titastory.id, jakarta – Puluhan Mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Melanesia melakukan aksi demonstrasi Kantor Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) di Jalan Jendral Gatot Subroto, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024). Aksi yang dilakukan oleh Solidaritas Mahasiswa Melanesia yang terdiri dari gabungan mahasiswa di Timur Indonesia antara lain Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.
Aksi ini Bagian dari gugatan Mahasiswa Melanesia terhadap Negara republik Indonesia, karena dianggap melanggar konstitusi baik itu peraturan international tentang masyarakat adat dan lingkungan, maupun undang-undang NRI 1945 yang tertuang Dalam pasal 18 B serta UU 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.
Vero Latbual, koordinator aksi Solidaritas Melanesia kepada sejumlah perwakilan KLHK menyatakan keberadaan sumber daya alam (SDA) di wilayah Indonesia timur yang dikelola negara harusnya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Bukan sebaliknya, masyarakat dijadikan korban eksploitasi sumber daya alam.
Berbagai kasus yang terjadi kata Vero, akibat pemerintah lalai dan secara sepihak menerbitkan izin tanpa sepengetahuan masayarakat adat sebagai pemilik lahan.
“Ada kasus pembalakan kayu yang terjadi di Buru Selatan oleh PT Panca Karya di Desa Hote mengakibatkan banjir terus terjadi, air menjadi tercemar, tanaman di perkebunan rusak, akhirnya warga setempat menderita,” Kata Vero.
Christina Rumalatu, Kordinator Lembaga Selamatkan Alam – Selamatkan Generasi (SASI) memberi sanksi kepada Kementrian LHK yang dinilai lalai mengawasai sejumlah perusahaan di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Ia menilai, saat ini hutan di Halmahera Tengah dan Timur terancam rusak akibat eksploitasi tambang nikel yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan. Ironisnya, dari Dokumen IUP yang terlampir di peta MODI ESDM, terlihat saling tumpang tindih satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Selain hutan yang rusak kata Christin, O Hongana Manyawa, manusia nomaden yang tinggal di hutan Halmahera juga terancam tersingkir akibat penggusuran terus dilakukan perusahaan.
“Bagaiaman kalau rumah bapak-bapak ini dirusak oleh orang lain, bapak-ibu akan terima atau tidak? Pastinya tidak. Untuk itu kami menegaskan agar hutan sebagai rumah bagi Orang Tobelo Dalam jangan dirusak rumah,” kata Christin.
Ia bilang, aktivitas perusahaan yang beroperasi telah merusak sumber kehidupan suku yang masih hidup nomaden ini, seperti sumber air bersih dan juga tanaman pangan. Hutan sebagai rumah orang Tobelo Dalam ini telah dijaga turun temurun.
Di kaki gunung Wato-Wato kata Christin jadi sumber air bersih bagi masyarakat Halmahera Timur juga terancam rusak. Dimana daerah resapan telah gundul karena penggusuran lahan yang kian massif. Padahal gunung ini sebagai sumber kehidupan tidak hanya kepada O Hongana manyawa tetapi juga kepada masyarakat yang ada di pesisir.
Data terakhir kata Christin jumlah perusahaan tambang yang melakukan aktivitas di lahan seluas 227.683 hektar dengan 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964, 79 hektar.
60% wilayah Halmahera tengah, Maluku Utara kata Christin dikuasai industri tambang asal China, yakni Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP dimiliki Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan, Perlux Techonology Co.Ltd. Zhensi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.
“Gunung Wato-Wato sebagai benteng terakhir atau ruang tersisa Halmahera Timur sudah rusak akibat tambang”.
Selain itu, ada 27 izin usaha pertambangan (IUP), dengan luas konsesi 172.901,95 hektar. Konsesi tersebut telah menghancurkan ruang hidup warga Haltim. Kaki Gunung Wato-Wato dikuasai oleh Priven Lestari.
Maraknya bisnis ekstraktif di wilayah Indonesia Timur telah mengesampingkan hak konstitusional masyarakat adat sebagai warga negara Republik Indonesia”.
“Isu-isu wilayah Indonesia Timur makin kompleks dan sensiitif, juga berpotensi menimbulkan konflik horisontal diantara masyarakat pribumi yang dipicu oleh aktivitas bisnis ekstraktif”.
Pengrusakan hutan demi menjalankan program strategis nasional, menurut mahasiswa Maluku ini tentunya berbanding terbalik saat Indonesia menjadi salah satu dari 171 Negara yang menandatangani Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Saat itu Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menghadiri dan langsung menandatangi perjanjian Paris pada uoacara tingkat tinggi penandatangan Paris (high-level) signature ceremony for the Paris Agreement) yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Jumat 22 April 2016.
Perjanjian Paris sendiri merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2030-2030.
