titastory.id,- Chris Soumokil lahir dengan nama Christiaan Robbert Steven Soumokil. Ia lahir di Surabaya, Jawa Timur, 13 Oktober 1905. Dia menjabat presiden Republik Maluku Selatan dari 1950 sampai 1966.
Soumokil menempuh pendidikan di Surabaya hingga sekolah menengah atas. Dia kemudian pergi ke Belanda untuk belajar hukum di Universitas Leiden sampai 1934. Pada tahun 1935 ia kembali ke Indonesia dan menjadi pejabat hukum di pulau Jawa.
Pada 1942, penjajahan Jepang dimulai dan Soumokil ditangkap oleh tentara Jepang dan diasingkan ke Burma dan Thailand. Setelah perang usai, ia kembali ke Indonesia dan menjadi Jaksa Agung dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT). Ia kemudian mendirikan RMS, menjadi Menteri Luar Negeri RMS pada 25 April 1950, dan menjadi presiden pada 3 Mei 1950.
Pendirian Republik Maluku Selatan ini kemudian ditentang oleh pemerintah pusat. RMS dianggap memberontak. Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon.
Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang. Mereka kemudian menyerbu Maluku dan menumpas habis RMS.
Pada 2 Desember 1963 Soumokil ditangkap. Setelah ditangkap oleh tentara Indonesia ia dibuang ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Pada bulan April 1964 ia diadili dan dibela oleh pengacara Mr. Pierre-William Blogg, teman lamanya dari Leiden. Dalam persidangan Soumokil bersikeras berbicara dalam bahasa Belanda, walaupun bahasa ibunya adalah bahasa Melayu. Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhkan hukuman mati bagi Soumokil.
Soumokil kemudian dieksekusi oleh peleton tembak pada 12 April 1966 di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Sejak itu RMS berdiri di pengasingan di Belanda, Soumokil digantikan oleh Johan Manusama yang menjadi presiden RMS pada 1966-1992, kemudian digantikan Frans Tutuhatunewa hingga 2010 dan dia digantikan oleh John Wattilete.
Ketika Para Sersan Menegakkan Republik Maluku Selatan
Seperti bandit-bandit zaman Amerika Cowboy Wild West, bekas pasukan khusus KNIL Belanda, yang pernah dilatih dan dikomandani Kapten Raymond Westerling, baik baret merah maupun baret hijau, masuk ke Ambon di awal 1950.
Di dalam kota Ambon sendiri terdapat KNIL-KNIL Ambon yang tak kalah sulit untuk diatur. Pasukan-pasukan ini adalah sekelompok orang-orang yang mengalami disorientasi setelah Pengembalian Kedaulatan berdasarkan keputusan KMB. Masa depan mereka buram.
Pasukan baret hijau juga tidak jarang melakukan penganiayaan pada pemuda pro-republik. Dalam kerusuhan 22 Januari 1950, setidaknya 2 orang meninggal, 2 orang luka berat, dan 15 lainnya luka ringan sebagai korban mereka.
Begitu yang dicatat Agoes Anwar dalam Soumokil Dan Hantjurnja RMS (1964). Meski begitu, di Ambon sebenarnya ada anggota-anggota KNIL yang ingin bergabung dengan TNI. Masalahnya, mereka tidak mengerti prosedur untuk bergabung dengan TNI.
Seorang Mayor TNI yang berasal dari Maluku bernama Westplat berusaha memberi solusi. Dia menulis surat soal prosedur bagaimana cara bergabung dengan TNI. Surat itu juga sampai kepada Dantje Samson pimpinan Baret Hijau, juga Thomas Nussy pimpinan baret merah di sana. Juga kepada Sopacua, bintara KNIL di Ambon.
Tanggal 13 Februari 1950, wanita nasionalis bernama Silawati Daud asal Sangir bertemu Nussy, pimpinan baret merah. Kepada Nussy, Salawati bercerita banyak bagaimana stuasi politik dan militer di Jakarta pasca-Pengembalian Kedaulatan. Salawati juga bercerita gembiranya orang-orang di Jakarta ketika mendengar kabar ada beberapa bekas KNIL yang akan masuk TNI di Ambon.
Perempuan ini juga didatangi Sopacua, yang bercerita bagaimana bimbangnya anggota KNIL untuk bergabung. Nussy dan pasukannya pada 5 April 1950 tanpa pikir panjang menurunkan bendera Belanda di markasnya, tangsi Victoria. Setelah itu, meletuslah pemberontakan. Seorang kepala daerah diajak Nussy memberontak.
