Laporan UNPO: Papua, Aceh, dan Maluku Selatan Masih Hidup dalam Bayang-Bayang Kolonialisme

14/09/2025
Keterangan : Laporan UNPO : Papua, Aceh, dan Maluku Selatan Masih Hidup dalam Bayang-Bayang Kolonialisme, Foto : Ist

titastory – Di balik citra Indonesia sebagai demokrasi terbesar di Asia Tenggara, laporan internasional mengungkap militerisasi, represi, dan krisis lingkungan yang menjerat tiga wilayah paling terpinggirkan. Di sebuah kampung di pedalaman Papua, suara tembakan sering lebih akrab dari pada lonceng sekolah. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut, perempuan menunggu suami mereka pulang dari hutan dengan doa cemas, sementara ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah karena operasi militer. Sejak awal 2025, lebih dari 6.000 pasukan TNI ditempatkan di Papua Barat—menjadikannya salah satu wilayah dengan militerisasi tertinggi di Indonesia.

Namun penderitaan itu jarang terdengar di Jakarta. Negara lebih sibuk menjual mimpi “Golden Indonesia 2045” kepada dunia: demokrasi stabil, ekonomi tumbuh, anggota baru BRICS+, dan bagian dari G20. Kontradiksi inilah yang disorot oleh Organisasi Bangsa dan Rakyat yang Tidak Terwakili (UNPO) dalam laporan terbarunya.

Keterangan : Enam pendiri UNPO saat menyampaikan pidato: Kahmer-krom, Ukraina, Papua Barat, Maluku Selatan, Turkmenistan Timur, dan Tibet, Foto : Ist

“Kolonialisme belum berakhir. Ia hanya berganti wajah,” tulis laporan itu. Menurut UNPO, Papua, Aceh, dan Maluku Selatan masih hidup dalam bayang-bayang penindasan yang mengekang hak menentukan nasib sendiri, merampas tanah adat, dan memenjarakan identitas budaya.

Menurut berbagai kesaksian yang dikumpulkan oleh pengamat independent seperti Front Pembebasan Nasional Aceh-Sumatra, Pusat Hak Asasi Manusia Papua Barat, dan Organisasi Hak Asasi Manusia Maluku Perintis Aksi Kilat, aktivitas-aktivitas ini tidak sekadar mencerminkan disfungsi sistemik, melainkan merupakan bagian integral dari proyek struktural yang bertujuan untuk menghapus secara budaya dan fisik populasi asli, yang oleh banyak pihak digambarkan sebagai “genosida lambat.” Pengaturan degradasi lingkungan dan sosial tidak dapat dipisahkan dari logika rasis dan eksklusif yang bertujuan untuk secara sistematis mengusir komunitas asli dari tanah leluhur mereka dan dari keberadaan mereka sebagai suatu bangsa.

Keterangan : Agenda Konfrensi Pers merilis laporan UNPO terkait persoalan di wilayah Kahmer-krom, Ukraina, Papua Barat, Maluku Selatan, Turkmenistan Timur, dan Tibet. Foto : Ist

Di hadapan pelanggaran serius semacam ini, pemerintah Indonesia secara sistematis menolak tanggung jawab apa pun, dengan klaim bahwa tindakan mereka sepenuhnya sesuai dengan hukum internasional, sementara menggambarkan kelompok minoritas sebagai gerakan separatis yang memberontak atau kekerasan. Manipulasi narasi resmi, yang diperkuat oleh kontrol ketat atas informasi dan pembatasan akses ke wilayah-wilayah tersebut bagi jurnalis, pengamat, dan LSM, telah membuat sangat sulit untuk mendokumentasikan secara komprehensif skala pelanggaran-pelanggaran ini. Klaim historis, budaya, dan politik masyarakat Papua Barat, Aceh, dan Maluku Selatan secara sistematis didelegitimasi dan dikriminalisasi, sehingga secara efektif menyamarkan sifat damai dan sah dari perjuangan mereka.

