“Saya sudah masukkan dalam RUPTL (PLN), supaya apa? Tidak lagi tergantung pada solar. Tidak lagi tergantung pada batubara. Jadi begitu ada mesin-mesin pembangkit yang sudah tua, yang diesel, langsung diganti pada Energi Baru Terbarukan (EBT),” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, saat kunjungan kerja di Kota Ambon, Sabtu (5/4). Dalam kunjungan ini, ia memerintahkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berkapasitas 40 megawatt (MW) di Provinsi Maluku.
Menurut Bahlil, potensi panas bumi di Maluku cukup besar dan perlu segera dimanfaatkan. Proyek ini telah dimasukkan ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034 sebagai bagian dari strategi transisi menuju energi bersih.
Proyek-proyek yang direncanakan mencakup PLTP Wapsalit 20 MW di Pulau Buru dan PLTP Tulehu 2×10 MW di Pulau Ambon. Wapsalit kini masih dalam tahap eksplorasi dan ditargetkan mulai operasi komersial pada 2028, sementara Tulehu dalam tahap pengadaan dan ditargetkan beroperasi pada 2031. Selain itu, survei Badan Geologi juga mengidentifikasi potensi panas bumi di Banda Baru, Pulau Seram, yang berkapasitas 25 MW.
Namun, rencana pembangunan PLTP di Kecamatan Tehoru, Seram Selatan, memantik gelombang protes dari masyarakat adat dan para raja di wilayah tersebut. Ketua Latupati Tehoru, Bernard Lilihata, menegaskan bahwa tidak ada koordinasi sebelumnya antara pemerintah dan masyarakat adat terkait proyek ini.
“Sebagai masyarakat adat di Kecamatan Tehoru, saya merasa kecewa dan kesal karena pembangunan ini dilakukan tanpa konsultasi. Kami sebagai pemilik hak ulayat tidak pernah dilibatkan,” ujar Bernard (12/4/2025).

Ia menilai, proyek geothermal dapat membawa dampak baik dan buruk. Maka perlu dilakukan kajian mendalam, terutama dampak lingkungan dan sosialnya. Bernard menyebut bahwa pasokan listrik di Tehoru sudah mencukupi dan mempertanyakan urgensi pembangunan ini.
“Saya curiga tower-tower listrik bertegangan tinggi ini akan didirikan di atas lahan HPK yang telah dipasangi patok oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di Hatumete. Ini indikasi kuat adanya agenda tersembunyi,” ujarnya.
Menurut Bernard, keberadaan tower listrik bertegangan tinggi bisa merusak tanaman warga, membatasi aktivitas masyarakat, dan menimbulkan risiko keselamatan akibat paparan listrik.

Di sisi lain, masyarakat adat Tehoru telah berulang kali mengajukan audiensi dengan DPRD Maluku Tengah sejak awal tahun untuk menolak pemasangan patok HPK dan menuntut pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Mereka merancang pertemuan secara adat, lengkap dengan simbol-simbol budaya seperti piring sirih pinang dan kain berang sebagai bentuk ekspresi kultural.
Namun upaya ini berulang kali dibatalkan sepihak oleh Ketua DPRD Maluku Tengah, dengan berbagai alasan seperti pelantikan kepala daerah dan libur keagamaan. Hal ini menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan raja dan tokoh adat.
“Kami bisa saja melakukan aksi, tapi kami memilih jalan audiensi. Tapi ternyata mereka terus mencari alasan untuk menghindar. Kini kami tahu, rupanya ada agenda besar untuk menyerobot hutan adat demi investasi geothermal,” ujar Raja Hatumete.
Ia menyebut, pembangunan geothermal ini sebagai bentuk kejahatan sistematis oleh negara terhadap masyarakat adat, bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 yang menjamin perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Namun pernyataan dari Ketua DPRD Maluku tengah ini hanya sebatas Omon-Omon belaka, dan hanya janji manis belaka. Sehingga hal itu dinilai melukai sepuluh Negeri adat di Kecamatan Tehoru.

