titastory.id, jakarta – Laporan terbaru dari Human Rights Watch (HRW) menyoroti penindasan terhadap unjuk rasa Papua tahun 2019 yang dipicu serangan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. HRW menegaskan bahwa respons keras pemerintah Indonesia terhadap demonstrasi damai tersebut memperkuat diskriminasi rasial sistematis terhadap orang asli Papua.
Laporan setebal XX halaman, berjudul “Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?”, memuat detail penangkapan dan pengadilan aktivis Papua dengan tuduhan makar dan berbagai kejahatan lainnya. HRW mencatat bahwa unjuk rasa #PapuanLivesMatter yang tersebar di lebih dari 30 kota Indonesia mengangkat isu pelanggaran hak asasi manusia, akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, serta seruan damai untuk kedaulatan Papua Barat.
“Rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua telah berlangsung selama puluhan tahun,” ujar Andreas Harsono, peneliti senior HRW. Ia mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengakhiri pelanggaran hak asasi di Papua Barat dan membuka akses bagi pemantau internasional.
HRW juga mengungkapkan bahwa kebijakan transmigrasi yang mendorong masuknya warga non-Papua telah memperparah ketimpangan sosial dan diskriminasi terhadap orang asli Papua. Layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan lebih memadai di daerah yang dihuni pendatang, sementara wilayah mayoritas Papua terabaikan.
Di sisi lain, pasukan keamanan Indonesia kerap menggunakan kekerasan berlebihan dalam menangani demonstrasi, terutama dengan melarang pengibaran bendera Bintang Kejora, simbol perjuangan kemerdekaan Papua. HRW mencatat lebih dari 1.000 penangkapan sepanjang 2019, sebagian besar dengan tuduhan makar.
Meskipun Indonesia terikat dengan berbagai perjanjian internasional tentang hak asasi manusia, HRW menilai pelanggaran terhadap hak-hak orang Papua masih terus terjadi tanpa pertanggungjawaban. Laporan ini merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mulai mendengarkan tuntutan rakyat Papua dan mengambil langkah konkret untuk mengatasi akar masalah diskriminasi rasial yang sudah mengakar.
Antara bulan Juni 2023 hingga Mei 2024, Human Rights Watch melakukan 49 wawancara mendalam dengan aktivis Papua yang ditangkap dan dituntut setelah gerakan Papuan Lives Matter. Selain itu, Human Rights Watch juga mewawancarai sejumlah pengacara, akademisi, pejabat, dan pemimpin gereja.
Pada tanggal 17 Agustus 2019, beberapa tentara Indonesia dan gerombolan ultranasionalis menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Cuplikan rekaman video penyerangan tersebut, yang disertai hinaan rasial, dibagikan secara luas di media sosial, memicu gerakan yang disebut Papuan Lives Matter, yang terinspirasi oleh protes Black Lives Matter di Amerika Serikat. Unjuk rasa pecah di setidaknya 33 kota di Indonesia. Meskipun unjuk rasa sebagian besar berlangsung damai, di beberapa tempat terjadi bentrokan antarwarga, pembakaran, dan bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Polisi dan militer Indonesia menggunakan kekerasan yang berlebihan dan menangkap banyak pengunjuk rasa, terutama mengincar siapa pun yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua yang dianggap ilegal di Indonesia. Papuans Behind Bars, situs web yang memantau penangkapan dengan motivasi politik di Papua Barat, mencatat lebih dari 1.000 penangkapan pada tahun 2019, dan 418 penangkapan antara Oktober 2020 hingga September 2021. Setidaknya 245 orang dihukum karena berbagai tuduhan kejahatan, termasuk 109 orang karena pasal makar. Di Indonesia, pasal-pasal makar sering digunakan untuk menyasar orang asli Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk kemerdekaan.