Belakangan, seorang Indo-Belanda reaksioner bernama Kainama menemui Nussy. Pemberontakan pun batal. Menurut Izaal Lebelauw dalam bukunya Wat gebeurde er op Ambon tot 25 April 1951?, ada empat bekas sersan KNIL yang begitu berpengaruh di Ambon kala itu: Samson, Pattiwael, Kastanja, dan Pieters.
Tiga bekas ajudan yakni Sopacua, Tahapary, dan Siwabessy yang lebih senior pangkatnya tak begitu berpengaruh di sana. Mereka begitu penting bagi Christian Robert Steven Soumokil yang tiba di Ambon pada 13 April 1950.
Kepemimpinan pasukan KNIL yang mau bubar itu sudah kacau di Ambon. Soumokil berperan penting dalam pembentukan negara baru di Ambon itu. Dia tak bisa sendirian, tokoh-tokoh lokal dia berdayakan untuk mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS).
Menurut Johannes Hermanus Manuhutu, yang menjadi Presiden RMS pertama, dia disuruh Soumokil dan Manusama membuka kantornya untuk rapat pada 23 April 1950. Kedua orang itu membawa KNIL-KNIL bersenjata.
Mantan Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur (NIT) Soumokil dan Ir Manusama menyuruh Manuhutu supaya memproklamirkan RMS.
Esok malam, Soumokil dan para pengikutnya yang beribu-ribu orang jumlahnya terus mendesak lagi. Meski Soumokil juga orang Ambon, dia masih belum punya pengaruh di Ambon.
Pada 25 April 1950, Manuhutu pun membacakan proklamasi Republik Maluku Selatan. “Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir Kemerdekaan Republik Maluku Selatan, de facto de jure, jang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S.,” ucap proklamator.
Namun, Manuhutu hanya jadi Presiden hingga 3 Mei 1950. Dia kembali pangkuan ibu pertiwi dan melanjutkan karir sebagai pejabat Departemen Dalam Negeri hingga pensiun. Posisi Presiden lalu digantikan Soumokil.
Demi eksistensi RMS, seorang mantan wartawan dan mantan pekerja percetakan Siwalima Makassar bernama Domingus Zakarias Pessuwariza diangkat menjadi Menteri Penerangan. Siaran radio dan selebaran-selebaran yang terkait dengan proklamasi RMS disebarkan dan disiarkan.
Sebagai sebuah negara, mereka punya bendera dan lagu kebangsaan. “Maluku Tanah Airku” adalah lagu kebangsaannya. Lambang negara adalah seekor burung pombo yang hendak terbang dengan kaki mencengkeram kain bertuliskan: Mena Muria. Bendera RMS berwarna Biru-Putih-Hijau-Merah, dengan warna merah dominan.
Sudah pasti, para mantan sersan itu mendadak jadi kolonel. Hanya mereka yang paling sangar dan punya pengalaman sebagai militer.
Dantje Samson menjadi panglima tertinggi Angkatan Perang RMS. Menurut propaganda RMS, seperti dicatat Agoes Anwar, terdapat 800 orang pasukan baret dari baret merah maupun baret hijau.
Menurut berita surat kabar Merdeka (28/04/1950) dan tulisan Jusuf Puar dalam Peristiwa Republik Maluku Selatan (1956), orang-orang KNIL di sekitar Ambon itu dilibatkan atas perintah komandan mereka yang anti-republik.
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “La Petite Histoire” Indonesia (2004) menulis, mereka terus bersikap merasa paling tahu. Pemerintah sipil RMS sering tak diindahkan oleh panglima eks KNIL, padahal orang-orang militer ini tulang punggung RMS.
Pasukan mantan baret merah KNIL tak mau mendengar kata panglima tertinggi, mereka hanya mau dengar kata Corputy atau Nussy. Menurut Rosihan Anwar, komando yang kacau itu menjadi penyebab kekuatan mereka mudah digulung di Ambon oleh pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) pimpinan Kolonel Alex Kawilarang.
Menurut laporan Manusama, ketika APRIS menyerang kota Ambon, pasukan baret yang ditakuti itu lari terbirit-birit seperti pengecut. Pasukan KNIL walaupun melawan tapi karena tidak punya disiplin lagi, sehingga bisa dipatahkan TNI. Perlawanan RMS tidak berarti sama sekali bagi TNI.
