BAGIAN 2: Laut Bukan untuk Dirusak, Katong “Pung Hidop” Ada di Sini

15/06/2025
Keterangan gambar: Sejumlah anak laki-laki bermain bola di hamparan pasir pantai Waewalata, Negeri Tehoru, saat air laut surut (meti). Lapangan dadakan itu dipenuhi kerikil, serpihan kayu, geluk, dan sisa-sisa sampah yang terbawa ombak. Foto: Titastory | M. Sofyan Hatapayo.
Tulisan ini merupakan lanjutan seri kedua tentang terumbu karang di laut Tehoru, terancam rusak disebabkan oleh aktivitas buang jangkar kapal tongkang Golden Way asal Batam

titastory, Seram Selatan — Sebuah sore yang tenang menyelimuti pesisir Pulau Seram. Di atas hamparan pasir yang bercampur kerikil, geluk, serpihan kayu, dan sobekan kertas warna-warni, sejumlah anak lelaki saling berebut bola. Lapangan dadakan itu terbentuk kala air laut surut, menciptakan ruang bermain yang sempit namun meriah.

Tiga sampai empat orang membentuk satu tim. Jungkir balik tak terhindarkan. Sorak-sorai penonton yang duduk di atas talut, yang sekaligus menjadi garis out, menambah riuh pertandingan.

Bola pantai hanya dimainkan ketika laut sedang surut. Menurut Asnawir Bisuku, penyelam yang kerap memanah ikan dan gurita di Negeri Tehoru, pasang surut air laut biasa terjadi pada awal Januari, pertengahan Februari, dan akhir April.

“Setiap bulan air meti (pasang surut) berubah-ubah. Kalau pagi hari meti, sore pasti juga meti. Kalau air naik, pagi dan sore pasti naik juga,” jelasnya.

Keterangan gambar: Sejumlah anak laki-laki bermain bola di hamparan pasir pantai Waewalata, Negeri Tehoru, saat air laut surut (meti). Lapangan dadakan itu dipenuhi kerikil, serpihan kayu, geluk, dan sisa-sisa sampah yang terbawa ombak. Foto: Titastory | M. Sofyan Hatapayo.

Di balik kegembiraan anak-anak, senja mulai menggantung. Gunung-gunung menjulang tinggi, membiru di kejauhan. Di kulit laut yang tenang, perhatian warga tiba-tiba teralih. Sebuah kapal tak boat bernama Buana Succes 23 berwarna jingga sepanjang 20 meter menarik kapal tongkang Golden Way 2520 asal Batam ke arah Teluk Tehoru. Jangkar besi seukuran paha orang dewasa dijatuhkan ke dasar laut, menciptakan bunyi berdentang yang memekakkan telinga. Semua mata tertuju.

“Tongkang anjing ini paling biadab. Dong (mereka) punya jangkar bikin karang-karang ancor!” teriak Jumat Walla, warga Kompleks Waewalata, dari atas talut. Ia marah melihat karang tempat mencari ikan dihancurkan. Golden Way bukan pendatang baru. Sudah berulang kali kapal ini berlabuh tanpa ada larangan dari pihak perhubungan atau Raja Negeri Tehoru.

Keterangan gambar: Tug Boat Buana Succes 23 tampak menarik kapal tongkang Golden Way 2520 yang tengah memuat material batu pecah dari pesisir Negeri Laimu, Kecamatan Telutih. Foto: Titastory | M. Sofyan Hatapayo

La Aruhi, nelayan setempat, bahkan telah menyampaikan keresahannya kepada Raja Negeri Tehoru Hud Silawane. Ia kini kesulitan mencari ikan. “Sasi laut su seng berlaku lai kah? Katong jarang dapa ikan sejak dong buang jangkar di situ,” ujarnya penuh kesal.

Senada, Zainal Hatapayo, nelayan yang menggantungkan hidupnya dari “ikan batu-batu” seperti kerapu dan barakuda, mendesak agar Raja segera bertindak tegas. Enam anaknya menggantungkan harapan pada laut. Dua di antaranya sedang kuliah di Ambon.

“Wilayah pesisir itu masuk kekuasaan Negeri Tehoru. Kalau itu teritorial Perhubungan, mestinya dongkoordinasi. Bukan sembarang buang jangkar,” katanya lirih.