Keterangan : Naskah laporan UNPO tetang South Moluccas : Silenced Struggles, Foto : Ist

Situasi Anggota UNPO

Papua Barat: Tanah, Identitas, dan Militerisasi

Papua Barat tetap menjadi salah satu wilayah yang paling diabaikan dan disembunyikan di dunia, di mana komunitas asli menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang berkepanjangan dan penolakan yang terus-menerus terhadap hak menentukan nasib sendiri. Meskipun kesadaran internasional semakin meningkat, situasi terus memburuk di bawah kebijakan yang mengucilkan dan merampas hak-hak penduduk lokal. Penindasan sistemik dan kolonialisme internal yang diterapkan oleh negara Indonesia terhadap masyarakat asli Papua Barat terus menimbulkan kekhawatiran serius. Degradasi lingkungan, perampasan tanah, dan penghapusan budaya tampaknya menjadi bagian dari strategi terkoordinasi untuk menekan identitas dan kedaulatan Papua.

Degradasi ini didorong oleh tiga mekanisme yang saling terkait: ekstraksi besar-besaran emas, tembaga, dan gas alam; perluasan perkebunan kelapa sawit dan agribisnis melalui deforestasi luas dan perampasan tanah di bawah proyek pangan dan pembangunan, semua dilakukan tanpa persetujuan bebas, sebelumnya, dan terinformasi dari komunitas yang terkena dampak.

Praktik-praktik ini bukanlah pelanggaran terisolasi, melainkan bagian dari strategi yang lebih luas yang bertujuan untuk mengusir masyarakat Papua Barat dari wilayah leluhur mereka, meruntuhkan ikatan budaya dan spiritual mereka dengan tanah, serta menghilangkan identitas mereka sebagai suatu bangsa. Pemerintah Indonesia mengklaim menghormati hak atas tanah adat, namun menolak kedaulatan masyarakat adat dan menerapkan kendali mutlak atas wilayah tersebut, bertentangan dengan norma-norma internasional seperti Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Papua Barat juga merupakan salah satu wilayah paling militerisasi di Indonesia. Pada awal 2025, laporan menunjukkan penempatan sekitar 6.100 anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), selain unit polisi dan Brimob yang sudah ada. Kehadiran keamanan yang luar biasa ini telah menciptakan iklim ketakutan, ditandai dengan pembunuhan di luar proses hukum, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penghilangan paksa. Operasi militer di daerah terpencil telah mengungsikan ribuan orang, terutama anak-anak, perempuan, dan orang tua, banyak di antaranya tidak memiliki akses ke layanan dasar.

Pada saat yang sama, kebebasan berekspresi secara sistematis ditekan. Demonstrasi damai untuk penentuan nasib sendiri Papua dikriminalisasi, dan simbol-simbol identitas seperti bendera Bintang Kejora dilarang, dengan hukuman berat bagi yang dianggap melakukan pengkhianatan. Aktivis, mahasiswa, dan pemimpin komunitas sering menjadi sasaran hanya karena mengemukakan pendapat yang berbeda, sementara akses bagi jurnalis dan pengamat internasional tetap sangat dibatasi. Dalam konteks ini, Pusat Hak Asasi Manusia Papua Barat, bertindak atas nama rakyat Papua, secara konsisten menegaskan kembali komitmennya terhadap perdamaian dan diplomasi.

Melalui inisiatif yang dikenal sebagai The Washington Solution, pusat tersebut mengusulkan pembukaan dialog terstruktur dengan Republik Indonesia, yang dimediasi oleh pihak ketiga netral, idealnya Amerika Serikat. Kerangka kerja ini mewakili upaya sejati untuk mencapai penyelesaian politik yang berkelanjutan. Namun, meskipun ada upaya damai tersebut, pemerintah Indonesia terus menolak hak paling dasar rakyat Papua: untuk didengar.

Apa yang terjadi di Papua Barat tidak dapat dipisahkan dari pola yang lebih luas dari kolonialisme internal dan diskriminasi rasial. Pengambilalihan tanah di sini tidak hanya berarti kehilangan properti, tetapi juga mewakili penghancuran sistematis terhadap memori, martabat, dan keberadaan. Tidak ada pengambilalihan tanah yang terjadi tanpa merampas hak suatu bangsa atas nenek moyang mereka, pengetahuan dan bahasa mereka, kesempatan untuk pekerjaan yang layak, kebebasan dan identitas mereka, bahkan roh mereka. Rasialisasi yang semakin memecah belah merupakan salah satu bentuk yang diambil oleh perkembangan industri di Papua Barat.

