titastory.com, nusa ina – Hari itu, tepatnya tanggal 12 februari 2020, dengan memakai kain merah di kepala, gabungan masyarakat adat di kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, terpaksa naik hutan gunung Ahwale, untuk melakukan prosesi adat “Sasi Hutan” di lokasi Pembalakan kayu CV. Sumber Berkat Makmur.
Prosesi ritual adat “Sasi Hutan” di gunung Ahwale, petuanan Negeri Sabuai ini dipimpin oleh Ketua Saniri Negeri Sabuai, Nicko Ahwalam. Prosesi adat ini dilakukan pengambilan sumpah adat. Prosesi sasi ini juga agar memanggil leluhur menjaga hutan agar tidak rusaki oleh ornag yang tidak bertanggungjawab.
Ritual prosesi adat dengan melakukan sasi hutan gunung Ahwale sebagai bentuk protes kepada pemerintah daerah maupun perusahan pembalakan kayu CV. Sumber Berkat Makmur yang melakukan aktivitas pembalakan kayu.
Bagi mereka hutan Gunung Ahwale memiliki kayu bernilai ekonomis tinggi, selain kayu di hutan itu juga, banyak tersimpan peninggalan para leluhur mereka, termasuk kuburan para leluhur mereka.
“Hutan dan Gunung ini, adalah kampung kami mana mungkin kami berikan untuk di ekploitasi, disana juga terdapat peninggalan dan kuburan leluhur kami, ”tutur Nicko Ahwalam, Ketua Saniri Negeri Sabuai.
Namun sayangnya, ritual adat sasi hutan tersebut tidak dihiraukan oleh pihak perusahan. Mereka terus melakukan aktivitas pembalakan kayu.
Protes terhadap perusahan pun berlanjut oleh masyarakat adat. Kali ini, masyarakat adat dari Negeri Sabuai melaporkan perusahan CV. Sumber Berkat Makmur ke Polres Seram Bagian Timur. Laporan tersebut dilakukan karena perusahan dianggap telah melakukan penyerobotan lahan adat dengan melakukan aktivitas illegal logging di hutan adat milik mereka.
Perusahan Kayu Berkedok Perkebunan Pala
Atas dugaan penyerobotan lahan hutan adat milik mereka, Aliansi Mahasiswa Sabuai (AMS) telah menempuh jalur hukum dengan melaporkan pihak perusahan CV.SBM Pihak Polres Bula Seram Bagian Timur.
“Aktivitas CV.SBM di beberapa Negeri Adat Kecamatan Siwalalat, Kabupaten SBT, tepatnya di Negeri Sabuai, Abuleta, Naiwelahinulin dan Atiahu. Kami telah menemukan data yang menjadi petunjuk, CV.SBM ini benar-benar melakukan illegal logging,” ungkap Kaleb Yamarua melalui rilisnya yang diterima titastory.com , rabu, (18/2/2020).
Menurutnya, CV.SBM juga diduga tidak mengantongi Amdal. Berdasarkan keterangan yang disampaikan, 5 Juni 2019 lalu, Kepala Pemerintahan Sabuai, Friderik Nisdoam mengatakan, masyarakat tidak dilibatkan dalam pembahasan Analisa Dampak Lingkungan (Amdal).
“Kami tidak pernah tahu mengenai Amdal ini. Bahkan dari pihak perusahaan sendiri tidak pernah memberikan satupun keterangan atau informasi kepada kami mengenai Amdal ini,” kata Yamarua.
AMS berpendapat, perusahaan kayu CV.SBM tidak mengantongi satupun izin. Baik itu izin lingkungan maupun izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sebagaimana diatur dalam UU Nomor: 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara implisit.
Disebutkan, pasal 1 angka 11, bahwa analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.9/Menlhk-II/2015 tentang Tata Cara Pemberian, Perluasan Areal Kerja dan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam.
Kemudian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi, juncto Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.
Sehingga, masyarakat yang dilibatkan dalam proses penyusunan Amdal mencakup, masyarakat terkena dampak, masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.
“Dengan keterlibatan masyarakat Negeri Sabuai sebagai pihak terkena dampak, dalam pembahasan Amdal sangat diperlukan. Ini semata-mata bertujuan untuk memberi ruang kepada masyarakat, agar memperoleh informasi hasil Amdal itu sendiri. Karena Amdal menentukan layak tidaknya lingkungan hidup yang dimohon oleh perusahan,” tulis Yamarua.
Dikatakan, Amdal juga berfokus pada analisis: potensi masalah, potensi konflik, Kendala Sumber Daya Alam (SDA), pengaruh kegiatan sekitar terhadap proyek. Dengan Amdal, pemrakarsa dapat menjamin bahwa proyeknya bermanfaat bagi masyarakat, aman terhadap lingkungan.
Bukan saja itu, modus illegal logging dilakukan dengan cara perkebunan pala. Pada September 2018 lalu, CV.SBM mendatangkan 5.000 anakan pala ke Negeri Sabuai. Maksudnya kepada masyarakat, untuk ditanami di lokasi perusahan dimaksud.
“Namun, yang menjadi kecuriagaan besar oleh masyarakat, kalaupun 5000 bibit pala itu diperuntukan kepada masyarakat, kenapa tidak dibagi-bagikan saja ke masyarakat, agar masyarakat merawat anakan-anakan pala tersebut di lokasi-lokasi milik warga,” katanya.
Dia menambahkan, yang terjadi adalah perusahaan menempatkan 5000 bibit tanaman pala pada satu lokasi pembibitan, bertempat di belakang SD Persiapan Negeri Sabuai. Perusahan itu juga membayar karyawannya untuk merawat anakan pala tersebut.
Tak hanya itu, mahasiswa asal Desa Sabuai juga menemukan surat daftar nama perusahan yang terdaftar memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam / Hutan Tanaman (IUPHHK-HA/HT). Di Kabupaten Seram bagian Timur, Perusahan CV. Sumber Berkat Makmur (SBM) tidak tercatat dalam lampiran surat tersebut.
Informasi yang dihimpun titastory.com, IUP yang ditandatangi Bupati seluas 3000 hektar pada 2018. IUP ini akan berakhir pada Maret 2020 mendatang. Namun hingga kini perkebunan pala masih sebatas pembibitan. Sementara hutan itu sudah ditebang secara liar.
Izin Pemanfaatan Kayu memang dikantongi CV.SBM pada tahun 2019. IPK dikeluarkan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku. Namun ijin ini diduga tak prosedural. “IPK kan semestinya menunggu laporan realisasi tanaman dari dinas terkait baru dikeluarkan ijin tahap II. Dinas terkait belum menyampaikan laporan, kok izinnya sudah dikeluarkan,” kata salah satu sumber yang merupakan pegiat lingkungan.
“Kami meminta pemerintah pusat tak menerbitkan izin IPK. Mari kita lihat Siwalalat secara utuh, jangan melihat hanya di atas kertas. Tak ada sejarah IPK masuk, lalu masyarakat Siwalalat sejahtera.” Belum lagi bicara konflik. Kala rencana IPK mengemuka, katanya, gesekan antarmasyarakat mulai terjadi hingga rawan konflik sosial.
Mereka telah menerima surat penolakan dari masyarakat Negeri-negeri adat se-Kecamatan Siwalalat sejak tahun 2019.“Lahan itu sudah gundul dan banyak kayu ditebang. Masyarakat berkebun dan berburu. Banyak perkebunan masyarakat di situ. Lalu mahasiswa biayanya di mana? Kami hidup dimana lagi?” katanya. (TS-01)
Discussion about this post