Isu lainnya yang mencuat adalah potensi bencana alam. Kecamatan Tehoru berada di zona patahan aktif dan rawan gempa. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku Tengah telah memberikan peringatan, dan masyarakat pun telah melakukan mitigasi, seperti pembangunan permukiman menjauhi pantai di Negeri Yaputih dan Saunulu.
Raja Yaputih, Yurisman Tehuayo, menuturkan bahwa warganya telah membangun rumah di wilayah yang lebih tinggi untuk menghindari risiko tsunami dan gempa. Namun, upaya mitigasi ini terhambat oleh pemasangan patok HPK di atas tanah ulayat dan kebun warga.
“Pemasangan patok HPK oleh BPKH mengancam keselamatan 2.700 jiwa di Yaputih. Mereka sedang berjuang bersama sembilan negeri lainnya untuk mempertahankan tanah dan hutan mereka,” ungkap Yurisman.

Kisah di Tehoru menggambarkan kompleksitas antara kebutuhan energi bersih nasional dan hak masyarakat adat atas wilayahnya. Di tengah transisi energi, suara-suara dari akar rumput menuntut ruang partisipasi yang adil dan penghormatan atas kearifan lokal yang selama ini menjaga alam.
Pulau Seram di Atas Patahan: Hidup dalam Bayang-Bayang Bencana
Pulau Seram, Maluku, menyimpan lanskap alam yang luar biasa: rimba lebat, garis pantai yang memanjang, serta lembah dan pegunungan yang menyentuh langit. Namun di balik keelokan itu, terhampar realitas yang getir. Pulau ini berdiri di atas struktur geologi aktif, dengan sesar dan patahan yang menjadikannya salah satu kawasan rawan gempa dan tsunami di Indonesia.
“Pulau Seram memiliki sejumlah patahan aktif, baik sesar mayor maupun minor. Gempa bukan menciptakan patahan, tapi justru karena adanya patahan itulah gempa bisa terjadi,” ujar Bob Rachmat, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Maluku Tengah, dikutip dari Mongabay.co.id, Jumat (16/2/2024).
Maluku sendiri berada dalam zona geologi yang kompleks, tempat bertemunya tiga lempeng besar dunia: Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia. Pertemuan raksasa geotektonik ini membentuk zona subduksi dan patahan tidak beraturan yang menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap aktivitas seismik.
Bob menyebut bahwa kawasan Laut Banda dan sekitarnya, termasuk Pulau Seram, telah ditetapkan sebagai zona rawan tsunami. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa 30 persen dari seluruh tsunami yang terjadi di Indonesia berasal dari wilayah ini.
Gempa dan Tsunami yang Menggetarkan
Catatan sejarah dan rekaman seismograf membuktikan bahwa Pulau Seram bukan sekadar rentan, tapi telah berkali-kali mengalami bencana. Salah satu peristiwa besar terjadi pada 16 Juni 2021, ketika gempa berkekuatan Magnitudo 6,1 mengguncang wilayah Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah.
Gempa ini menyebabkan tanah bergeser dan sejumlah titik amblas. Beberapa fasilitas umum dan rumah warga rusak, sementara gelombang laut naik hingga 0,5 meter dan menggulung pesisir selama sekitar 30 menit. Masyarakat pun panik dan mengungsi ke dataran tinggi.
Menurut BMKG Stasiun Geofisika Pattimura Ambon, gempa tersebut memicu tsunami kecil yang disebabkan oleh longsoran bawah laut di Teluk Teluti.
“Tsunami ini terjadi bukan akibat mekanisme sesar utama, tapi karena longsoran bawah laut yang dipicu oleh gempa,” jelas Herlambang Huda, Kepala Stasiun BMKG Ambon, kepada Kompas.com.
PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) menambahkan bahwa gempa tersebut dipicu oleh aktivitas sesar aktif di dasar laut Teluk Teluti. Laporan MAGMA ESDM mencatat bahwa pusat gempa terletak 67,5 km tenggara Maluku Tengah, di wilayah laut yang sebagian besar tersusun dari batuan kuarter dan pra-tersier yang mudah lapuk dan memperkuat guncangan.
Kondisi litologi ini, menurut ahli geologi Arianne Pingkan Lewu dari Kementerian ESDM, memperkuat efek gempa. “Batuan yang tidak kompak memperbesar dampak guncangan, menjadikan wilayah ini sangat rawan,” ujarnya dalam Laporan Tanggapan Gempa Bumi ESDM.
Gempa serupa juga pernah terjadi pada 28 Januari 2006, dengan Magnitudo 7,4, dan 29 September 1899, dengan Magnitudo 7,8. Keduanya memicu longsor bawah laut dan tsunami yang merusak kawasan pesisir.
Geologi yang Menyimpan Potensi Bencana
Peta kawasan rawan bencana tsunami (KRBT) Level 1 dari Badan Geologi menunjukkan bahwa pantai selatan Pulau Seram berpotensi diterjang tsunami setinggi hingga 5,3 meter. Ancaman ini diperkuat oleh kondisi geologi yang unik namun rentan.
Dalam Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral (Volume 22, Nomor 3, 2022), peneliti Herfien Samalehu menyebut bahwa kawasan Tamilouw-Haya di bagian selatan Pulau Seram memiliki satuan morfologi berupa perbukitan rendah dan dataran. Wilayah ini tersusun atas lima satuan batuan, seperti filit kuarsa-muskovit, batusabak kuarsa-muskovit, meta-batupasir, batugamping koral, dan endapan aluvial.