Bagi orang Papua, tanah bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan juga sumber roh dan identitas. Tetapi hutan-hutan adat kian terkikis oleh tambang emas dan tembaga, ekspansi sawit, hingga proyek infrastruktur skala besar. Bersamaan dengan itu, suara protes warga dibungkam melalui penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, bahkan pembunuhan di luar hukum.

UNPO mencatat, pengungsian massal akibat operasi militer telah mencabut ribuan warga dari tanah leluhurnya. “Tidak ada perampasan tanah tanpa perampasan jiwa,” tulis laporan tersebut. Kehilangan tanah adat berarti juga kehilangan bahasa, budaya, dan ikatan spiritual yang diwariskan turun-temurun.

Aceh: Perdamaian yang Rapuh

Dua dekade lalu, dunia menyaksikan Aceh menandatangani perjanjian damai bersejarah di Helsinki. Harapannya: mengakhiri konflik berdarah dan memberi ruang otonomi luas bagi rakyat Aceh. Tapi hingga kini, janji-janji itu masih banyak yang diingkari.

Rencana penambahan lima batalion TNI baru di Aceh memicu penolakan keras. Bagi masyarakat sipil, langkah itu bukan sekadar kebijakan pertahanan, melainkan pengkhianatan terhadap semangat perdamaian. “Isu Aceh bukan separatisme, tapi dekolonisasi yang belum tuntas,” tegas UNPO.

Berbeda dengan Papua Barat, yang setidaknya memiliki visibilitas internasional, meskipun tanpa dampak konkret yang nyata, wilayah Aceh tetap largely diabaikan dan tidak dikenal di luar batas Indonesia. Namun, wilayah ini memiliki tradisi panjang otonomi politik, yang kini tercekik oleh bentuk-bentuk kontrol dan sentralisasi yang dipaksakan oleh Jakarta. Setelah berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda, Aceh dimasukkan ke dalam Republik Indonesia tanpa konsultasi yang nyata dengan penduduk setempat. Integrasi paksa ini menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan, yang diperparah oleh marginalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang mendalam, yang terus berlanjut hingga hari ini dalam bentuk kolonialisme internal.

Meskipun telah ditandatangani Perjanjian Damai 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), wilayah tersebut tetap hidup di bawah kehadiran militer yang kuat. Janji-janji tentang pelucutan senjata, keadilan, dan otonomi sebagian besar belum terpenuhi. Warisan konflik masa lalu yang belum terselesaikan terus menghantui komunitas lokal, di mana pelanggaran hak asasi manusia seperti penghilangan paksa, penyiksaan, dan pembunuhan di luar proses hukum tetap tidak dihukum, memperkuat budaya impunitas dan merusak kepercayaan terhadap institusi negara. Pasukan keamanan Indonesia terus mengendalikan urusan lokal secara informal, membatasi ruang sipil, dan menekan pluralisme politik dengan dalih persatuan nasional.

Mengenai perkembangan terbaru di Aceh, isu paling mendesak saat ini adalah penambahan atau pembentukan lima batalion militer baru di wilayah tersebut. Langkah ini ditolak dengan keras oleh masyarakat sipil Aceh, yang menganggapnya sebagai pelanggaran langsung terhadap Perjanjian Helsinki, perjanjian damai yang ditandatangani antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia dua dekade lalu. Meskipun melanggar perjanjian, pemerintah Indonesia tetap bersikeras melanjutkan langkah ini, dengan beralasan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi nasional organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), termasuk pembentukan unit-unit teritorial baru.

Militer berargumen bahwa lokasi strategis Aceh di sisi barat Indonesia, dekat Samudra Hindia dan Selat Malaka, memerlukan penguatan militer semacam itu. Masyarakat sipil di Aceh dengan tegas menentang militerisasi ini, menuduhnya sebagai pelanggaran terhadap MoU Helsinki, yang diberlakukan tanpa konsultasi publik, dan sebagai pembukaan kembali luka sejarah. Masyarakat Aceh telah berulang kali menyaksikan pelanggaran perjanjian damai, terutama oleh militer, sejak perjanjian tersebut ditandatangani, dan penambahan batalion baru dipandang luas sebagai tindakan tidak jujur lainnya yang merusak otonomi lokal dan perdamaian yang rapuh.

