TITASTORY.ID – Kamis, 24 Februari 2022, Presiden Rusia, Vladimir Vladimirovich Putin, secara resmi mengumumkan operasi militer Rusia atas Ukraina yang menandai dimulainya perang Rusia dan Ukraina. Terhadap serangan militer Rusia atas Ukraina, muncul beragam tanggapan dari berbagai pengamat militer, yang salah satu pengamat itu adalah analis militer: “Connie Rahakundini Bakrie”.
Tetapi yang menarik dalam perihal ini adalah, pernyataan Connie Rahakundini Bakrie sebagaimana yang dilansir oleh portal berita online, Pikiran Rakyat, pada Selasa 1 Maret 2022 pukul 20:47 ‘Waktu Indonesia Barat’ (WIB), bahwa: “Saya baru jalan kira-kira beberapa bulan yang lalu, hampir semua daerah Indonesia timur, ketika saya bertemu mereka, mereka bilangnya, kami penduduk Pasifik. Wilayah dari Maluku sampai ke Papua merasa bahwa mereka adalah keluarga Pasifik dan bukan Indonesia”. Pernyataan yang mengandung didalamnya, suatu: “Kegelisahan”.
Pasifik & The Melanesian Way
Pasifik (Pacifico (Bahasa Spanyol)) – sebagaimana yang dinamakan oleh Fernando de Magelhaens seorang penjelajah berkebangsaan Portugis – adalah nama salah satu samudera di planet bumi yang terbentang antara benua Asia di sebelah Barat hingga Benua Amerika di sebelah Timur; dan antara benua Artika di sebelah Utara hingga benua Antartika di sebelah Selatan. Dimana – di atas samudera terluas di dunia ini – terhampar sejumlah kurang lebih 20.000 hingga 30.000 pulau banyaknya. Secara tradisional, pulau-pulau ini digolongkan menjadi 3 (tiga) gugus kepulauan, yaitu: (1) Melanesia (Kepulauan Hitam); (2) Mikronesia (Kepulauan Kecil); (3) Polinesia (Kepulauan Berjumlah Banyak).
Secara politik, pulau-pulau dimaksud mengelompokan diri menjadi ‘18 (delapan belas) negara berdaulat dan merdeka’ (Australia, Kepulauan Cook, Fiji, Polinesia Perancis, Kiribati, Kepulauan Marshall, Federasi Micronesia, Nauru, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Niue, Palau, ‘Papua New Guinea’ (PNG), Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu). Negara-negara tersebut kemudian menggabungkan diri dalam apa yang dinamakan: “Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum (PIF))”.
Sementara itu, negara-negara dalam lingkup golongan Melanesia membentuk apa yang dinamakan: “Kelompok ‘Ujung-Tombak’ Melanesia (Melanesian ‘Spearhead’ Group (MSG))”. MSG itu sendiri terdiri dari 4 (empat) negara, yaitu: “Fiji, PNG, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu”. Bapak Bangsa Vanuatu, Walter Hadye Lini (1942-1999), yang menjadi Perdana Menteri pertama Negara Vanuatu (1980-1991), dalam Biografi dan Otobiografi dibawah judul, Beyond Pandemonium: From the New Hebrides to Vanuatu, yang diterbitkan di Vanuatu pada tahun 1980, menyatakan, bahwa: “Vanuatu tidak akan berhenti berjuang sebelum menyaksikan saudara-saudarinya sesama Melanesia lainnya memperoleh kemerdekaan”.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, ‘Prof. Hikmahanto Juwono, SH., LLM., Ph.D.’ (Guru Besar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani) sebagaimana yang dilansir oleh portal berita online, Liputan6.com, hari Senin, tanggal 30 September 2019, jam 19:40 WIB., menyatakan, bahwa: “Dalam konstitusi Vanuatu ada pasal yang mengatakan bahwa ‘mereka’ (Vanuatu – Penulis), berdasarkan asas solidaritas, harus memperjuangkan Bangsa Melanesia”.
Apa yang dinyatakan oleh Walter H. Lini sebagaimana tersebut di atas, adalah bagian dari: “Jalan dan/atau Cara Melanesia” (The Melanesian Way). The Melanesian Way digagas melalui suatu tulisan setebal 17 halaman dibawah judul, The Melanesian Way, oleh seorang filsuf PNG, bernama: “Bernard Narokobi”. Tulisan tersebut diterbitkan oleh University of Melanesia, Papua New Guinea, Port Moresby, pada tahun 1970, dan kemudian direvisi oleh Institute of Papua New Guinea Studies (Boroko) and the Institute of Pacific Studies (Suva) pada tahun 1983.