Angkatan Perang RMS lari terbirit-birit. Moril pasukan RMS akan jatuh jika dibiarkan. Lalu, kepala staf Angkatan Perang RMS, Pattiwael, ditembak mati oleh tentara RMS sendiri. Mereka menuduh Pattiwael memberikan perintah yang salah kepada tentara dan hukumannya adalah ditembak mati, disaksikan oleh Manusama Hal yang sama terjadi juga pada Daud Lestaluhu.
Seperti Nussy, dia juga dari baret merah. Lestaluhu adalah salah seorang panglima di Namlea. Setelah Namlea jatuh ke tangan pasukan pemerintah pada 13 Juli 1950, Lestaluhu tertangkap.
Menurut John Pieris, dalam Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban: Analisis Kritis Aspek Politik (2004), Lestaluhu yang kadang disebut Daniel adalah tokoh RMS yang beragama Islam, seperti halnya Menteri Persediaan Bahan Makanan RMS, Ibrahim Ohorella.
Setelah panglima macam Samson digulung TNI serta Ambon sudah jatuh ke tangan pemerintah, para mantan ajudan KNIL yang lebih senior macam Sopomena, Sopacua, dan Tahapary jadi petinggi Angkatan Perang RMS.
Mereka bertahan dan bergerilya bersama Presiden RMS Soumokil yang bergerilya di Pulau Seram. Sopomena belakangan ditangkap TNI pada 6 Desember 1963. Semula, mantan Sersan yang di awal RMS kalah pamor dari Nussy, Isaac Julius Tamaela, juga ikut bergerilya di sekitar Maluku.
Namun, Tamaela pada 1963 kabur ke Negeri Belanda. Begitu juga Sopacua. Keduanya belakangan terkenal di Belanda. Tamaela bahkan dianggap sebagai jenderal RMS di Belanda. Kisah hidupnya dimuat koran Nederlandsch Dagblad (03/05/1977) dengan judul “Hoe Nederland Zijn Trouwste Soldaten Behandelde” (Bagaimana tentara Belanda yang setia diperlakukan). Sekejam apapun si Thomas Nussy, belakangan dia jadi tawanan juga. Bahkan ketika DJ Samson bersama mantan menteri RMS lainnya disidang, Nussy menjadi saksi. Belakangan, Nussy malah jadi perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang terlibat dalam Operasi Trikora. Dia pensiun dengan pangkat mayor dan di usia senjanya dia menjadi aktivis gereja di Ambon.
Christian Soumokil dan RMS
Setelah tragedi 1965, Ventje Sumual, bekas pemimpin Permesta, melihat gelagat dirinya akan dibebaskan dari rumah tahanan militer. Angin perubahan yang dipicu penculikan dan pembunuhan para jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965 itu membuat orang-orang yang ditahan di masa kepemimpinan Sukarno berpeluang menghirup kebebasan kembali.
Namun Ventje tak hanya memikirkan diri sendiri. Menjelang pembebasannya, ia bertanya soal nasib seorang kawan yang menghadapi hukuman maha berat. Kawannya itu biasa disapa Pacek (Bapak), karena usianya memang jauh lebih tua dari Ventje.”Pacek, sudah dapat grasi?” Ventje bertanya langsung kepada yang dipanggil Pacek itu.
Seingat Ventje, seperti terpapar dalam Memoar: Ventje Sumual (2011), si Pacek hanya menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat murung. Setahu Ventje, si Pacek kemudian dieksekusi seperti halnya Ibnu Hadjar dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Dari Andi Azis ke RMS
Si pacek yang dimaksud Ventje adalah Christian Robert Steven Soumokil, orang nomor satu dalam Republik Maluku Selatan (RMS).
Sebelum terlibat di RMS, Soumokil juga melibatkan diri dalam peristiwa perlawanan Andi Azis, salah seorang perwira Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Saat itu ia masih menjadi pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) dengan jabatan sebagai Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung. Gerakan untuk membubarkan NIT, dan kembali pada Republik Indonesia, ditentang oleh Andi Azis.
