusan tersebut tidak sepihak. Selain itu, dengan terjadinya deadlock di internal matarumah parenta Ohorella Bangsa Roho, sebagai penerima mandat (mandataris) dari matarumah yang terepresentasi dalam lembaga adat “Saniri”, apakah tidak seharusnya hak istimewa sebagai raja itu dikembalikan ke pemberi mandat?
Disamping itu, masyarakat adat yang terdiri dalam beberapa matarumah sebagai entitas kesatuan masyarakat hukum adat yang membentuk desa adat Tulehu, apakah tidak berhak mengambil kembali mandat “matarumah parenta” dari marga Ohorella Bangsa Roho untuk diberikan kepada marga lainnya.
Deadlock, menurut Lestaluhu, tidak serta merta membuat matarumah parenta yang dimandatkan kepada keturunan Ohorella Bangsa Roho secara sepihak merubah tradisi penentuan raja, tanpa melibatkan matarumah lainnya.
“Terlalu dini, atas hak apa, kewenangan apa, sehingga penentuan raja oleh matarumah parenta, sebagai bagian dari tatanan adat yang berlaku di desa adat Tulehu dirubah, dengan memilih opsi pemilihan secara demokratis sebagai solusi memecah kebuntuan?,”tanya Lestaluhu.
Menurutnya, Negeri Tulehu terlahir dari empat matarumah. Rumahtau resi, rumahtau ei, rumahtau aker dan rumahtau teri. Rumahtau lainnya, hadir di negeri ini belakangan, termasuk rumahtau wakan (Ohorella).
Diakuinya, Tulehu tidak mempunyai catatan sejarah yang terarsip, yang dapat menceritakan bagaimana asal muasal hingga Akarabu Ohorella diberi gelar Patti, yang pada keturunan berikutnya dari Patti Akarabu Ohorella diberi gelar Raja.
“Dengan berprasangka baik, bahwa kemungkinan ada kesepakatan diantara rumahtau, terutama empat rumahtau awal, untuk mengamanakan matarumah Ohorella Patti Akarabu sehingga menjadi pemimpin bagi mereka. Ini kemudian berlanjut hingga keturunannya saat ini Ohorella Bangsa Roho,”jelasnya
Dengan asumsi tersebut, Letaluhu berpendapat, idealnya ketika terjadi deadlock, dengan penuh rasa tanggung jawab, amanah sebagai matarumah parenta (sementara), harus dikembalikan ke negeri atau Saniri.
Desa adat Tulehu kata dia, sudah memiliki aturan main untuk solusi pada saat deadlock, yang dikenal dengan istilah “Latu Parei”.
Cara ini sudah dipraktekan, saat tidak adanya kesepakatan siapa yang harus menjadi raja dari matarumah parenta Ohorella, maka dipilihlah Latu Parei, yang saat itu terpilih dari marga Lestaluhu (rumahtau latin).
Latu Parei menjabat raja dalam waktu terbatas, bila mana sudah ada kesepakatan di matarumah parenta Ohorella untuk siapa yang akan menjadi raja, jabatan raja dikembalikan ke pada yang berhak.
Waktu terbatas ini bisa cepat, bisa pula lama, tergantung kesepakatan penentuan siapa yang menjadi raja oleh matarumah parenta Ohorella. Atau, bila deadlock masih ada lagi pilihan lainnya, bila Latu Parei bukan menjadi pilihan, yakni opsi “Lebe Wakan”.
Akademisi Dosen hukum Unpatti, Dr. Rirvency Vania Rugebregt, SH, MH dalam sosialisasi tentang UU desa di Negeri Tulehu, pekan kemarin menyebutkan, rata-rata masalah yang terjadi di Maluku Tengah terkait dengan desa-desa adat ini hampir seragam, yakni pemilihan raja, mata rumah parentah.
Tapi menurut dia, dengan adanya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, sudah ada ketentuan khusus yang diatur. Bahwa segala hal yang terkait dengan desa adat harus semua diatur oleh masyarakat adat dan desa adat, sesuai dengan adat yang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
“Jangan kita membuat polemik di masyarakat terkait hal-hal yang berkaitan dengan adat, karena sudah jelas bahwa apa yang diselenggraakan oleh desa adat, harus dikembalikan ke desa adat,”tegasnya.
