Titastory.id, Ambon – Pasar Jargaria masih sepi, waktu menunjukkan pukul 06.15 pagi, Fajaria Arloy (40) sudah tiba di pasar untuk menyiapkan barang dagangan miliknya.
Pasar menjadi tempat utama baginya untuk mengadu nasib dan mengais rezeki, demi memenuhi kebutuhan dan membiayai pendidikan kedua orang anaknya.
Sambil membersihkan meja jualan miliknya, Ketua Koperasi Pemasaran Usaha Mama-Jar itu bercerita, dua anaknya yang mengenyam bangku pendidikan di luar daerah terpaksa menerima kondisi ekonomi sang ibu.
“Coba pemerintah daerah bisa melihat kami, karena sudah beberapa kali persoalan ini katong sampaikan ke Dinas,” kata Fajaria pada Rabu (04/9/2024)
Fajaria biasanya menyisipkan uang hasil jualan untuk biaya pendidikan kedua anaknya. Anak pertamanya berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Ambon, anak satunya lagi tengah berada di pesantren di Jawa Timur.
Kini ia harus berpikir dua kali. Hasil jualan sehari terkadang hanya untuk membeli ikan dan ongkos pulang-pergi dari rumah ke pasar, untuk kebutuhan lainnya sudah tak mencukupi.
“Awalnya sebelum anak-anak telepon sudah ada persedian yang disisip dari hasil jualan, kalau saat ini untuk mengirim tiga ratus ribu saja sudah pikir-pikir, bisa kirim atau tidak,” ceritanya.
Semenjak pedagang liar membuka lapak di luar pasar, dagangannya tak selaris dulu. Di tahun sebelumnya para pedagang di Pasar Jargaria bisa meraup penghasilan hingga Rp 700 ribu dalam sehari.
“Akhir-akhir ini pengeluaran hampir lebih besar daripada pendapatan,” keluhnya.
Sebelumnya, Fajaria dan kelompok pedagang perempuan yang tergabung dalam Koperasi Mama-Jar mengeluhkan kondisi pasar yang semakin sepi akibat pedagang yang tidak menempati pasar buatan pemerintah daerah setempat.
Mereka bahkan menuntut Pemerintah Daerah (Pemda) turun tangan menyelesaikan persoalan pedagang liar, lantaran pendapatan mereka berkurang.
“Jadi kondisi yang terjadi saat ini berdampak sekali kepada katong (kita) pedagang yang ada didalam pasar ini. Katong bajual ini untuk kebutuhan makan minum, kebutuhan pakai, dan kebutuhan anak-anak sekolah,” ujarnya.
Menuntut Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
DPRD setempat pernah memanggil Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk rapat dengar pendapat dengan para pedagang. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, kepulauan Aru, B. Atdjas, alasan persoalan ini makin melebar dikarenakan tidak ada sanksi tegas.
“Saya juga tidak bisa berbicara lebih banyak, karena masing-masing punya ranah kalau soal perizinan. Perlu ada kolaborasi semua pihak,” kata B. Atdjas saat ditemui di ruang kerjanya.
Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Pattimura, Yohanes Z. Warkula, S.E.,M.Si, mengatakan, pemerintah daerah mestinya melihat kepentingan ekonomi para pedagang di pasar lantaran berkaitan dengan penghidupan masyarakat.
Banyak lapak yang terbengkalai di pasar karena aktivitas pedagang beralih ke luar pasar dan menempati ruas jalan, hal ini menyebabkan para pembeli bergeser mencari kebutuhan dengan mempertimbangkan jarak terdekat.
“Ini mengarahkan masyarakat membeli di tempat yang lebih dekat karena sudah tersedia, daripada harus ke pasar,” ujarnya.
Kondisi ini menyebabkan ketimpangan bagi sebagian pedagang sehingga menimbulkan persaingan yang tidak adil.
“Kalau persaingan dilakukan secara kompetitif maka aktivitas dagang harus dilakukan di pasar supaya adil,” ujarnya.
Di sisi lain, kata dia, UPTD Pasar tidak bisa seenaknya meminta pedagang membayar retribusi karena mereka berdagang menggunakan fasilitas publik. Dengan begitu, para pedagang di pinggir jalan harus dialihkan ke pasar supaya menjadi penyumbang retribusi kepada daerah.
“Kalau masih ada penjual di pinggir jalan dan Pemda ngotot menarik retribusi dari para pedagang maka itu tidak adil,” tegasnya. (TS-05).