titastory.id, ambon – Kehadiran PT Waragonda yang berupaya untuk melakukan penambangan pasir garnet atau pasir merah di Negeri Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) menuai penolakan keras dari mahasiswa setempat.
Perusahaan ini sebelumnya juga telah mendapat penolakan serupa saat melakukan eksploitasi pasir di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Malteng. Penambangan pasir yang tak terkendali ini menyebabkan terjadinya abrasi di negeri tersebut.
Setelah terusir dari Negeri Haya, perusahan ini mulai melirik Negeri Tehoru sebagai lahan baru.
Hal ini terlihat dari pertemuan pihak perusahaan dengan Pemerintah Negeri Tehoru, pekan lalu.
Mahasiswa Tehoru yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Negeri Tehoru (IKMAT) langsung bereaksi keras, melakukan penolakan. Penolakan disampaikan secara resmi dalam konferensi pers di Kampus IAIN Ambon IKMAT, Sabtu (10/08/2024).
Mahasiswa mengatakan, tidak ingin kampung halamannya bernasib sama dengan Negeri Haya yang mengalami pengrusakan lingkungan.
Belajar dari pengalaman pahit, aktivitas perusahaan yang bergerak di bidang industri pertambangan pasir abrasive (Pasir Garnet) di Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah sejak tahun 2019 ini merusak lingkungan berupa abrasi hingga merugikan masyarakat Negeri Haya.
Data minerba One Map Indonesia (MOMI) dan Minerba One Data Indonesia (MODI) esdm.go.id, izin operasi produksi perusahaan ini disetujui Gubernur Maluku 4 Oktober 2023 dan berakhir 4 September 2029.
Perusahaan ini akan melakukan produksi pasir garnet dengan luas lahan 25, 73 hektar di Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah.
Mongabay Indonesia menulis, sejumlah deretan nama mengisi daftar pemegang saham perusahaan, antara lain Sarfan Ode, komisaris (70% saham), Muhamad Amin Saofa, Direktur Utama (30%) dan Muammar Kadafi Tehuayo, selaku Direktur. Muammar merupakan warga lokal Desa Tehua.
Di tahun 2022 , terjadi pengikisan pantai besar-besaran di pesisir pantai Desa Haya, karena pengerukan pasir garnet terus-menerus. Abrasi menyebabkan dataran sekitar 20 meter dari laut hilang termasuk tempat pemakaman umum (TPU) Tutuni. Makam-makam di pesisir pantai banyak rusak dan hilang. Kondisi ini terjadi karena gelombang ekstrim.
Sekitar 20-an kuburan rusak, sebagian hilang, ada juga yang sudah dipindahkan karena terancam ombak dan abrasi, ungkap Samadin Samalehu, penjaga makam Tutuni kepada media ini beberapa waktu lalu. Menurutnya abrasi terjadi sejak PT. Waragonda mengambil pasir.
“Sebelumnya akang seng seperti begini,” kata Samadin.
Sejak beroperasi 2021, kata Samadin, banyak warga berebutan mengeruk pasir merah untuk jual ke perusahaan garnet ini. Alasannya, untuk penuhi kebutuhan ekonomi, padahal berdampak buruk bagi masyarakat di Desa Haya.
Sebenarnya, kata Samadin, warga sudah protes kepada pemerintah desa maupun perusahaan tetapi selalu diabaikan.
“Disini itu warga sudah protes, mereka tidak suka dengan perusahaan garnet ini, karena abrasi terlalu cepat di negeri ini,” katanya.
Dugaan Akal Bulus Perusahaan
Abrasi jadi momok di pesisir Desa Haya. Pj Kepala Desa Haya, Farid Samahelu di tahun 2022 memperkirakan abrasi mencapai 10-15 meter dari bibir pantai, akibatnya talud rusak, air laut menutupi jalan.
Dia menyebutkan, pihak perusahan selama ini tidak pernah merespons kerusakan lingkungan yang terjadi. Farid Samalehu mengaku bersikeras menolak aktivitas perusahan alasannya karena dampak abrasi yang terjadi sangat merugikan masyarakat.
Selain itu, perusahaan ini belum mengantongi izin operasi dari Pemerintah Negeri Haya, dan tidak memiliki itikad baik, serta tidak menghargai hak petuanan masyarakat di Desa Haya.
“Dari saya menjabat, bahkan sampai sekarang itu belum ada Izin operasi khusus perusahan pasir garnet. Jika ada, beta mau ( saya ingin) tanya, keluar atas dasar apa, izin dari siapa dan melibatkan elemen masyarakat mana,” kata Farid.
Dia mengakui abrasi telah jadi momok, dan masyarakat kini hidup dalam ketakutan.
“Apa modusnya sehingga bisa membangun komunikasi dengan Pemerintah Negeri Tehoru?, mengapa mau menggarap lalu meminta izin?. Diduga ini akal bulus perusahaan, “ terang Samalehu.
Dia menerangkan, sesuai surat Pemerintah Desa Haya, Nomor 522.53/PN-NH/VII/2022, isinya adalah penolakan aktivitas PT. Waragonda Minerals Pratama di Desa Haya.
