Masyarakat Adat Sabuai Gelar Ritual Tep Sila Hatalima, Tolak Pemasangan Pal HPK dan Investasi Perkebunan di Siwalalat

by
27/03/2025
Suasana Sasi adat di salah satu Pal HPK milik oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Maluku. Foto: titastory/Josua

titastory, Seram Bagian Timur – Masyarakat adat Sabuai di Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, menggelar ritual sakral Tep Sila Hatalima sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana masuknya investasi tebu, sawit, dan kayu bulat oleh PT Visqa Mulia Maha Karya, serta pemasangan sepihak pal batas Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Maluku di wilayah adat mereka.

Ketua Saniri Negeri Sabuai, Nikodemus Ahwalam, menjelaskan bahwa sebelum ritual dimulai, masing-masing uku atau marga berkumpul di rumah tua untuk menunggu pesan dari marima yang disampaikan melalui tabaos. Setelah menerima petunjuk, para kepala uku beserta anak-anak marga berjalan menuju balai negeri, tempat berlangsungnya prosesi fua haksalane—ritual makan sirih pinang—sebagai bagian dari persiapan spiritual sebelum memasuki Tep Sila Hatalimaatau sasi hutan.

Setelah prosesi awal selesai, perwakilan marga, anggota Saniri, serta staf pemerintah Negeri Sabuai bergerak menuju tugu negeri, yang diyakini sebagai pusat kampung. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan ke Boiufa, lokasi utama pelaksanaan ritual. Setibanya di sana, tetua adat dari marga Yamarua dan Titasam melakukan babeto, ritual komunikasi dengan leluhur untuk meminta restu dan perlindungan bagi masyarakat Sabuai.

Sebuah spanduk yang dibentangkan oleh masyarakat adat Sabuai (Saf’Wai), Kecamatan Siwalalat, Seam Bagian Timur. Dalam Spanduk tersebut masyarakat adat Sabuai dengan tegas menolak pemasangan pal HPK yang dilakukan secara sepihak serta menolak masuknya investasi perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan dan ruang hidup mereka. (Foto: titastory/Josua)

Dalam pernyataan resminya, Nikodemus Ahwalam menegaskan bahwa masyarakat adat Sabuai dengan tegas menolak pemasangan pal HPK yang dilakukan secara sepihak serta menolak masuknya investasi perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan dan ruang hidup mereka. Pernyataan ini disampaikan dalam bahasa Teuwa, bahasa adat Sabuai:

Am han yama safwaya, uku lime am forok, ho am TEPSILA ni sirae pal HPK, am Ela perusahaan si forok si belesai am dalei kaitaha, hari Anin am fua pal HPK Anin.”

(“Kami adalah pemilik sah tanah ini, semua marga kami telah sepakat. Dengan ritual Tep Sila ini, kami menolak pemasangan pal HPK dan menolak kehadiran perusahaan yang ingin merampas wilayah kami.”)

Sebelum ritual dimulai, masing-masing uku atau marga berkumpul di rumah tua. Foto: titastory/Josua

Usai ritual, masyarakat adat Sabuai kembali ke balai negeri untuk berdoa bersama sebagai ungkapan syukur atas selesainya prosesi adat ini. Mereka menegaskan bahwa perjuangan mempertahankan tanah dan hutan adat akan terus berlanjut, dan ritual Tep Sila Hatalima adalah bentuk perlawanan yang sah serta bagian dari identitas budaya mereka.

Pemasangan pal HPK serta masuknya investasi skala besar ke wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat setempat dinilai sebagai bentuk perampasan hak yang mengancam kelestarian hutan serta kesejahteraan generasi mendatang. Hutan juga dianggap sebagai pelindung mereka dari bencana alam seperti banjir dan longsor yang beberapa tahun belakang ini melanda Negeri mereka. Masyarakat adat Sabuai bersumpah akan mempertahankan tanah mereka dari ancaman eksploitasi, dengan keyakinan bahwa leluhur akan selalu berpihak pada perjuangan mereka.

Penulis: Josua Ahwalam
error: Content is protected !!