Pembatasan juga jelas terlihat pada tingkat politik. Partai-partai lokal yang terinspirasi oleh ideologi Aceh atau yang mempertanyakan sentralisme Jakarta sering kali dihalangi melalui cara-cara hukum dan birokrasi. Membicarakan kemerdekaan secara terbuka tetap menjadi tabu dan dapat berakibat pada konsekuensi hukum. Masyarakat mengecam kegagalan dalam memenuhi Perjanjian Helsinki, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam secara otonom dan pelestarian memori sejarah.

Masalah Aceh bukanlah soal “separatisme,” label yang sering digunakan oleh pemerintah Indonesia dan disebarkan oleh media untuk mendelegitimasi perjuangan suatu bangsa yang hak-hak dasarnya belum terpenuhi. Pada kenyataannya, tantangan Aceh berasal dari penolakan hak menentukan nasib sendiri dan dekolonisasi yang belum tuntas. Suku Aceh, yang telah menentang kekuasaan asing selama berabad-abad sambil mempertahankan identitas yang unik, berhak agar tuntutan sah mereka akan hak menentukan nasib sendiri dan keadilan diakui. Menghormati tuntutan ini tidak berarti mendukung pemisahan; sebaliknya, hal itu menegaskan hak dasar setiap bangsa untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Untuk menekan aspirasi-aspirasi tersebut, pemerintah Indonesia sering menggunakan ujaran kebencian dan memanipulasi narasi utama, sebuah taktik yang juga diterapkan secara global, seperti yang tercatat dalam laporan UNPO berjudul “Tools of Repression”. Institusi keadilan pidana dan keamanan sering disalahgunakan untuk mendelegitimasi gerakan penentuan nasib sendiri yang non-kekerasan, membatasi kebebasan berekspresi, dan mengkriminalisasi aktivisme damai. Dengan menggambarkan perlawanan sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional, otoritas menyamarkan sifat demokratis perjuangan tersebut, mengalihkan perhatian dari keluhan sistemik, dan menormalisasi penindasan, sehingga aktivis menjadi rentan terhadap pengawasan, penangkapan sewenang-wenang, dan tuduhan palsu tentang pengkhianatan atau terorisme.

Namun, kenyataannya tetap: ini adalah perjuangan untuk penentuan nasib sendiri dan perbaikan proses dekolonisasi yang belum tuntas. Masyarakat Aceh telah menentang dominasi eksternal yang berulang selama berabad-abad dan mempertahankan identitas budaya dan politik yang unik meskipun menghadapi tekanan yang luar biasa. Mengakui tuntutan mereka bukanlah dukungan terhadap fragmentasi, melainkan penegasan kembali hak universal semua bangsa untuk menentukan jalan mereka sendiri melalui cara-cara damai dan inklusif.

Maluku Selatan: Perjuangan yang Dibungkam

Sejak proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950, aspirasi kemerdekaan selalu dibalas dengan represi. Simbol sederhana seperti bendera RMS bisa berujung pada hukuman seumur hidup. Kasus Johan Teterissa, guru yang dipenjara setelah aksi damai mengibarkan bendera, menjadi contoh paling terkenal.

Ironisnya, hingga kini pola kriminalisasi itu masih berlanjut. Pada 2024, seorang remaja 15 tahun, Khoider Ali Ringirfuryaan, ditangkap karena aksi serupa. Sejumlah aktivis Maluku Selatan bahkan masih menjalani hukuman 20 tahun hingga seumur hidup di balik jeruji.

Sama seperti Aceh, Maluku Selatan tetap largely tidak terlihat oleh komunitas internasional, meskipun mereka mengalami penindasan sistematis dan pembungkaman terhadap identitas dan aspirasi politik mereka.

Deklarasi kemerdekaan pada tahun 1950 oleh Republik Maluku Selatan (RMS) menandai dimulainya perjuangan panjang untuk pengakuan internasional atas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Penting untuk ditekankan bahwa proklamasi RMS pada tanggal 25 April 1950 sebenarnya mendahului proklamasi Republik Indonesia yang bersatu pada tanggal 17 Agustus 1950, empat bulan sebelumnya. Fakta historis ini berarti Maluku Selatan telah mendeklarasikan dan memperoleh kemerdekaannya sebelum Jakarta sendiri.

Meskipun deklarasi kemerdekaan Indonesia awalnya terjadi pada 17 Agustus 1945, tanggal 1950 menandai konsolidasi akhir negara dan pemutusan sebagian besar ikatan konstitusional dengan Belanda, sehingga menetapkan Indonesia sebagai negara yang bersatu dan merdeka. Selain itu, pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, disepakati bahwa beberapa pulau, termasuk Maluku Selatan, akan mempertahankan tingkat otonomi tertentu dari pada sepenuhnya terintegrasi ke dalam negara pusat.