Jadi semua proses baik itu pemilihan raja dan hal-hal yang ada di desa adat, kata dia, harus diselesaikan secara adat.
“Konstitusi tertinggi pasal 18 B UUD 1945 mengakui masyarakat adat dan masyararat tradisionalnya, kemudian UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa juga dengan pasal 96 sampai pasal 101, mengiisyaratkan bahwa semua hal yang terkait dengan adat, harus diserahkan kepada desa adat dan susunan adat di desa adat itu sendiri. Kriteria terkait dengan desa adat harus diserahkan ke desa adat, juga terkait dengan pemilihan raja dan pengangkatan raja itu sendiri di negeri Tulehu itu menurut saya selaku akademisi yang membidangi hukum adat,”jelasnya.
Rugebreg bahkan menduga, pemerintah belum paham benar, apa yang terkait dengan desa adat dan desa administrasi. Pemerintah juga dinilainya tidak paham, tentang hak-hak apa yang dimiliki desa adat yang harus diterapkan, dan bagaimana pemberlakuan desa administrasi.
“Saya berharap masyarakat adat bisa mengetahui informasi hak-hak yang mereka miliki selaku masyarakat adat. Mereka memiliki hak sebagai pemilik hak dari tanah-tanah dan semua hal yang ada di Negara ini yang harus mereka perjuangkan, karena mereka adalah pemilik hak dan pemerintah seharusnya hadir sebagai penjamin hak-hak yang mereka miliki,”tukasnya.
Kisruh Pemilihan Raja
Kisruh Pemilihan Raja Proses rekrutmen Raja Negeri Tulehu yang hingga kini masih belum mendapat titik temu, kembali dituturkan oleh mantan Ketua Saniri Negeri Tulehu, Muhammad Umarella, SE,MAP dan Raja Adat Tulehu, Urian Ohorella, kemarin.
Ohorella menjelaskan, awalnya badan saniri negeri mengirimkan surat kepada mata rumah parenta, agar segera melakukan musyawarah untuk mengusulkan calon raja. Menindaklanjuti surat itu, Mata rumah parenta kemudian berinisiatif mengumpulkan anak turunan Ohorella Bangsa Roho untuk menggelar musyawarah pertama tahun 2015. Dalam musyawarah pertama, dibuat tata tertib (Tatib) dan membentuk badan pengurus struktur mata rumah parentah. Abdul Kadir Ohorela dan Hasan Basri
Ohorela ditunjuk sebagai ketua dan sekretaris mata rumah parenta. Dalam tatib yang disepakati, untuk menjaring calon, dibentuk empat faksi kecil yang di sebut nasab. Tiap nasab akan mengusulkan satu bakal calon, yang akan nantinya akan digodok dalam musyawarah, untuk mendapatkan satu calon, yang akan diteruskan ke badan saniri
“Dalam musyawarah berikutnya, kami kumpul dan tiap nasab memasukkan nama balon dan bukti -bukti. Dari data yang masuk, nasab Usman Ohorela mengusukan saya (Urian Ohorella), nashab Abdurahim Ohorella abstain alias tidak mengusulkan balon, nashab M. Nur Ohorella juga abstain, dan nashab Abdullah usulkan dua calon,”ungkap Urian.
Usulan dua calon dari nasab Abdullah ini ditolak. Pasalnya, sesuai persayaratan hanya dicalonkan satu orang, sehingga Nasab Abdullah diminta untuk kembali melakukan kesepakatan agar mengusulkan satu calon. Apabila tetap mengajukan dua calon, nasab Abdullah akan didiskualifikasi.
Ternyata meskipun sudah diberikan waktu yang cukup lama, belum juga ada kesepakatan, sehingga sikap tegas diambil dalam musyawarah kedua, dengan melakukan diskualifikasi. Mendengar keputusan itu, dua balon dari nasab Abdullah kemudian walkout, sedangkan yang lainnya masih tetap melanjutkan musyawarah untuk dibuat berita acara pengusulan satu calon yang tersisa.
Pada Februari 2016, usulan calon Raja Negeri Tulehu disampaikan kepada badan Saniri, yang kemudian menyatakan tugas dari mata rumah parenta telah selesai.