Gagasan The Melanesian Way merupakan suatu bukti awal kesatuan sosial dan/atau solidaritas antar orang Melanesia yang dilandasi oleh ‘kenyataan dan/atau fakta’ (fact) Antropologis dan/atau Sosiologis orang Melanesia sebagai suatu ‘Rumpun Bangsa dan/atau Ras’ (Race) dan/atau Bangsa. Melalui gagasan The Melanesian Way inilah, banyak ‘rakyat’ (peoples) dalam wilayah Melanesia dapat meraih kemerdekaan, seperti: “Fiji (1970); PNG (1975); Kepulauan Solomon (1978); Tuvalu (1978); Kepulauan Marshall (1979); dan Vanuatu (1980)”. The Melanesian Way kemudian menjadi suatu manifesto politik ‘negara-negara Melanesia’ (Fiji, PNG, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu) (Windiani, Andreas Brian Bagaskoro Bayuseno dan Reni (2020) Memahami Konsistensi Sikap Politik Negara-Negara Melanesia Mengenai Isu Papua di Forum-Forum Internasional (Assessing the Consistency of Political Attitude and Position of Melanesian Countries on the Papua Issue in International Forums). Semarang: Departemen Hubungan Internasional, Universitas Diponegoro (UNDIP)).
Masalahnya adalah – secara antropologis/sosilogis – Papua, Papua Barat, Maluku, ‘Maluku Utara’ (Moloko Kie Raha), dan ‘Nusa Tenggara Timur’ (NTT) merupakan 5 (lima) propinsi dalam ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) dengan ‘penduduk asli’ (Indigenous Peoples/Native Peoples) yang berasal dari Ras/Bangsa Melanesia sebagaimana yang di-identifikasikan pada tahun 1825 oleh seorang penjelajah berkebangsaan Perancis, bernama: “Jean Baptiste Bory de Saint-Vincent”, dan diklasifikasikan pada tahun 1832 oleh seorang penjelajah berkebangsaan Perancis lainnya, bernama: “Jules Dumont d’Urvile”. Identifikasi dan klasifikasi sebagaimana tersebut di atas, dilakukan setelah sebelumnya telah muncul teori mengenai ‘Ras Melanesia’ pada tahun 1756 yang dikemukakan oleh seorang penjelajah berkebangsaan Perancis terdahulu, bernama: “Charles de Brosses”.
Ras/Bangsa Melanesia di NKRI
Jika ditelaah dari sudut pandang Antropologis/Sosiologis, maka Ras/Bangsa Melanesia adalah Ras/Bangsa yang pertama kali ‘ada dan/atau eksis’ (exist) di wilayah ‘bekas Hindia-Belanda’ (Indonesia). Perihal ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam halaman 9 dari buku dibawah judul, Nusantara Sejarah Indonesia, yang diterbitkan di Jakarta pada pada tahun 2010 oleh penerbit Gramedia, bahwa: “Kumpulan bukti antropologis dan arkeologis tampaknya menunjukkan bahwa populasi tertua Kepulauan Indonesia berhubungan erat dengan nenek moyang orang Melanesia masa kini …”.
Vlekke (2010: 10) selanjutnya mengemukakan bahwa, lama setelah kedatangan nenek moyang orang-orang Ras/Bangsa Melanesia ke wilayah ernamar, barulah datang kemudian nenek moyang orang-orang Ras/bangsa Mongoloid dari daratan Tiongkok ke wilayah Indonesia dalam 2 (dua) gelombang. Gelombang pertama datang dari barat yaitu dari ‘Yunnan’ (Cina bagian selatan) yang oleh Sarasin bersaudara disebut sebagai ‘Melayu Tua’ (Proto-Malay). Gelombang kedua datang dari utara yaitu dari ‘Taiwan’ (Cina bagian timur) dan wilayah sekitarnya yang oleh Sarasin bersaudara disebut sebagai ‘Melayu-Muda’ (Deutro-Malay).
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, dr. Roslan Yusni Hasan, seorang pakar neurogenetika dan biologi molekuler mengemukakan bahwa, Ras/Bangsa Melanesia tiba di wilayah Indonesia pada 50.000 hingga 30.000 tahun lalu dalam gelombang migrasi pertama keluarnya ‘Ras Manusia’ (Homo Sapiens) dari benua Afrika yang menyebar ke seluruh penjuru dunia pada 60.000 tahun yang lalu (berdasarkan Teori Keluar dari Afrika (base on Out of Africa Teory) yang dikemukakan oleh James Dewey Watson (1928-2022) setelah Louis Seymour Bazett Leakay (1903-1972) dan Mary Leakay (1913 – 1996) menemukan kerangka ‘Manusia Modern’ (Homo Sapiens Sapiens) tertua di benua Afrika Utara bagian Timur). Setelah itu, barulah tiba di wilayah Indonesia Ras/Bangsa Negrito dari benua Afrika juga yang disebut “orang Vedda” pada 6.000 tahun lalu dalam gelombang migrasi kedua ‘keluar dari Afrika’ (Out of Africa).