Namun, komitmen-komitmen tersebut tidak dipatuhi, dan pemerintah Indonesia dengan cepat bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya atas seluruh kepulauan. Pendudukan militer di Maluku Selatan pada tahun 1951, diikuti dengan pembubaran paksa institusi-institusi independen mereka, menandai awal dari periode panjang penolakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Pembentukan pemerintah pengasingan di Belanda pada tahun 1966 semakin memperumit lanskap politik. Meskipun menghadapi tantangan historis dan politik ini, rakyat Maluku Selatan terus memperjuangkan identitas mereka, melestarikan budayanya, dan mengejar pengakuan internasional untuk perjuangan mereka.

Keteguhan ini telah dihadapi dengan represi keras oleh negara Indonesia. Setiap bentuk dukungan publik terhadap RMS, bahkan yang bersifat simbolis dan non-kekerasan, dianggap sebagai tindak pidana.

Contoh yang terkenal adalah kasus Johan Teterissa, yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 2007 karena mengibarkan bendera RMS selama pertunjukan tari damai. Baru-baru ini, pada Mei 2024, Khoider Ali Ringirfuryaan, seorang remaja berusia 15 tahun, ditahan hanya karena menampilkan bendera RMS selama acara publik, menunjukkan sifat represif dan diskriminatif dari tindakan keras Jakarta.

Hingga Maret 2025, satu tahanan politik Maluku dan delapan aktivis adat tetap ditahan di Seram, Ambon, dan Ternate, termasuk delapan aktivis Togutil dari Halmahera yang menjalani hukuman penjara antara 20 tahun hingga seumur hidup. Kasus-kasus ini menunjukkan kriminalisasi sistematis terhadap aktivisme damai, identitas budaya, dan hak kolektif di Maluku Selatan.

Tindakan semacam itu secara rutin dijerat dengan undang-undang anti-pemisahan era kolonial, yang mengancam hukuman hingga 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup. Kriminalisasi simbol-simbol politik, penggunaan unit polisi anti-teror terhadap aktivis non-kekerasan, dan ketidakhadiran jaminan persidangan yang adil telah menyebabkan penahanan dan perlakuan buruk terhadap puluhan individu Maluku, banyak di antaranya dianggap sebagai tahanan politik oleh organisasi hak asasi manusia.

Maluku Selatan juga mengalami marginalisasi ekonomi dan infrastruktur yang kronis dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Komunitas lokal melaporkan diskriminasi dalam akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pasar tenaga kerja. Ketidakhadiran investasi yang ditargetkan untuk mendukung komunitas asli memperkuat siklus setan eksklusi sosial dan kemiskinan.

Perlakuan pemerintah Indonesia terhadap Papua Barat, Aceh, dan Maluku Selatan melampaui represi: ia menghapus memori sejarah, mendelegitimasi perlawanan damai, dan mengkriminalisasi ekspresi budaya. Debat publik tentang penentuan nasib sendiri dibungkam, meninggalkan komunitas-komunitas ini terjebak dalam ruang-ruang yang terancam di mana hak-hak dasar mereka terus-menerus diabaikan.

Selama lebih dari tiga dekade, Organisasi Bangsa-Bangsa dan Rakyat yang Tidak Terwakili (UNPO) telah memperingatkan tentang pelanggaran-pelanggaran ini, tidak hanya untuk mempertahankan martabat dan keamanan rakyat yang bersangkutan, tetapi juga karena penindasan terhadap mereka memiliki konsekuensi bagi kita semua.

Pengalaman anggota kami yang pernah bergabung, Timor-Leste, memperjelas hal ini. Meskipun mengalami puluhan tahun penjajahan dan upaya sistematis untuk menekan identitas mereka, rakyat Timor-Leste, melalui perlawanan damai dan solidaritas internasional, berhasil memperoleh kesempatan untuk secara bebas menentukan masa depan mereka melalui referendum yang diawasi PBB. Proses ini jauh dari mengganggu stabilitas regional; sebaliknya, ia menjadi landasan bagi rekonsiliasi dan stabilitas regional. Hal ini membuktikan bahwa penentuan nasib sendiri bukanlah ancaman, melainkan satu-satunya jalan yang layak menuju perdamaian.

