Kriminalisasi Jurnalis Terjadi Lagi, Pemimpin Redaksi Floresa Ditangkap Saat Meliput Aksi Warga Poco Leok

by
03/10/2024

titastory.id, jakarta – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia mengecam keras penangkapan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, oleh aparat Polres Manggarai saat meliput aksi protes warga Poco Leok. Aksi tersebut dipicu oleh penancapan patok di atas lahan proyek geothermal yang dikelola oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Menurut laporan dari floresa.co, Herry Kabut ditangkap bersama beberapa warga Poco Leok yang juga ditahan saat mengambil gambar selama aksi protes. Saksi mata melaporkan bahwa Herry ditarik paksa ke dalam mobil aparat sambil mengalami tindakan penganiayaan.

Dilansir dari laman floresa.co memilih mempublikasi kronologi ini untuk menjelaskan sejarah rinci apa yang terjadi, sekaligus membantah sejumlah klaim aparat.

Langkah ini kami tempuh agar publik bisa mendapat informasi yang seterang-terangnya tentang apa yang terjadi yang kami anggap sebagai ancaman serius terhadap kerja-kerja jurnalistik.

Kericuhan terjadi ketika warga Poco Leok menolak proyek geothermal yang dianggap merugikan lingkungan dan kehidupan mereka. Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030. Masyarakat menolak masuknya tim PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai ke wilayah mereka untuk membuka akses jalan proyek.

Protes warga dihadapi dengan pengamanan ketat dari aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Polisi Pamong Praja. Saksi melaporkan bahwa upaya protes oleh warga direspons dengan kekerasan, termasuk pemukulan dan penangkapan oleh aparat. Warga juga dilarang mengambil video atau gambar selama protes, menyebabkan ketegangan antara demonstran dan aparat.

Keterangan Gambar: Suasana Bentrokan antara warga Poco Leok dengan Puluhan aparat keamanan dari TNI, Polri, dan Pol Pamong Praja, pada Rabu, 2 Oktober 2024. (Foto: Istimewa)

Akibatnya, beberapa warga terluka akibat tindakan aparat yang berusaha mendorong mereka mundur. Sumber dari warga menyebutkan bahwa empat orang ditahan, termasuk Herry, dengan jaminan bahwa mereka akan dibebaskan setelah aksi bubar. Namun, penangkapan Herry saat melakukan peliputan menjadi sorotan, mengingat jaminan kebebasan pers di Indonesia.

Erick Tanjung, Koordinator KKJ Indonesia, menegaskan bahwa kasus ini merupakan pelanggaran serius terhadap perlindungan jurnalis yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dia menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”

Tindakan kekerasan oleh aparat yang menyebabkan luka berat pada jurnalis saat menjalankan tugasnya juga merupakan pelanggaran hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat dikenakan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

KKJ Indonesia mendesak:

  1. Kepolisian untuk memproses hukum aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis sesuai hukum pidana dan kode etik.
  2. Kapolri beserta jajarannya untuk menghentikan semua bentuk penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan, penangkapan, dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas.
  3. Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur anggota yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil, yang dianggap tidak sesuai dengan tugas mereka.
  4. Kapolri dan Panglima TNI untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan yang menyasar jurnalis.
  5. Mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan segala bentuk kekerasan yang dialami selama peliputan.

KKJ Indonesia, yang dideklarasikan pada 5 April 2019, beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI).

error: Content is protected !!