Karena pemerintah Desa Haya telah melarang, diduga perusahaan masuk ke Negeri Tehoru, sehingga langkah kami sebagai mahasiswa adalah menolak aktivitas perusahaan tersebut,’ tegas tegasnya.
Dalam kaitan dengan kerugian yang akan ditimbulkan, IKMAT Ambon, menilai pihak perusahan mencoba untuk mencari lahan baru, karena aktivitas di Desa Haya telah dibatasi apa lagi warga dan pemerintah telah menyampaikan sejumlah syarat yang enggan disanggupi.
Untuk diketahui pertemuan di Kantor Negeri Tehoru dihadiri Muamar Qadafi Tehuayo (Direktur), Darlan Wally (Jubir) dan kuasa hukum, sementara staf Negeri antara lain Hud Silawane, Raja Negeri Tehoru, Karim Din, Sekretaris Negeri dan Husein Siilawane, staf negeri, Ibrahim Silawane, Ketua Saniri, Manlao Kinlihu, dan Ketua -ketua RT.
Adapun point pertemuan tersebut, (1).Meminta persetujuan masyarakat Desa Tehoru untuk melakukan aktivitas galian C (pasir garnet) khusus di Desa Tehoru. (2) Meminta Pemerintah Negeri Tehoru untuk menyepakati izin operasi PT. Waragonda Minerals Pratama di Negeri Tehoru. (3), Meminta Pemerintah Negeri Tehoru sesegera mungkin mengimbau kepada warga untuk menggarap atau menambang pasir Merah di pesisir pantai Desa Tehoru, (4) Menyepakati proses jual beli pasir merah per-kubik seharga Rp. 200 , (5) Meminta Pemerintah Negeri untuk menyediakan lahan untuk tempat penampungan pasir merah sementara di Negeri Tehoru.
Lima point yang disampaikan tersebut rupanya tidak direspons langsung, karena butuh persetujuan masyarakat.
Menurut mahasiswa, dalam pertemuan itu, Direktur Pt. Waragonda Minerals Pratama Qadafi berjanji akan bertanggung jawab, karena perusahan hadir di Negeri Tehoru untuk memudahkan dan membantu ekonomi masyarakat.
Dikatakan, salah satu anggota saniri negeri, Manlao Ilihelu telah menyatakan, bahwa perusahaan hanya boleh membeli dari masyarakat dan tidak boleh mengambil sendiri. Dia juga menyampaikan protes karena harga yang ditawarkan terlalu murah.
Raja Negeri Tehoru, Hud Silawane mengatakan, jika perusahaan mau beroperasi, harus dibuat kesepakatan, agar jika abrasi terjadi, perusahan tidak lepas tangan. Pihaknya tidak ingin disalahkan, jika ada terjadi kerusakan lingkungan.
Menanggapi pernyataan Raja Negeri Tehoru ini
Jubir PT Waragonda, Darlan Wally, menekankan pihak perusahan bakal mengakomodir semua permintaan para staf dan saniri.
“ Tapi tolong bantu katong supaya perusahan ini dia bisa bajalan agar masyarakat juga bisa merasakan dampak dari sisi ekonominya pasir merah ini. Soal poin poin itu bapa dong (kalian) seng (tidak) perlu takut, katong (kami) bakal melihat itu semua, “ papar mahasiswa mengutip keterangan perusahan.
Sementara itu, Sekretaris Desa Tehoru, Karim Din dalam pertemuan itu juga mengatakan akan mempelajari permintaan pihak perusahan. Namun hal ini akan didiskusikan dengan masyarakat karena sudah pasti ada dampak krusial.
“ Pemerintah negeri tidak akan mengambil sikap, karena ini berkaitan dengan pesisir Pantai Tehoru, perlu koordinasi dengan semua masyarakat,” ujar Din.
Dalam kaitan dengan proses yang kini sudah dilakukan, IKMAT Ambon menolak dengan tegas masuknya PT. Waragonda Minerals Pratama di Negeri Tehoru. Menolak segala bentuk aktivitas perusahan di tanah ulayat Tehoru.
“Kami juga meminta sikap tegas Pemerintah Negeri Tehoru agar menolak niat PT. Waragonda Minerals Pratama untuk beroperasi di Tehoru. Landasanya adalah dampak lingkungan yang bakal terjadi dan merugikan masyarakat dan mengorbankan harapan generasi untuk terus hidup aman, nyaman dan adil di atas tanahnya sendiri.
“Maka dengan ini kami Ikatan Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa yang tergabung dalam IKMAT Ambon menuntut. (1). Mendesak Pemerintah Negeri Tehoru agar tidak mengeluarkan surat izin dan sekaligus menolak Pt. Waragonda Minerals Pratama untuk beroperasi di Negeri Tehoru.(2) Mendesak Pemerintah Negeri Tehoru agar tidak mengizinkan jual beli pasir garnet atau pasir merah di Negeri Tehoru. (3) Menolak aktivitas penggarapan pasir garnet atau pasir merah di sepanjang pantai (Tanah ulayat Negeri Tehoru). (4) Mengeluarkan Warga Negara Asing (WNA (India), dari Negeri Tehoru (TS-03)
Discussion about this post