Sementara itu, Gelombang migrasi pertama Ras/Bangsa Mongoloid yang datang dari daratan benua Asia terutama dari dataran ‘Yunnan’ (Tiongkok) tiba di wilayah ernamar pada tahun 3.000 ‘Sebelum Masehi’ (SM), sedangkan gelombang migrasi kedua Ras/Bangsa Mongoloid yang datang dari pulau ‘Taiwan’ (Formosa) tiba di wilayah Indonesia pada tahun 300 SM, dan terakhir pada masa awal perdagangan dan pelayaran dalam gelombang migrasi oleh bangsa-bangsa lain dari seluruh dunia ke Indonesia, seperti: “bangsa India, China, Arab, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan lain sebagainya”.
Kenyataan/fakta (fact) antropologis/sosiologis tersebut di atas – khususnya mengenai ‘keberadaan/eksistensi’ (existence) Ras/Bangsa Melanesia di Indonesia – selalu dibantah oleh pemerintah NKRI (sejak pemerintahan Sukarno sampai/dengan pemerintahan Megawati Sukarnoputeri). Baru pada tahun 2013, pemerintah NKRI untuk pertama kalinya secara resmi mengakui ‘keberadaan/eksistensi’ (existence) Ras/Bangsa Melanesia di Indonesia, ernam ‘Dino Patti Djalal’ (Menteri Luar Negeri (MENLU) dalam Kabinet pemerintahan Presiden NKRI, Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2015)) menyatakan kepada utusan organisasi negara-negara Pasifik Selatan yang berkunjung ke Indonesia guna memantau kehidupan warganegara Indonesia keturunan Ras/Bangsa Melanesia yang tinggal dalam wilayah NKRI, bahwa: “Terdapat kurang lebih 11.000.000 orang Ras/Bangsa Melanesia yang hidup dalam NKRI”.
Kemudian Fadli Zon – yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Wakil Ketua ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ (DPR) NKRI bidang ‘Koordinasi Politik dan Keamanan’ (KORPOLKAM) – juga mengakui dalam kedudukan sebagai Ketua delegasi Indonesia yang diberi kehormatan untuk menyampaikan Vote of Thanks mewakili delegasi negara-negara yang hadir dalam pertemuan tahunan ke 25 ‘Asia Pacifik Parliamentary Forum’ (APPF) di Nadi, Republik Fiji pada hari Senin, tanggal 16 Januari 2017, bahwa: “Secara regional, negara-negara di ernama Pasifik Selatan mayoritas penduduknya merupakan Ras/Bangsa Melanesia, dan Indonesia saat ini memiliki 11.000.000 penduduk beretnis Melanesia, yang terbesar di wilayah Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua” (Buletin Parlementaria, nomor: 943/III/I/2017).
Seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, ‘Kacung Marijan’ (Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan NKRI) menyatakan pula, bahwa: “… 80% penduduk yang disebut Melanesia bermukim di Indonesia”. Mengenai populasi Melanesia di Indonesia, data dari ‘Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan’ (KEMENDIKBUD) menyebutkan jumlahnya dapat mencapai 13.000.000 orang yang tersebar di 5 (lima) propinsi di Indonesia. Kelima propinsi di Indonesia yang tergabung dalam Ras/Bangsa Melanesia tersebut masing-masing, adalah: “Papua, Papua Barat, Maluku, ‘Maluku Utara’ (Moloko Kie Raha) dan ‘Nusa Tenggara Timur’ (NTT)”. Sedangkan jumlah penduduk Melanesia di 6 (enam) negara lainnya hanya berjumlah 9.000.000 jiwa, yang terdiri dari negara: “PNG, Timor Leste, Vanuatu, Kaledonia Baru, Kepulauan Salomon, serta Fiji” https://tirto.id/.
Pada hari Selasa, 6 Oktober 2015, bertempat di Kota Ambon, Maluku, Joko Widodo (JOKOWI), dalam jabatannya selaku Presiden NKRI telah pula menyaksikan penandatanganan “Deklarasi Persaudaraan Melanesia-Indonesia” yang dilakukan oleh perwakilan dari 5 (lima) propinsi dalam NKRI, yang merupakan bagian dari Ras/Bangsa Melanesia, yaitu: “Papua, Papua Barat, Maluku, ‘Maluku Utara’ (Moloko Kie Raha), dan ‘Nusa Tenggara Timur’ (NTT)”. Moment ini, dengan sendirinya telah mengakhiri “68 tahun (1945-2013)” penyangkalan dan/atau pengingkaran pemerintah NKRI terhadap ‘keberadaan/eksistensi’ (existence) Ras/Bangsa Melanesia dalam NKRI. Dengan demikian, dapat disebutkan dengan kata lain bahwa, sejak tahun 2013, telah terdapat 2 (dua) bangsa dalam NKRI, yaitu: “Mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai Bangsa Indonesia, dan orang-orang Bangsa Melanesia”.
