TITASTORY.ID – Hari ini saya didapuk Badan Koordinasi HMI Maluku dan Maluku Utara membincangkan soal Lumbung Ikan Nasional(LIN). LIN ini dianggap sebagai Program Strategis Nasional (PSN). Gagasan ini sudah didengungkan semenjak 2010 era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Namun hingga kini bentuk implementasinya belum jelas.
Sejak tahun 2014 hingga kini LIN kembali diisukan. Di Maluku setidaknya ada tiga PSN yaitu Ambon Newport yakni mengembangkan Pelabuhan Ambon sebagai Hub Port; (ii) Lumbung Ikan Nasional yang membutuhkan lahan untuk pembangunan infrastruktur 270 hektar dan (iii) Blok Masela. Khusus LIN difokuskan di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yaitu WPPNRI 714 (Teluk Tolo dan Laut Banda), 715 (Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), dan 718 (Laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur).
Merujuk Kepmen KP No 50/2017 ketiga WPPNRI ini statusnya fully dan over exploited.
Sebetulnya apa LIN itu? Kalau dicermati secara filosofis kata Lumbung maknanya “tempat menyimpan cadangan pangan”. Lumbung Ikan Nasional dapat dipahami sebagai “tempat menyimpan cadangan pangan protein ikan secara nasional”. Alias perwujudan kedaulatan pangan berbasis komoditas maritim.
Apakah LIN begitu arahnya? Coba kita analisis. Pelabuhan Ambon Newport merupakan pusat gravitasi ekonomi maritim di Maluku hingga Maluku Utara dan mencakup kawasan LIN. Kawasan ini mencakup 8 Provinsi yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua. Harapannya, Ambon Newport bisa mengakselerasi pembangunan ekonomi maritim dan kepulauan kawasan LIN.
Pasalnya secara makro struktural kawasan LIN merupakan daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan dan rasio ini (kesenjangan yang tinggi). Dari 8 provinsi LIN hanya Sulawesi Utara dan Maluku Utara prosentasi penduduk miskinnya di bawah 10 %. Selebihnya di atas 10 %. Dari 8 provinsi LIN gini rasionya nyaris semuanya timpang alias mendekati 0,4 kecuali Maluku Utara (0,290) (baca: Suhana, 2021). Ketimpangan paling tinggi ialah Gorontalo (0,406) (BPS, 2021).
Kawasan LIN ini juga dihuni nelayan tradisional. Di Maluku dan Maluku Utara jumlahnya 198.385 jiwa. Komposisinya: 163.441 di Maluku dan 34.944 di Maluku Utara. Dari nilai tukar nelayan (NTN) 2019, 2020 dan 2021 hingga bulan September 2021, Maluku dan Maluku Utara relatif baik. Kendati mengalami fluktuatif semenjak merebaknya Covid-19. Dari semua provisi LIN NTN di bawah angka 100 adalah Gorontalo dan Papua Barat sepanjang 2019-2021. Bahkan selama 2019-2020 NTN semua provinsi LIN nyaris semua di bawah 100, kecuali Sulawesi Utara, Artinya apa? Tingkat kesejahteraan nelayan kita di wilayah LIN tergolong rendah. Pertanyaannya apakah LIN ini bakal menyelesaikan problem kemiskinan, dan ketimpangan di wilayah LIN? Atau, malah kian memperparah.
Penulis mencoba mencermati aneka kebijakan pemerintah dalam tahun 2020. Semenjak pemerintah mengesahkan UU No 11/2021 tentang Cipta Kerja pemerintah mulai melahirkan ragam kebijakan turunannya. Kebijakan turunan itu adalah: pertama, PP No 27 Tahun 2021 tentang : Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Ada berbagai poin penting di dalamnya (i) Perubahan Zona inti di kawasan konservasi menjadi kawasan Strategi Nasional (Pasal 2 sampai Pasal 7) padahal Indonesia telah menetapkan kawasan konservasi laut 20 Juta hektar, memperbolehkan penggunaan alat tangkap yang tidak dilarang seperti jaring Hela (Pukat Hela) (Pasal 116). yang sebelumnya dilarang, membolehkan transipment ikan di tengah laut (Pasal 115b, 118), Impor kapal ikan (Pasal 124) yang berpotensi mematikan industri perkapalan dalam negeri dan masuknya kembali kapal ikan asing dengan modus impor dan membuka kran impor ikan (pasal 282-283) dan impor garam (Pasal 284).
Hal ini pastinya mengancam kehidupan nelayan tradisional dan petambak garam. Padahal sudah ada UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudiaya Ikan dan Petambak Garam, No. 7/2016. Kedua, Permen KP No 22/2021 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan dan Lembaga Pengelola Perikanan di WPPNRI. Berlaku di perairan laut maupun darat.
Ini menunjukkan bentuk sentralisasi pengelolaan perikanan dan mengamputasi kewenangan pemerintah daerah. Jika dicermati penetapan lembaga ini langsung pemerintah pusat (KKP). Ketiga, pemerintah pun sekarang telah menyiapkan draft Permen KP tentang tatacara pemanfaatan sumberdaya ikan di WPPNRI dengan sistem kontrak. Sejatinya ini adalah sistem kuota.