Sementara itu, ditempat terpisah mantan Ketua Saniri Negeri Muhamad Umarella, SE, MAP yang dikonfirmasi menjelaskan, saniri telah menerima satu nama calon, untuk diproses. Namun saat proses sedang berlangsung, tiba-tiba muncul rekomendasi calon yang walkout dari musyawarah mata rumah parenta, secara langsung mengajukan diri ke saniri negeri untuk diproses.
“Jadi calon dari Nasab Abdullah masuk tidak melalui mata rumah parenta. Meskipun demikian, kita tetap proses, dan memutuskan untuk melakukan fit and proper test/seleksi adat . Berpedoman pada Perda bahwa hanya satu calon saja dari mata rumah parenta yang diusulkan, dan sesuai dengan Perneg yang ada, pihaknya melakukan seleksi secara adat dan agama, dan disetujui para calon. Bahkan sudah disosialisasikan kepada masyarakat dan mata rumah parenta. Namun ternyata saat seleksi berlangsung, salah satu calon menyatakan mengundurkan diri dan menolak seleksi adat yang dilakukan, sehingga hanya tersisa 1 calon yakni urian Ohorella. Badan Saniri negeri kemudian menyatakan Urian Ohorella yang lolos untuk dicalonkan.
Hasil tersebut kemudian telah disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Maluku Tengah melalui Camat Salahutu. Namun ternyata setelah dikirim, enam bulan kemudian Pemkab Malteng mengirimkan surat yang menyatakan masih ada kekurangan berkas yang harus dilengkapi.
Berkas yang harus dilengkapi adalah, surat keputusan saniri, Peraturan negeri tentang proses pemilihan dan pencalonan raja, dan berita acara penetapan calon mata rumah parenta. Point lainnya, Pemkab kembali meminta untuk dilakukan musyawarah ulang oleh mata rumah parentah. Setelah melakukan koordinasi dengan mata rumah parentah, ternyata mereka menolak untuk kembali melakukan musyawarah. Pasalnya, musyawarah secara adat hanya bisa dilakukan satu kali dalam satu periode.
“Sebenarnya persoalan bisa selesai setelah administrasi dilengkapi. Namun ternyata camat tidak meneruskan dokumen tersebut, sehingga persoalan menjadi berlarut-larut dan menimbulkan gejolak di masyarakat,” ucapnya.
Namun pemerintah desa kembali membentuk saniri negeri baru, yang memperparah situasi yang ada. Padahal, sambil menunggu proses dari Pemkab Malteng, kepala negeri Tulehu, Urian Ohorella telah dilantik /dikukuhkan secara adat oleh Badan saniri negeri.
Kapolres dan Dandim kemudian berinsiatif melakukan mediasi dengan semua pihak, dan hasilnya meminta agar camat meneruskan dokumen tersebut kepada Bupati Malteng, agar stabilitas keamanan terjaga.
Bupati kembali melakukan pertemuan terbatas dengan empat nasab mata rumah parenta bersama saniri negeri. Urian Ohorella mengakui, dalam pertemuan itu pihaknya mengusulkan periodesasi, namun ditolak oleh nasab Abdullah dan bupati. Kemudian ditawarkan opsi Musyawarah dengan mekanisme voting, namun tetap ditolak oleh Bupati dan Nasab Abdullah Ohorella yang diwakili oleh Fahri Ohorella.
“Bupati menginginkan agar dilakukan pemilihan ulang secara langsung, dengan calon yang berasal dari empat nasab dari mata rumah parenta, tapi saya tolak, karena bertentangan dengan negeri adat. Akibat dari sikap Bupati yang terkesan tidak fair dalam mediasi, emosi saya naik dan menyampaiakn kekesalan dengan kalimat ditujukan ke Bupati bahwa dilakukan pemilihan secara langsung sesuai dengan mekanisme desa administrasi, dengan resiko tidak ada mata rumah parenta dan tidak ada lagi adat,”tukasnya.
Rupanya penyampaian kalimat secara emosional itu disambut baik oleh Bupati Malteng, dan dianggap merupakan keputusan dari hasil mediasi, padahal 3 Nasab masing-masing Nasab Usman Ohorella, Nasab Abdurahim Ohorella, dan Nasab M. Nur Ohorella sudah keluar dari ruang mediasi tanpa mengetahui hasil mediasi tersebut dan juga tidak menandatangani berita acara hasil mediasi. sehingga kini kembali menimbulkan gejolak yang berkepanjangan. (TS-01)
Discussion about this post