Human Rights Watch tak mengambil posisi apa pun atas seruan kemerdekaan di Indonesia atau di negara mana pun, namun mendukung hak setiap orang untuk mengekspresikan pandangan politik mereka secara damai, termasuk untuk kemerdekaan, tanpa merasa takut akan ditangkap atau menghadapi berbagai bentuk pembalasan lainnya.
Pada bulan Juni 2022, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang kontroversial, yang memekarkan wilayah dua provinsi—Papua dan Papua Barat—menjadi enam provinsi. Berdasarkan pilihan sejumlah aktivis Papua, Human Rights Watch menggunakan nama Papua Barat untuk menyebut keseluruhan wilayah tersebut. Banyak orang asli Papua percaya bahwa pembentukan provinsi baru ini akan mendatangkan lebih banyak warga non-Papua, sehingga mengurangi proporsi orang asli Papua yang tinggal di tanah mereka sendiri. Pihak berwenang Indonesia telah mendorong dan mensubsidi puluhan ribu keluarga non-Papua —biasa disebut pendatang— untuk pindah ke Papua Barat melalui program transmigrasi selama puluhan tahun, yang sering kali mengusir orang asli Papua dan merampas tanah milik mereka untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Pemerintah daerah dan pusat mendiskriminasi orang asli Papua demi para pendatang dalam pemberian layanan kesehatan dan pendidikan di Papua Barat, kata Human Rights Watch. Daerah yang dihuni orang asli Papua punya lebih sedikit pusat kesehatan masyarakat dan sekolah. Pemerintah juga lebih menyukai pendatang untuk mengisi pekerjaan di pemerintahan, baik sebagai guru, perawat, atau di kepolisian dan militer. Sementara itu, orang asli Papua yang tinggal di daerah lain di Indonesia menghadapi diskriminasi dan rasisme dalam memperoleh akses ke pekerjaan, pendidikan, atau perumahan.
Agus Sumule, seorang dosen Universitas Papua di Manokwari, yang memimpin penelitian tentang pendidikan di Papua Barat, mencatat tingkat kehadiran orang asli Papua di sekolah yang jauh lebih rendah di daerah pegunungan, dan menemukan bahwa tidak ada satupun perguruan tinggi keguruan di Pegunungan Tengah, dimana hampir semua penduduknya adalah orang asli Papua. Dia mengatakan: “Kalau bukan rasisme, saya harus menyebutnya apa?”
Human Rights Watch juga menemukan bahwa polisi dan tentara sering menyiksa dan menganiaya aktivis Papua dengan makian rasis. Sebuah video yang diunggah pada awal tahun 2024 di media sosial menunjukkan tiga tentara memukuli Definus Kogoya, seorang pemuda Papua, yang tangannya diikat di belakang dan memasukkannya ke dalam drum berisi air, mengejeknya dengan makian rasis.
Kekerasan antara militan pro-kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia juga penyebab memburuknya situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Pasukan keamanan Indonesia terlibat dalam penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, dan pemindahan paksa secara besar-besaran, tetapi jarang dimintai pertanggungjawaban atas berbagai pelanggaran ini. Para militan terlibat dalam pembunuhan pendatang dan orang asing, kini menyandera seorang pilot asal Selandia Baru sejak Februari 2023.
Ketika Presiden Joko Widodo, yang dikenal sebagai “Jokowi,” terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, banyak orang yang menaruh harapan akan adanya reformasi hak asasi manusia di Papua Barat. Sepuluh tahun kemudian, di akhir masa jabatan kedua sekaligus terakhirnya, tak banyak yang berubah di Papua. Pemerintahan baru, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto Djojohadikusumo, akan mulai pada bulan Oktober 2024. Pemerintah semestinya segera meninjau sejumlah kebijakan yang berlaku di Papua Barat, mengakui dan mengakhiri sejarah rasisme sistematis pemerintah terhadap orang asli Papua, dan meminta pertanggungjawaban dari mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak-hak orang Papua, kata Human Rights Watch.