Pastinya wilayah LIN juga kena aturan kontrak. Lantas kalau semua WPPNRI di Republik ini dikontrakan, lantas nelayan tradiisional/skala kecil mau menangkap ikan di mana? Intinya sistem kontrak WPPNRI ini sejatinya sistem kuota. Ironisnya lagi perusahan asing boleh mengotrak WPPNRI.
Berbagai fakta riset yang penulis temukan sistem semacam ini jauh panggang dari api menyejahterakan nelayan. Ragam penelitian melaporkan bahwa instrumen ITQ (model kontak WPPNRI), megakibatkan lemah dan runtuhnya perikanan skala kecil (Chambers and Carothers 2017; Hoefnagel dan de Vos 2017; Pinkerton dan Davis 2015). Berbagai faktanya terjadi di Alaska, Australia Tenggara dan Selandia Baru, perikanan Lobster di Tasmani serta Cod di Norwegia (Olson 2011). Bagimana dengan LIN jika model kontrak WPPNRI ini? Penulis yakin nasibnya tak berbeda jauh dengan fakta-fakta di atas. Secara ekonomi politik, inilah bentuk kebijakan neoliberalisme dalam bidang perikanan tangkap, alias privatisasi kelautan dan sumber daya perikanan.
Privatisasi sektor perikanan dan daerah penangkapan ikan (model WPPNRI) membenarkan bahwa aktivitas sebagai penyebab kerusakan ekologis (Altamirano-Jiménez 2017; Carothers and Chambers 2012). Pasalnya, “hak menangkap ikan berubah menjadi aset keuangan penuh (Knott dan Neis 2017).
Akibatnya, neoliberalisme dalam kelautan dan perikanan membuat ikan semakin tidak berhubungan dengan nelayan. Ikan berubah menjadi komoditas yang aneh. Salah satu instrumen kebijakan privatisasi ini adalah individual transferable quotas/ITQs). Kita di Indonesia saat ini mau menerapkannya dan dinamai “Sistem Kontrak WPPNRI”. Inilah bentuk “riil” perampasan laut (ocean grabbing) yang melibatkan aktor negara, korporasi nasional maupun asing yang nantinya menguras sumberdaya ikan. Penulis menduga instrumen baru dan rancangan kelembagaan yang akan dikeluarkan pemerintah ini bakal menjustifikasi LIN sekaligus privatisasi laut dan sumber dayanya di Indonesia.
Apa yang terjadi? Nelayan kita bukan tambah sejahtera, malah sebaliknya. Saya meminjam istilah Prof. Dr. Endriatmo Sutatarto, yang menyatakan bahwa berbagai kebijakan “horror” yang dilahirkan negara (terutama UU Cipta Kerja dan turunannya), berimbas pada nelayan – nelayan tradisional kita. Mereka tidak lagi menjadi tuan di negaranya sendiri melainkan jadi “Pengungsi Agraria” di wilayah kelola dan sumber dayanya.
Pasalnya, ruang laut dan sumber dayanya adalah merupakan sumber daya agrarian juga. LIN jangan sampai jadi model privatisasi ruang laut dan sumber dayanya yang tak hanya mengancam kehidupan sosial ekonomi nelayan, sumber daya dan ekologinya. Melainkan juga eksistensi NKRI. Pasalnya, nantinya kapal-kapal asing bakal mondar mandir di perairan kita dan menguras ikannya. Sebelum ada sistem kontrak sudah marak apalagi sudah punya kontrak.
Lantas yang penulis khawatirkan jangan sampai kebijakan ini hanyalah instrumen untuk kepentingan politik pemburu rente, mafia perikanan dan kaum komprador. Mereka memanfaatkannya buat mengeruk keuntungan finansial dibalik kebijakan itu. Mereka bukanlah pengusaha melainkan hanya seolah-olah pengusaha yang mendapatkan kontrak WPPNRI lalu dijual/dikontrakan lagi ke pihak asing. Mungkinkah demikian? Sangat mungkin apalagi jelang pesta demokrasi 2024 buat pengumpulan amunisi.
Silakan cermati kasus kebijakan ekspor benih lobster yang akhirnya membuat Menteri KP masuk bui.
Penulis mengusulkan, Pemerintah lebih baik mendorong industri perikanan rakyat di Maluku dan Maluku Utara supaya industri ikan kayu, ikan asap, ikan asin dan jenis produk lainnya berdaya saing tinggi. Disertai dukungan pengembangan teknologi informasi (digitalisasi), teknologi pengolahan dan akses permodalan yang memadai berupa kelembagaan keuangan inklusif (dapat diakses oleh nelayan tanpa jamian). Ketimbang memaksakan program angina surga dan memberi karpet merak bagi asing di kawasan LIN Maluku dan Maluku Utara (**)
Discussion about this post