NKRI & The Melanesian Way
Jika merujuk pada ‘kenyataan dan/atau fakta’ (fact) antropologis sebagaimana tersebut di atas, maka tidak ada bangsa yang ernama: “Indonesia”. Sementara itu, Prof. Dr. Tony Pariela, Msi., seorang Guru Besar Sosiologi pada ‘Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura’ (FISIPOL UNPATTI) di Ambon, Maluku, menyatakan, bahwa: “… Secara sosiologis Indonesia belum dapat disebut sebagai suatu bangsa …” (Waileruny, Semuel (2011) Membongkar Konspirasi Di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h. 129).
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, ‘Dr. Daoed Joesoef’ (mantan ‘Menteri Pendidikan dan Kebudayaan’ (MENDIKBUD) NKRI dalam ernama pembangunan III pimpinan Presiden Suharto (29 Maret 1978 sampai/dengan 19 Maret 1983)), dalam halaman 171 dari buku dibawah judul, Studi Strategi Logika Ketahanan Dan Pembangunan Nasional, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2014 oleh penerbit Kompas menyatakan, bahwa: “Bangsa Indonesia bukan satu ‘fakta’ (Kenyataan – Penulis)”. Bahkan pada halaman sebelumnya dari buku tersebut, Daoed Joesoef (2014: 165) dengan tegas menyatakan, bahwa: “Indonesia, baik dalam artian ‘Bangsa’ (Nation) maupun ‘Negara’ (State), apalagi ‘Negara-Bangsa’ (Nation-State), bukanlah suatu fakta”.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas pula, Dr. Tristam Pascal Moelliono, seorang dosen Ilmu Politik Internasional pada ‘Universitas Parahyangan’ (UNPAR) di Bandung, Jawa Barat, menyatakan, bahwa: “Konsep dari bangsa Indonesia itu hanyalah mimpi belaka”. Searah dengan pernyataan Moelliono, Benedict Richard O’Gorman Anderson (1936-2015), seorang ernamar emeritus bidang studi Antropologi dan Sosiologi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, menyatakan, bahwa: “Indonesia hanyalah sebatas ‘komunitas politik terbayang’ (imagined political community) yang sama sekali belum terwujud … Suatu hasil rekayasa imajinasi para penggagasnya … Suatu kisah fiktif terbesar di abad ke – XX”.
Yudi Latif, seorang Deputi Rektor Universitas Paramadhina, dan Direktur Eksekutif ‘Lembaga Reformasi’ (Reform Institute), menyatakan, bahwa: “Indonesia masih tetap suatu proyek yang belum tuntas”. Sejalan dengan pernyataan Latif, Prof. Salim Said, Ph.D., salah seorang pendiri majalah Tempo, Guru Besar pada ‘Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pertahanan’ (FISIPOL-UNHAN), dan mantan Duta Besar NKRI untuk Republik Ceko, dalam suatu wawancara dengan Akbar Faisal pada hari Senin, tanggal 24 Januari 2022 di channel youtube AF Uncensored menyatakan, bahwa: “Indonesia adalah bangsa buatan … Indonesia belum selesai terbentuk” (https://youtu.be/eVa_zo-o0SQ).
Penulis menutup tulisan ini dengan suatu pertanyaan terbuka: “jika tidak ada bangsa yang ernama Indonesia secara antropologis maupun sosiologis dan proses Indonesia menjadi suatu bangsa masih hanya sebatas mimpi yang belum terwujud bahkan suatu proyek yang belum tuntas, maka bangsa Indonesia manakan yang dimaksud Sukarno dalam isi teks proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang dibuat oleh Sukarno itu (?), dan bangsa Indonesia manakah yang di-atas/nama-kan oleh Sukarno dan/atau Hatta dalam proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang dinyatakan pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, itu (?)”.
Besar harapan penulis, jawaban terhadap pertanyaan tersebut di atas, dapat memberi makna pada perasaan ‘rakyat dan/atau penduduk’ (peoples) dari wilayah Maluku sampai ke Papua sebagaimana pernyataan Connie Rahakundini Bakrie: “… Wilayah dari Maluku sampai ke Papua merasa bahwa mereka adalah keluarga Pasifik dan bukan Indonesia”. Dalam hubungan dengan pernyataan Connie Rahakundini Bakrie ini, penulis sendiri berkesimpulan bahwa, ‘mereka’ (dari wilayah Maluku sampai ke Papua) telah berada pada: “The Melanesian Way”.
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon
Discussion about this post