titastory.id, ambon – Pada setiap tanggal 28 Oktober, Indonesia memperingati “Hari Sumpah Pemuda,” suatu momen yang disebut-sebut sebagai tonggak pemersatu dalam sejarah bangsa. Namun, menurut beberapa sejarawan, seperti Batara Richard Hutagalung dan J.J. Rizal, istilah “Sumpah Pemuda” sebenarnya tidak pernah muncul dalam teks asli yang dihasilkan pada Kongres Pemuda II di Jakarta pada tahun 1928. Mereka mempertanyakan validitas peristiwa ini sebagai “sumpah” yang sesungguhnya, sebaliknya menyebutnya sebagai “putusan kongres” yang tidak memiliki ikrar resmi sebagaimana yang dimaknai saat ini.
Membedah Kongres Pemuda II Tahun 1928
Kongres Pemuda II memang menghasilkan suatu keputusan resmi—yang kemudian dikenal sebagai “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”—dalam bentuk tiga deklarasi mengenai tanah, bangsa, dan bahasa. Dalam dokumen yang disimpan di Museum Sumpah Pemuda di Jakarta, deklarasi ini menggunakan kata “mengakui” dan “menjunjung” sebagai bentuk kesepakatan atas gagasan kesatuan. Tidak ada kata “sumpah” atau “janji” yang kuat mengisyaratkan pengikatan diri sebagaimana dipahami dalam istilah “sumpah.”
Muhammad Yamin dan Rekonstruksi “Sumpah Pemuda”
Prof. Mohammad Yamin, seorang tokoh kunci dalam sejarah kemerdekaan, dianggap sebagai arsitek di balik pengangkatan istilah “Sumpah Pemuda.” Sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Ali Sastroamijoyo, Yamin memberi nama “Putusan Kongres Pemuda” sebagai “Sumpah Indonesia Raya,” yang kemudian bergeser menjadi “Sumpah Pemuda.” Peran Yamin mengundang kritik dari sejarawan, seperti Ichwan Azhari, yang menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah rekayasa ideologis untuk memperkuat rasa kebangsaan Indonesia.
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon, Hendry Reinhard Apituley, mengemukakan kritik tajam terhadap “Sumpah Pemuda” dalam tulisannya yang tertuang titastory berjudul “Melawan Lupa!!!” karya J. J. Rizal, Sumpah Pemuda Kebohongan Besar”. Dalam analisisnya, Apituley menyoroti bagaimana Sumpah Pemuda, meskipun dianggap sebagai tonggak penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, juga menyimpan sejumlah kebohongan besar yang perlu diungkap untuk memahami realitas sejarah bangsa.
Apituley menegaskan pentingnya memperdebatkan kembali narasi sejarah yang selama ini diterima secara umum, agar generasi muda dapat menghindari pengulangan kesalahan masa lalu dan memiliki pemahaman yang lebih kritis tentang identitas nasional.
Dengan semangat pendidikan kewarganegaraan, Apituley berharap karya-karya seperti “Melawan Lupa!!!” dapat menjadi titik awal untuk diskusi lebih lanjut mengenai arti sejati dari Sumpah Pemuda dalam konteks kekinian.
Artikel yang ditulis oleh Apituley mencakup kritik tajam oleh sejumlah sejarawan terhadap konsep “Sumpah Pemuda.” Tulisan ini mengemukakan bahwa istilah tersebut merupakan rekayasa yang tidak tercantum dalam dokumen asli Putusan Kongres Pemuda II, hasil pertemuan bersejarah pada 27-28 Oktober 1928 yang dihadiri berbagai organisasi pemuda. Para sejarawan seperti J.J. Rizal, Batara Richard Hutagalung, dan Ichwan Azhari mengungkapkan bahwa Sumpah Pemuda sebenarnya muncul sebagai narasi simbolik belakangan atas inisiatif Mohammad Yamin. Yamin, dengan restu Sukarno, dianggap mempopulerkan konsep tersebut untuk memperkuat nasionalisme Indonesia pascakemerdekaan, meski tanpa landasan sejarah yang otentik.
Dalam kritiknya, Rizal bahkan mengaitkan narasi Sumpah Pemuda dengan “teknik propaganda kebohongan besar” yang pernah dipelopori oleh Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi. Menurutnya, kebohongan yang diulang-ulang dapat menjadi “kebenaran yang diyakini,” dan ia memandang Sumpah Pemuda sebagai salah satu contoh “mitos nasionalisme” yang disebarkan melalui peringatan tahunan.
Tulisan ini juga menyinggung absennya Jong Ambon dalam sejarah resmi Sumpah Pemuda, meski organisasi tersebut awalnya turut berperan dalam gerakan pemuda. Pandangan ini mengangkat pertanyaan apakah peringatan Sumpah Pemuda perlu dilihat kembali secara kritis sebagai sebuah narasi konstruksi bangsa atau tetap dipertahankan sebagai simbol persatuan.