Struktur geologi yang berkembang di sini membentuk sesar geser mengiri (sinistral) dan menganan (dekstral), dengan lipatan antiklin yang memperlihatkan dinamika tektonik intensif. Sebagian besar wilayah ini didominasi oleh batuan metamorf Kompleks Tehoru yang termasuk dalam fasies sekis hijau hingga amfibolit, jenis batuan yang terbentuk akibat tekanan dan suhu tinggi selama proses deformasi tektonik berulang.
Stratigrafi Pulau Seram terdiri dari batuan metamorf, batuan sedimen, serta batuan terobosan dan tektonik. Tjokrosapoetro dan Budhitrisna (1982) serta Kemp dan Mogg (1992) mengklasifikasikan wilayah ini ke dalam dua seri besar: Seram Series dan Australian Series, yang menunjukkan pengaruh kuat dari margin benua Australia bagian utara. Pulau ini menjadi bagian dari Westralian Superbasin, wilayah geotektonik yang juga ditemukan di Australia Utara.

Pulau Seram, sebagaimana disebut dalam laporan Kumparan bertajuk “Mengenal Kondisi Geologi Pulau Seram“, merupakan bagian dari sabuk bergerak (mobile belt) di Busur Banda Barat. Letaknya yang strategis menjadikan pulau ini sebagai zona tumbukan antara kerak benua Australia, Eurasia, dan samudera Pasifik. Dua sistem utama membatasi wilayah ini: Sesar Sorong di utara dan Sesar Tarera–Aiduna di selatan.
Konfigurasi geologi Pulau Seram mencerminkan lanskap yang dibentuk oleh berbagai sesar naik bersudut tajam hingga sesar mendatar, menjadikan kawasan ini sangat dinamis dan tidak stabil.
Warga yang mendiami kawasan pesisir dan lereng pegunungan Pulau Seram hidup dalam keindahan yang penuh risiko. Tanah yang mereka pijak menyimpan energi besar yang sewaktu-waktu bisa lepas dalam bentuk gempa dan tsunami. Pengetahuan akan kondisi geologi, peringatan dini, dan mitigasi bencana menjadi kunci untuk bertahan di tengah ketidakpastian.
Sebab bagi Seram, bencana bukan pertanyaan jika, tapi kapan.
Dampak Geothermal: Transisi Energi yang Mengorbankan Warga dan Alam
Proyek panas bumi yang digaungkan sebagai bagian dari transisi energi justru menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat sekitar. Alfarhat Kasman dari Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) kepada wartawan—dilansir dari Mongabay—mengatakan bahwa keberadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) membawa sejumlah risiko serius.
“Pembangkit geothermal ini rakus air,” katanya. Dalam proses produksinya, PLTP membutuhkan volume air yang sangat besar. Tak hanya itu, bahaya juga mengintai warga di sekitar area operasi. Alfarhat mencontohkan insiden di PLTP Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang menewaskan sedikitnya tujuh warga dan menyebabkan ratusan lainnya harus dirawat di rumah sakit akibat keracunan gas.