Sebelum Peristiwa Andi Azis meletus pada 5 April 1950, Soumokil mengundang Andi Azis ke rumahnya di Makassar pada malam hari 4 April 1950. Malam itu beberapa KNIL asal Ambon sudah siap tempur menghalau pasukan dari Jawa. Keesokan harinya, pasukan yang dipimpin Andi Azis bergerak menyerang kantor staf kwartier dan asrama CPM di Jalan Walter Mongisidi. Pertempuran pun tidak terhindarkan
Ketika Makassar rusuh, Soumokil masih di dalam kota. Namun pada 12 April 1950, dengan pesawat militer Belanda, Soumokil terbang ke Ambon dengan lebih dulu singgah di Manado. Sebelum terbang, ia masih sempat bertemu Andi Azis. Dalam pertemuan itu, seperti ditulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: La Petite Histoire Indonesia (2004), ia berkata kepada Andi Azis: “Jika ose (Anda) mati, beta akan berjuang sampai titik darah penghabisan.”
Dua hari setelahnya, Andi Azis, yang sudah hancur reputasinya di mata pemerintah pusat dan petinggi APRIS karena peristiwa 5 April 1950 itu, terbang ke Jakarta. Dia hendak melaporkan diri dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan pasukannya. Begitu mendarat di Bandara Kemayoran, Andi Azis langsung dibekuk dan kemudian ditahan.
Sementara Soumokil sendiri tiba di Ambon pada 13 April 1950. Suasana di Ambon saat itu sudah cukup panas. Bekas KNIL, terutama dari pasukan khusus baret hijau dan baret merah KNIL, saat itu menjadi penguasa kota. Bersama pasukan itulah Soumokil mengajak para tokoh di Ambon untuk memproklamasikan RMS pada 25 April 1950.
Menurut Syaranamual, seperti dicatat di buku Soumokil dan Hantjurnja RMS (1964),“Proklamasi RMS itu benar-benar hasil tekanan dan paksaan bayonet belaka.”
Soumokil yang baru tiba di Ambon, meski dia otak penting dari RMS dan Ambon, tak serta-merta langsung menjadi presiden. Semula dia menjadi Menteri Luar Negeri. Setelah 3 Mei, barulah dia menjadi Presiden RMS selama bertahun-tahun, baik saat masih berada di Kota Ambon maupun saat bergerilya. Sampai akhirnya ia tertangkap pada 2 Desember 1963.
Dekat dengan Pihak Belanda
Soumokil sebenarnya tidak lahir di Ambon. Dia lahir di Surabaya pada 13 Oktober 1905. Ayahnya adalah pejabat rendah di Kantor Pos di Semarang. Soumokil beruntung bisa menikmati belajar sekolah elite Hogere Burger School (HBS) Kristen di Surabaya. Menurut harian De Telegraaf (5/9/1964), setamat HBS Soumokil kemudian berangkat ke Belanda.
Menurut Richard Chauvel dalam Nationalist, Soldiers and Separatist: Ambonese Island from Colonialism and Revolt 1880-1950 (1990), mulanya ia berusaha masuk ke fakultas kedokteran, namun mundur di tengah jalan. Tak lama kemudian ia masuk fakultas hukum hingga mendapatkan gelar doktor. Dia lulus pada 1934 dan menjadi seorang ahli yurisprudensi.
Menurut Ratno Lukito dalam Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum di Indonesia (2008), bersama Kusumaatmatmaja dan Soepomo, Soumokil tergolong orang-orang pertama yang belajar hukum di Universitas Leiden.
Menurut De Telegraaf (5/9/1964), ketika kuliah di Belanda Soumokil pernah ikut serta dalam wajib militer Belanda. Dia ditempatkan dalam artileri medan. Sebagai pengikut Kristus, Soumokil adalah pengikut Gereja Reformis.
Begitu kembali ke Hindia Belanda, tak sulit bagi Soumokil untuk meniti karier. Di Hindia Belanda dia kemudian menjadi seorang Jaksa.
Status hukum dirinya dipersamakan dengan orang-orang Belanda. Dia tidak dekat dengan orang-orang Ambon pergerakan macam Alexander Jacob Patty. Dia tak seperti Johannes Leimana yang ikut Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928. Menurut Richard Zacharias Leirissa dalam makalah bertajuk “Pemberontakan Republik Maluku Selatan” yang dimuat di Prisma (7/8/1978), ketika namanya dicalonkan menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) muncul penentangan dari orang-orang Ambon-Maluku lainnya pada 1938.
Jelang masuknya Jepang, Soumokil tetap setia kepada Ratu Belanda. Bersama orang-orang Belanda, Soumokil juga ditawan. Sebagai tawanan Jepang, dia dikirim ke Siam untuk ikut dalam kerja paksa membuat jalan kereta api di sana. Setelah Perang Pasifik selesai, barulah dia dibebaskan.