Artikel yang Anda unggah berjudul “Melawan Lupa!!!, J. J. Rizal: Sumpah Pemuda Kebohongan Besar” yang ditulis oleh Apituley menguraikan kritik terhadap konsep Sumpah Pemuda, yang dianggap oleh beberapa sejarawan sebagai mitos yang tidak memiliki dasar sejarah otentik. Berikut adalah rincian penting yang diangkat dalam tulisan ini:
- Pandangan Sejarawan Tentang Keaslian Sumpah Pemuda
Sejarawan J.J. Rizal menyebutkan bahwa istilah “Sumpah Pemuda” sebenarnya adalah “kebohongan besar.” Menurutnya, tidak ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa para pemuda mengucapkan sumpah pada pertemuan Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928. Alih-alih sumpah, dokumen asli menyebut pertemuan itu sebagai “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia,” dengan deklarasi yang berisi pengakuan atas satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Para pemuda dalam kongres tersebut tidak menggunakan istilah “sumpah” ataupun “janji,” melainkan kata “mengaku” dan “menjunjung,” yang berbeda makna secara historis.
- Rekonstruksi Sejarah oleh Mohammad Yamin
Menurut dokumen, Mohammad Yamin, seorang tokoh nasional yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1953-1955), mengangkat istilah “Sumpah Pemuda” sekitar 25 tahun setelah Kongres Pemuda II. Dalam proses rekonstruksi ini, Yamin mengubah “Putusan Kongres” menjadi sebuah “sumpah” yang lebih dramatis, yang kemudian dikenal luas sebagai Sumpah Pemuda. Langkah Yamin ini, dengan restu Presiden Sukarno, bertujuan untuk memperkuat rasa nasionalisme dan persatuan di kalangan pemuda pascakemerdekaan
- Kritik Sejarawan Terhadap Sumpah Pemuda sebagai “Kebohongan Besar”
Sejarawan Ichwan Azhari menambahkan bahwa pengubahan “putusan kongres” menjadi “sumpah” adalah sebuah konstruksi simbolik yang tidak sesuai dengan catatan sejarah asli. Dia mengungkapkan bahwa upaya tersebut mirip dengan “teknik propaganda modern” yang pernah dipelopori oleh Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi. Dalam konsep “Big Lie” atau “Kebohongan Besar” ini, sebuah kebohongan yang diulang terus-menerus akan diterima sebagai kebenaran oleh publik. Rizal dan Azhari melihat bahwa Sumpah Pemuda sebagai “rekayasa” yang sengaja dibuat demi tujuan politik, dengan mengorbankan akurasi sejarah.
- Absennya Jong Ambon dalam Sejarah Resmi
Dokumen ini juga membahas tentang hilangnya peran Jong Ambon dari narasi sejarah Sumpah Pemuda yang dipelajari masyarakat. Hendry Marijes Sopacua, seorang pejabat di bidang pendidikan dan kebudayaan Ambon, mengungkapkan bahwa beberapa organisasi pemuda dari Maluku yang turut andil dalam Kongres Pemuda II kini nyaris tidak disebutkan dalam sejarah resmi. Meskipun terdapat pemuda asal Maluku, seperti Abdul Mutalib Sangadji dan Johannes Leimena, yang hadir dalam kongres, mereka tidak mewakili Jong Ambon atau masyarakat Maluku, melainkan hadir atas kapasitas pribadi atau mewakili organisasi lain.
- Implikasi Terhadap Pembentukan Identitas Nasional
Para penulis artikel ini mengangkat pertanyaan etis tentang peran Sukarno dan Yamin dalam membentuk identitas nasional Indonesia. Menurut pandangan mereka, kedua tokoh tersebut menggunakan rekayasa sejarah sebagai bentuk propaganda untuk membangun bangsa baru. Dalam konteks ini, tindakan Sukarno dan Yamin dinilai sebagai bentuk “chauvinisme politik,” di mana tujuan menghalalkan cara, meskipun cara tersebut bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan sejarah. Sejarawan dalam artikel ini menyebut langkah tersebut tidak mendidik karena memperkenalkan “kebohongan sempurna” kepada rakyat Indonesia.
- Revitalisasi Sumpah Pemuda oleh KNPI dan Respon Kontroversial
Selain kritik terhadap Sumpah Pemuda, artikel ini mengangkat insiden revitalisasi Sumpah Pemuda oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Maluku pada tahun 2015. Upacara tersebut mengklaim sebagai “Sumpah Pemuda Jilid II” dengan ikrar baru yang menyesuaikan dengan Pancasila dan komitmen untuk membangun Indonesia. Namun, upacara ini memicu kontroversi di kalangan KNPI Maluku sendiri, hingga berujung pada laporan polisi oleh salah satu anggotanya, yang menilai acara itu ilegal dan tidak mewakili kepemimpinan resmi KNPI.
Relevansi Merayakan Sumpah Pemuda
Dengan demikian Apituley dalam artikelnya mengajak pembaca untuk merenungkan kembali relevansi peringatan Sumpah Pemuda dalam konteks sejarah yang dianggap “tidak otentik.” Jika memang Sumpah Pemuda adalah “kebohongan besar” seperti yang dinyatakan J.J. Rizal, layakkah masyarakat terus merayakan sesuatu yang dianggap tidak terjadi? Apakah bangsa Indonesia perlu mempertahankan narasi yang tidak didasarkan pada fakta, atau justru mencari cara baru untuk merayakan sejarah secara lebih kritis dan akurat?
Tulisan ini memberikan perspektif yang memancing diskusi kritis mengenai narasi sejarah dan makna simbolik Sumpah Pemuda. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, narasi ini tetap menjadi simbol pemersatu. Namun, kritik dari para sejarawan dalam artikel ini menantang pandangan tersebut, dengan menekankan pentingnya mempertanyakan kembali keakuratan sejarah. (TS-01)
Discussion about this post