Dalam skema teknologi pembangkit listrik rendah emisi, panas bumi kini menjadi sorotan utama. Dalam rencana investasi JETP (Just Energy Transition Partnership) yang tertuang dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Indonesia, geothermal menempati posisi teratas sebagai solusi transisi energi nasional. Tak kurang dari US$22,5 miliar dialokasikan untuk pengembangan PLTP di Indonesia. Bahkan, sejak 2017, Pulau Flores telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai “Pulau Panas Bumi”.
Namun di balik ambisi tersebut, pengembangan panas bumi justru dibayar mahal. Alih-alih menghadirkan energi bersih dan berkeadilan, proyek-proyek ini justru mengancam keselamatan serta kesejahteraan warga yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan. Pada Februari 2024, sebanyak 101 warga Mandailing Natal dilaporkan mengalami keracunan gas dari PLTP Sorik Marapi. Tiga tahun sebelumnya, lima orang juga meninggal dunia di lokasi dan proyek yang sama. Di Dieng, ratusan petani terganggu mata pencahariannya akibat pencemaran uap panas dan sumber mata air mereka karena aktivitas PLTP.
Merespons situasi ini, CELIOS (Center of Economic and Law Studies) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Nasional) meluncurkan kajian mengenai dampak PLTP pada 5 Maret 2024 lalu di Jakarta. Diskusi ini dihadiri oleh perwakilan warga terdampak serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Melalui metode Inter-Regional Input-Output (IRIO), CELIOS memproyeksikan bahwa keberadaan PLTP di tiga lokasi di Nusa Tenggara Timur—Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu—berisiko menurunkan pendapatan petani sebesar Rp470 miliar pada tahap konstruksi. Kerugian terhadap output ekonomi bahkan diperkirakan mencapai Rp1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi. Dari sisi tenaga kerja, diprediksi akan terjadi penurunan sebesar 20.671 orang di tahun pertama dan mencapai 60.700 orang pada tahun kedua.
“Kecenderungan proyek geothermal yang padat modal tidak membawa dampak berganda bagi ekonomi lokal. Sebaliknya, geothermal justru kerap dipandang sebagai penghambat produktivitas di sektor pertanian dan perikanan,” ungkap Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, dilansir dari laman celios.co.id.
Kajian ini juga menyoroti bahwa pada tahun pertama kehadiran PLTP, produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan—yang merupakan tulang punggung ekonomi masyarakat NTT—mengalami penurunan. Seiring waktu, sektor-sektor ekonomi lainnya pun diperkirakan terus menurun akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari proyek ini.
Bhima menegaskan bahwa sebaiknya pendanaan internasional seperti JETP—yang membawa misi transisi energi berkeadilan—tidak memasukkan PLTP sebagai rencana utama. “Secara ekonomi, investasi PLTP tergolong mahal dan justru berisiko membebani negara melalui subsidi listrik,” ujarnya.
Wishnu Try Utomo, Direktur Advokasi Pertambangan CELIOS, turut menambahkan bahwa pengembangan geothermal selama ini kerap luput dari pengawasan publik. “Perjalanan mengubah geothermal menjadi listrik adalah proses ekstraktif yang membutuhkan sumber daya besar. Restorasi ekologi harus menjadi bagian integral dari pengembangan energi bersih dan terbarukan,” tegasnya.
Ia menutup paparannya dengan mengingatkan bahwa penyediaan energi tak boleh dikuasai oleh kepentingan korporasi. Masyarakat harus menjadi pengelola sekaligus penerima manfaat dari sumber daya alam yang ada.
Jadi, menurut Bernard Lilihata Mereka “Bukan Menolak Energi Terbarukan, Tapi Menuntut Keadilan”. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat Tehoru tidak anti terhadap energi bersih. Namun mereka menuntut keterlibatan penuh dalam pengambilan keputusan dan penentuan lokasi proyek.
“Kalau membawa manfaat, kita terbuka. Tapi bukan dengan cara mencuri tanah ulayat. Jangan korbankan kami demi proyek yang tidak kami pahami manfaat dan risikonya,” tegasnya.
Masyarakat adat bersama 10 negeri di Kecamatan Tehoru kini terus melakukan konsolidasi. Mereka bersikeras menolak pembangunan PLTP di atas tanah adat, dan mendorong pengesahan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Maluku Tengah.
Bagi mereka, ini bukan sekadar soal proyek energi. Tapi menyangkut martabat, ruang hidup, dan hak untuk menentukan masa depan di tanah leluhur mereka sendiri.

Penulis: Sahdan Fabanyo Editor : Christ Belseran