Indonesia saat ini dihadapkan pada pilihan yang sama. Negara ini bercita-cita menjadi salah satu dari lima ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2045, namun ambisi tersebut tidak dapat terwujud jika seluruh rakyatnya masih terpinggirkan dan ditindas. Mengutamakan stabilitas internal melalui dialog, penghormatan, dan pengakuan hak-hak adalah bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kebutuhan strategis untuk kemakmuran dan kredibilitas. Bagi Indonesia, menangani ketidakadilan sejarah di Papua Barat, Aceh, dan Maluku Selatan tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk memastikan masa depan jangka panjangnya.

Mengenali hak komunitas-komunitas ini untuk menentukan nasib sendiri juga berarti menciptakan mekanisme yang sejati bagi mereka untuk mengekspresikan kehendak mereka. Proses yang bermakna dan transparan, seperti referendum atau bentuk konsultasi inklusif lainnya, akan memungkinkan masyarakat Papua Barat, Aceh, dan Maluku Selatan untuk mengemukakan aspirasi mereka tanpa rasa takut atau paksaan.

Latihan-latihan demokratis semacam ini dapat menjadi landasan untuk legitimasi yang diperbarui, mengubah hubungan yang kontroversial menjadi kemitraan yang dinegosiasikan. Dengan memungkinkan suara-suara ini didengar, Jakarta tidak hanya akan menangani keluhan-keluhan yang telah lama ada tetapi juga menunjukkan keyakinan pada prinsip-prinsip demokratis, mengubah sumber-sumber konflik potensial menjadi peluang untuk rekonsiliasi dan perdamaian yang berkelanjutan.

Namun, tantangan ini bukanlah milik Indonesia saja. Penggunaan segala cara untuk membungkam komunitas, merebut sumber daya mereka, dan menolak identitas mereka tidak hanya secara moral tidak dapat diterima, tetapi juga tidak berkelanjutan. Jika dibiarkan tanpa penyelesaian, konflik-konflik ini melemahkan kohesi regional, mengancam perdagangan global melalui rute maritim strategis, melemahkan upaya aksi iklim, dan merusak kredibilitas demokrasi dan hukum internasional.

Sebaliknya, mengakui hak-hak masyarakat ini dan mendukung tata kelola inklusif memperkuat ketahanan, keamanan, dan keberlanjutan bagi semua.

Solusi yang berkelanjutan memerlukan dialog yang bermakna antara Indonesia dan komunitas yang terdampak, didukung oleh mediasi pihak ketiga yang netral. Di sini, komunitas internasional tidak boleh tetap pasif. Pemerintah, lembaga multilateral, masyarakat sipil, dan warga negara sama-sama bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi untuk rekonsiliasi: mengutuk pelanggaran, memastikan pertanggungjawaban, mendukung proses demokratis, dan memperkuat suara masyarakat yang tidak terwakili.

Tentang UNPO

Sejak didirikan pada tahun 1991, UNPO telah mengembangkan keahlian mendalam dalam penentuan nasib sendiri, strategi non-kekerasan, dan advokasi geopolitik, yang dikembangkan melalui kolaborasi erat dengan anggotanya, mitra, dan sekutu akademis.

UNPO Academy dibangun di atas landasan ini sebagai lembaga pemikir global yang menggabungkan penelitian, inovasi kebijakan, dan pelatihan strategis untuk memperkuat suara bangsa dan rakyat yang tidak terwakili.

Berasal dari inisiatif seperti Proyek Diplomat yang Tidak Terwakili (Universitas Oxford, 2015–2016), Akademi ini kini mengintegrasikan puluhan tahun pertemuan yang dipimpin UNPO, seperti Konferensi Tallinn tentang Hak-Hak Bangsa dan forum Re-Imagining Self-Determination di Madeira (2025). Akademi ini menyediakan ruang di mana pengetahuan ahli bertemu dengan pengalaman nyata, menghasilkan alat praktis, wawasan kritis, dan strategi visioner untuk perubahan global yang inklusif.

Penulis: Elena Artibani, Asisten Analis Akademi, dan Mercè Monje Cano, Sekretaris Jenderal UNPO dan diedit oleh tim Redaksi titastory.id

 

error: Content is protected !!