Setelah ia bebas, yang hampir bersamaan dengan juga merdekanya Indonesia, posisi keberpihakannya tetap tak jauh dari Belanda. Menurut Syaranamual, “Soumokil terkenal sebagai reaksioner dan musuh gerakan nasional di Sulawesi Selatan.”
Jalan Tengah Federalisme
Menyebut Soumokil semata pengkhianat tidaklah memberikan gambaran terhadap kompleksitas pasca-kemerdekaan. Memang ada orang-orang yang ingin Belanda sepenuhnya kembali berkuasa. Tapi jauh lebih banyak lagi yang menyadari zaman telah berubah dan kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan sudah tak terhindarkan. Termasuk orang-orang yang di masa kolonial bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda pun banyak yang menyadari zaman telah berganti.
Bagaimana kemerdekaan itu dilaksanakan dan diisi, itulah pokok pertanyaan yang kerap melahirkan perdebatan panjang. Federalisme merupakan salah satu opsi yang banyak dibicarakan dan didiskusikan, bahkan sejak dalam sidang-sidang BPUPKI pada Mei-Juni 1945. Bung Hatta adalah salah satu orang yang pernah menyebut bentuk negara federal dalam sidang BPUPKI.
Federalisme mendapatkan cap buruk karena, terutama, pernah dipakai Belanda pasca-kemerdekaan RI untuk mempertahankan status quo. Sejak 1946, satu per satu bermunculan proklamasi kemerdekaan negara-negara di lingkungan Republik Indonesia. Salah satu pemicunya adalah Konferensi Malino yang berlangsung pada Juli 1946. Dari sanalah muncul Negara Borneo dan Negara Indonesia Timur. Selanjutnya muncul, misalnya, Negara Pasundan, Negara Madura, hingga Negara Jawa Timur.
Federalisme bahkan sempat menjadi resmi setelah Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Dari akhir 1949 hingga Agustus 1950, berdiri Republik Indonesia Serikat (RIS). Republik Indonesia (RI) hanyalah satu dari sekian negara bagian di lingkungan RIS. Namun eksperimen yang dipicu perundingan KMB itu gagal prematur. Pada 17 Agustus 1950, RIS bubar dengan sendirinya karena satu per satu negara-negara bagian itu memutuskan bergabung dengan RI.
Soumokil yang memang punya riwayat kedekatan dengan Belanda menganggap federalisme sebagai jalan tengah yang layak dicoba. Ditambah kecurigaan terhadap dominasi Jawa, federalisme memang memikat banyak kalangan.
Soumokil bukan satu-satunya orang yang tertarik dengan gagasan federalisme. Lagi pula, bukan hanya orang-orang yang pernah dekat dengan Belanda saja yang terbuka dengan federalisme. Bahkan Tan Malaka, yang seluruh hidupnya dikejar-kejar polisi kolonial, meyakini konsep Federasi Asia yang cakupannya merentang dari Asia Tenggara hingga Australia.
Namun eksperimen bersejarah itu memang harus tertelan oleh realisme politik yang lebih berpihak pada gagasan negara kesatuan. Segala yang berbau kolonialisme, di negara-negara pasca-kolonial, dengan mudah diidentifikasi sebagai musuh. Identifikasi yang sampai batas tertentu punya alasan psikis yang tidak bisa diremehkan: trauma kepada kolonialisme.
Soumokil sendiri menjadi Menteri Kehakiman lalu Jaksa Agung di Negara Indonesia Timur (NIT). Menurut A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 11: Periode Konferensi Meja Bundar (1977), ketika berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda, Soumokil pernah menjabat Wakil Perdana Menteri NIT juga. Soumokil termasuk orang yang menolak kehadiran pasukan APRIS dari Jawa.
Dalam statusnya sebagai jaksa itulah ia terlibat dalam persidangan Wolter Mongisidi. Dia menuntut hukuman mati Wolter, dan dikabulkan. Wolter dieksekusi pada 5 September 1949. Ironisnya, Soumokil di kemudian hari juga tewas dalam eksekusi hukuman mati. Soumokil dieksekusi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, pada 12 April 1966, tepat hari ini 53 tahun lalu. (tirto.id/titastory.id)
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada media tirto.id 24 April 2017 dengan judul ” ketika para sersan menegakan Republik Maluku Selatan” dan “Christian Soumokil dan RMS: Sejarah Pelik Separatisme Maluk” dan merupakan bagian dari laporan mendalam tirto.id tentang Republik Maluku Selatan.
Discussion about this post