Lutfi Silawane, warga lain, sudah muak. Ia meminta agar sasi adat diberlakukan kembali, melarang kapal berlabuh sembarangan. “Beta sayang negeri ini. Ayalu (Raja) juga harus cepat buat sasi agar orang bisa mancari dong pung hidup,” ujarnya.

Lembaga Adat dan Raja Negeri Tehoru menyatakan akan mengevaluasi. Ketua Saniri Negeri Tehoru, Jumat Silawane, menyayangkan ketidakpedulian otoritas pelabuhan. Ia menegaskan bahwa sebagai kapitan penjaga wilayah, pihaknya berhak membatasi kapal-kapal masuk.

“Jangan sampai Saniri mengambil langkah serius karena rusaknya terumbu karang,” tegasnya. Raja Hud Silawane juga menyatakan akan menggandeng Syahbandar dan Lembaga Adat untuk membahas larangan lego jangkar.

Keterangan gambar: Potret karang dan bebatuan yang hancur dan kini rata dengan dasar laut, membentuk jalur seperti jalan akibat aktivitas kapal tongkang yang berulang kali melintasi kawasan ini.”
Foto: titastory | M. Sofyan Hatapayo

Sasi laut dianggap solusi paling realistis. Denda adat bakal diberlakukan bagi kapal yang melanggar. “Jangan coba-coba kalau sasi sudah berlaku,” kata Hud Silawane.

Kerusakan yang ditimbulkan bukan hal sepele. Sejak tambang batu pecah di Negeri Laimu dibuka, aktivitas kapal tongkang meningkat. Agustus 2024 lalu, satu kapal bahkan karam di pesisir Waewalata, menggusur karang di kawasan seluas satu hektare.

“Batu karang yang biasa tada ombak itu rata deng tanah. Tempat cari gurita itu bersih, seng ada yang peduli,” kenang Asnawir.

Potret karang dan bebatuan yang hancur dan kini rata dengan dasar laut, membentuk jalur seperti jalan akibat aktivitas kapal tongkang yang berulang kali melintasi kawasan ini.”
Foto: Titastory | M. Sofyan Hatapayo

Isman Sumahe, penyelam lain, menyaksikan langsung imbas lego jangkar saat menyelam hingga 25 meter. Terumbu karang seperti kipas patah berserakan. Pulau-pulau karang seperti kaki ayam hancur tak bersisa. Kini ia banting setir menjadi kuli bangunan.

“Dulu pulang bawa ikan, sekarang tangan kosong,” ujarnya.

Kamerad, masyarakat Tehoru telah terlalu lama menjadi penonton di rumah mereka sendiri. Lembaga yang seharusnya melindungi ruang hidup mereka justru diam, bahkan membiarkan kehancuran itu terjadi. Kini, suara-suara yang selama ini terabaikan meminta untuk didengar: laut bukan untuk dirusak. Sebab di situlah hidup mereka ditambatkan.

Laut Tehoru terlalu indah untuk rusak. Bila dijaga dengan sepenuh hati, ia bukan hanya menjadi ruang hidup, tapi juga masa depan pariwisata bahari Seram Selatan. Dari snorkeling, menyelam hingga mengayuh kayak di teluk yang tenang—Tehoru sejatinya adalah anugerah yang sedang menangis diam-diam.

Sebagai penulis yang lahir dari keluarga nelayan, saya merasakan betul getirnya kerusakan ini. Saya tumbuh dengan cerita laut yang jujur, tentang tangkapan ikan pertama, tentang keheningan menyelam, tentang kehidupan yang sederhana tapi penuh makna.

Kini, laut itu berubah. Ia tidak lagi membisikkan ketenangan, tetapi keluh. Luka di dasar laut adalah luka yang kami bawa pulang ke rumah. Sebab bagi kami, laut bukan sekadar bentang air biru—ia adalah warisan, ibu, dan halaman depan hidup kami.

Dan jika kita tidak mulai merawatnya hari ini, mungkin esok kita hanya akan tinggal cerita. Cerita tentang laut yang pernah hidup. Cerita yang tak lagi bisa diselami.

Potret sejumlah kapal tongkang yang beroperasi dan menyusuri pesisir perairan Tehoru, Seram Selatan. Tim titastory berhasil mengabadikan aktivitas Tug-Boat dan Tongkang. Foto: titastory | M. Sofyan Hatapayo.
Penulis: Sofyan Hattapayo
error: Content is protected !!