titastory.com, kepulauan aru – Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat adat Aru menolak investasi yang tidak pro kepada lingkungan. Masyarakat dengan tegas menolak sejumlah perusahan yang masuk untuk beraktivitas di kepulauan aru.
Kali ini penolakan disampaikian oleh perempuan adat pulau Tarangan, kabupaten kepulauan Aru, Maluku.
Dolfintje Gaelagoy, salah satu tokoh perempuan adat di Aru kepada titastory.com, sabtu (9/2/2020) mengatakan menolak dengan tegas ijin lokasi dan budidaya sapi di pulau Tarangan, kabupaten kepualauan Aru.
Menurut perempuan yang disapa Dolfi ini, masyarakat adat setempat telah melayangkan surat penolakan peternakan dan budidaya kepada pemerintah pusat, melalui kementrian lingkungan hidup dan kehutanan
“ kita sudah melayangkan surat kepada mentri lingkungan hidup tertanggal 16 agustus 2019. Surat tersebut berisi penolakan peternakan dan budidaya sapi. Namun hingga kini, laporan tersebut memberikan dampak postif bagi kami masyarakat adat Aru,”ungkap dia.
Menurutnya, kepulauan Aru merupakan dataran rendah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Bahkan menurut perempuan adat ini, dampaknya sudah nyata di depan mata. “ pantai Tarangan sementara mengalami abrasi serius. Kampung Feuruni contohnya 4 deret rumah arah pantai sudah pindah ke belakang kampung. Bahkan kuburan sudah di Laut,” tandasnya.
Meski telah terjadi kata Dolfi, pemerintah Pusat maupun Pemda Maluku dan Kepulauan Aru sengaja menutup mata, serta tak ada perhatian serius terhadap masalah ini.
Kepada titastory.com, dia menjelaskan Kepulaua Aru merupakan salah satu diantara sebelas kabupaten kota di Maluku yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan dihubungkan oleh selat-selat yang sempit.
“pulau yang besar ini kan hanya Tarangan akan tetapi, pulau ini dilalui oleh sungai yang memiliki 2 aliran sungai yang hampir membagi pulau itu atas tiga bagian bahkan lebih, sebab masih banyak anak-anak sungai kecil lainnya,” kata dia.
Terhadap banyak pulau yang kecil dengan dataran rendah ini, Dolfi kuatir dengan ekosistem akan terancam tercemar dan berdampak buruk terhadap masyarakat lokal setempat. “ pengelolaan pembangunan mesti disamakan dengan undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelasnya.
Tolak Perusahan
Menyikapi tindakan pemerintah daerah (pemda) kepulauan Aru yang dianggap melanggar hukum dan hak asasi masyarakat hukum adat ulau Tarangan, masyarakat dengan tegas menolak keberadaan sejumlah perusahan tersebut.
Menurut warga, dibawah kepemimpinan bupati Johan Gonga telah mengeluarkan izin lokasi peternakan dan budidaya sapi kepada 4 perusahan peternakan.
Keempat perusahan itu antara lain, PT. Bintang Kurnia Raya, No. 526/832 dengan luas areal 13.916 Hektar yang meliputi petuanan desa Jerol, Kabalukin, Kalar-kalar, Feruni, Ngaiguli, Ngaibor dan Gaimar; PT. Kuasa Alam Gemilang, No 526/833 dengan luas areal 16.940 hektar yang meliputi petuanan desa Jorang, Beltubur, dan Meror; PT Cakra Bumi Lestari, No 526/834 dengan luas areal 14940 hektar meliputi petuanan desa Ngaibor, Dosimar, dan Batu Goyang; PT. Ternak Indah Sejahtera, No 526/835 dengan luas areal 16263 hektar yang meliputi petuanan desa Gaimar, Popjetur, Jelia, serta Desa Jorang pada tanggal 16 juli 2019.
Terhadap keempat perusahan tersebut, masyarakat adat kepulauan aru, mengaku tidak pernah memberikan rekomendasi berupa tanda tangan maupun izin.
“ jadi kami merasa ditipu. Pada bulan Mei 2018 bertempat di gedung kesenian Sitakena, Dobo hadir para investor bersama pemerintah daerah dan seluruh stakeholder melaksanakan public expo bahwa proyek akan segera dilaksanakan. Dan saat itu kami hadir tanpa diuandang menyerahkan surat penolakan kepada para investor dihadapan bupati dan para undangan,”ungkap Dolfintje Gaelagoy, tokoh perempuan adat Aru.
Atas peristiwa tersebut menurut perempuan adat ini, pemerintah telah melanggar berbagai produk hukum yang berlaku di NKRI dan melanggar hak asasi masyarakat adat pulau Tarangan. “ mereka juga melakukan tindakan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan adat,”tegasnya.
Dirinya sebagai perwakilan masyarakat adat mengecam tindakan pemerintah daerah maupun provinsi karena telah melakuakn komodifikasi sumber daya alam sebagai warisan colonial serta mengaopsi pandangan alam sebagai komoditi.
“menurut adat orang Aru, sekalipun perang berdarah-darah akan tetapi kalau perempuan sudah turun tangan maka perang berhenti dengan sendirinya. Namun hari ini kami akan Sirkodar atau sasi kodar (sasi perempuan). Jadi surat penolakan tersebut merupakan sasi perempuan,”ancamnya. (TS-01)
Discussion about this post