titastory, Seram Bagian Barat – Konflik tanah adat di Gunung Tinggi, Negeri Piru, kembali memanas. Protes warga adat setempat terhadap operasi PT Manusela Prima Mining menguak ketegangan lama: perebutan lahan adat yang diwariskan secara turun-temurun.
Mata rumah marga Manuputty, pemilik sah tanah tersebut, menuntut penghentian aktivitas tambang nikel yang dianggap ilegal dan menodai hak adat mereka. Konflik ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga simbol perlawanan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang melibatkan kekuasaan politik dan ekonomi.
Akar Masalah: Klaim Adat vs. Kepentingan Korporasi
Gunung Tinggi bukan sekadar kawasan tambang bagi mata rumah marga Manuputty. Kepala Adat Hena Hatutelu menegaskan bahwa tanah ini memiliki makna historis dan spiritual. Dalam sebuah video yang viral di media sosial, atas nama akun @marselmaspaitella25 mengungkapkan bahwa tanah tersebut telah menjadi milik leluhur Manuputty sebelum Negeri Piru berdiri.
“Kami menjaga tanah ini secara turun-temurun,” katanya, menggarisbawahi pentingnya hak adat yang dilindungi oleh hukum tak tertulis.
Namun, masalah muncul ketika perusahaan tambang mulai melakukan aktivitas eksplorasi tanpa persetujuan Badan Saniri atau kepala adat, Jacobus Puttileihalat, dituduh mengeluarkan izin sepihak untuk perusahaan tambang.
“Dia berkuasa tapi lupa bahwa tanah ini milik adat, bukan miliknya,” ujar seorang perempuan dari mata rumah marga Manuputty yang terlihat emosional dalam video protes tersebut.
Politik di Balik Sengketa
Menurut Maspaitella, kepala desa yang memberikan izin atas tanah ini tidak memiliki legal standing.
“Kepala Desa tidak berhak mengelola tanah adat tanpa persetujuan Badan Saniri,” ujarnya. Lebih lanjut, ia menuduh adanya praktik mafia tanah yang melibatkan pemalsuan dokumen untuk melegitimasi perampasan tanah adat.
Sejak 2007, warga adat Piru telah mempertahankan tanah mereka meski harus menghadapi intimidasi.
“Kami sudah menjaga tanah ini selama 17 tahun,” ungkap salah seorang perempuan dari keluarga Manuputty dengan ikat kepala merah. Beberapa kali, mereka diancam akan dibakar jika tidak meninggalkan lokasi.
“Saya lebih baik mati di tanah sendiri,” tegasnya.
Para perempuan dan anak-anak turut serta dalam aksi ini, membentangkan spanduk bertuliskan “Lokasi Tanah Adat Marga Manuputty, Gunung Tinggi.” Protes ini menjadi puncak dari perjuangan panjang yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Dalam aksinya, masyarakat adat Piru memohon perhatian langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Mereka meminta agar presiden mengirim tim investigasi khusus untuk meneliti masalah ini. “Pak Presiden, dengarkan suara kami yang telah dikucilkan dan menderita,” pinta mereka.
Konflik ini mencerminkan tantangan besar dalam mempertahankan hak-hak adat di tengah desakan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam.
Kasus ini bukan sekadar sengketa tanah, tetapi juga simbol perjuangan masyarakat adat mempertahankan hak mereka di tengah tekanan politik dan ekonomi. Dengan berbagai ancaman dan intimidasi yang mereka hadapi, warga adat Piru menunjukkan bahwa perjuangan hak ulayat tidak akan surut, meski harus berhadapan dengan kekuatan korporasi dan politik. (TS-03)
Discussion about this post