Indonesia ikut terlibat dalam perjanjian hak asasi manusia internasional yang penting, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD). Semua perjanjian ini melarang diskriminasi berdasarkan antara lain rasial, etnis, dan agama. Kebijakan dan praktik diskriminatif yang didokumentasikan Human Rights Watch juga meliputi pelanggaran hak-hak orang asli Papua atas kesehatan dan pendidikan. Di antara standar-standar utama adalah Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, yang mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, termasuk otonomi atau pemerintahan sendiri dalam urusan internal atau lokal mereka.
“Pihak berwenang Indonesia seharusnya menanggapi tuntutan para aktivis Papua dan mengatasi rasisme sistematis terhadap orang asli Papua,” kata Andreas. “Pemerintah Indonesia seharusnya mengakui bahwa hukum hak asasi manusia internasional berlaku di Papua Barat dan memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat di sana.”
Pengakuan Korban
Alfa Hisage, mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura, berusia 19 tahun, berambut gimbal. Polisi menangkapnya karena ikut dalam unjuk rasa menentang rasisme anti-Papua pada tanggal 30 Agustus 2019, dan menyiksanya saat di tahanan:
Mereka tekan kepala saya ke meja. Mereka pakai bayonet untuk memotong rambut saya. Mereka sangat kasar, menarik rambut saya sampai berdarah. Keempat petugas juga memukuli saya dengan tangan kosong. Saya sampai pingsan. Setelahnya saya baru tahu kalau kepala saya berdarah. Dari 16 rambut gimbal saya hanya ada satu yang tersisa di kepala.
Raga Kogeya, seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka, mengatakan ia ditahan dan dipukuli pada tahun 2018 karena keterlibatannya dalam pemindahan paksa di wilayah Nduga selama operasi militer Indonesia terhadap militan Papua Barat. Ia masih memiliki masalah ginjal karena luka-lukanya:
Saat itu, hanya sedikit orang asli Papua yang menjadi polisi. Prioritasnya adalah merekrut orang-orang non-Papua untuk bergabung dengan polisi dan militer.
Seorang polisi datang dari belakang dan memukul kepala saya. Saya pingsan sekitar 15 menit. Akibat pemukulan itu, terkadang saya tiba-tiba lupa ingatan.
Yoseph Ernesto Matuan, 19 tahun, ditangkap bersama tujuh mahasiswa lainnya pada Desember 2021 karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di Jayapura. Ia mengatakan polisi memukuli mereka saat di tahanan:
Mereka memaki kami, memanggil kami anjing atau babi. Mereka bilang, “Cepat jawab, anjing, atau kalian akan dibunuh di luar sana!” Mereka memukul muka, kepala, dan tulang belakang saya. Beberapa polisi benturkan kepala saya ke dinding. Kami diinterogasi dan dipukuli selama lebih dari 24 jam. Kami semua disiksa.
Dokter Maria Louisa Rumateray, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Wamena sejak 2009, mengatakan para pendatang lebih bisa mendapatkan pekerjaan ketimbang orang asli Papua:
Tenaga medis lokal yang telah menempuh pendidikan sebagai perawat mengalami kesulitan untuk melamar pekerjaan di Wamena karena mereka harus mengambil sertifikasi standar baik di Jayapura atau Makassar. Mereka tidak punya uang untuk terbang ke kota-kota tersebut. Oleh karena itu, pekerjaan tersebut jatuh ke tangan para pendatang. Sebelum ada sertifikasi, rumah sakit saya punya lebih banyak tenaga kerja orang asli Papua daripada pendatang. Namun, sekarang justru sebaliknya.
Belasan foto tapol Papua, dari Filep Karma sampai anak-anak muda terbaru
Selama periode embargo, ‘“Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?”: Diskriminasi dan Pelanggaran terhadap Orang Asli Papua di Indonesia”
Discussion about this post