Tak hanya itu, kerja sama penurunan emisi yang terjalin antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam menekan laju deforestasi menurut Christin sepertinya hanya sebatas kalangan elit semata. Faktanya kata perempuan Nusa Ina ini berbanding terbalik.
Dari data dokumen Forest Watch Indonesia (FWI) https://fwi.or.id/wp content/uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf angka Deforestasi Sebagai “Alarm” memburukan hutan di Indonesia tercatat total deforestasi di Indonesia adalah 5.723.787 hektar. Maluku seluas 287.166 hektar, Papua seluas 371.663 hektar serta Bali dan Nusa Tenggara Timur seluas 332.005 hektar.
Deforestasi yang terjadi didalam izin pemanfaatan dan penggunaan lahan yang diberikan oleh Pemerintah pada periode 2013-2017 mencapai 2,81 juta hektare atau sekitar 49 persen dari total deforestasi di seluruh Indonesia. Berdasarkan tipe konsesi sebagai lokasi terjadinya deforestasi. Sumbangan deforestasi terbesar berasal dari areal yang tumpang tindih antar izin pemanfaatan dan penggunaan lahan, yaitu mencapai 0,78 juta hektare. Sektor pertambangan berada di posisi kedua sebagai penyumbang deforestasi terbesar yaitu seluas 0,7 juta hektare. Sedangkan untuk sektor perkebunan kelapa sawit menyumbang 0,58 juta hektare.
Dengan besarnya tingkat penggundulan hutan yang terjadi, kata Christin, Indonesia seakan menutup mata dengan perjanjian dan dana yang dikucurkan oleh negara lain demi menyelamatkan krisis iklim. Satu diantaranya adalah Norwegia yang telah mengucurkan dana hingga ratusan miliar demi penurunan emisi karbon.
“Kami akan mendesak pemerintah Norwegia hentikan penyaluran dana penurunan emisi krabon karena dana itua supaya hutan bisa dijaga dan terawat. Tetapi realita di lapangan malah bentuk penipuan yang disampaikan, kerusakan hutan terus terjadi,” kata Christin.
Mereka kata Christin tidak segan membuat petisi dan menyurati Pemerintah Norwegia untuk menghentikan dana tersebut.
Terhadap masalah yang terjadi Ia meminta Kementerian LHK segera melihat keberadaan suku Tobelo Dalam yang saat ini menjadi korban dari program proyek strategis nasional.
Johan Djamanmona, perwakilan pemuda kepulauan Aru mengatakan, izin Pemanfaatan Pemanfaatan Hutan seluas 54.560 hektar kepada PT. Wana Sejahtera Abadi merupakan bentuk ancaman terhadap ruang hidup masyarakat di Pulau Wokam dan Pulau Woham, kabupaten kepulauan Aru.
Selain itu, rekomendasi izin peternakan sapi seluas 61.527 hektar yang diterbitkan oleh Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru pada 2019 rencananya akan dilakukan re-aktivasi merupakan ancaman baru terhadap budaya masyarakat dan ruang hidup masyarakat yang hidup dari aktivitas berburu.
Belum lagi kata Johan, aktivitas pembukaan hutan alam dan pembalakan liar yang massif dilakukan di Kabupaten kepulauan Aru sehingga berdampak terhadap masyarakat dari tahun ke tahun.
Contoh kasus kata Johan adalah Abrasi, banjir rob, serta banjir yang terjadi di beberapa desa. Hal ini akibat aktivitas pengrusakan hutan dan perubahan iklim global. Selain itu dari 2013 ancaman pengrusakan hutan terus berdatangan, terakhir 2018 dapat ditolak oleh masyarakat Aru.
“Kepulauan Aru adalah wilayah yang Iandai, hutan di kepulauan Aru adalah penyangga kehidupan yang sangat rentan dengan aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang ada di daratan”, kata Disman Gurgurem, salah satu Pemuda Aru.
Tak hanya di Maluku. Pengrusakan juga terjadi di wilayah Papua. Sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 hektar, 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% pada tahun 2011-2019.
“Aktivitas pembalakan liar yang mengkambinghitamkan masyarakat sebagai pelaku utamanya. Pembalakan liar melibatkan banyak aktor termasuk didalamnya sejumlah pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum yang korup” kata Viktor Klafyu, seorang Pemuda Moi yang datang di Jakarta untuk memperjuangkan tanah adat.
Fiktor Klafyu, perwakilan masyarakat suku Moi, mengatakan perampasan ruang hidup masyarakat adat Moi di Sorong, Papua Barat Daya dan Masyarakat adat Aywu di Boven Digoel, Papua Selatan.
Ia bilang saat ini kedua suku di Tanah Papua sedang berjuang atas tanah yang diklaim perusahaan sawit seluas 36.094 hektar. Tentu saja kata Fiktor, operasi yang dilakukan dengan memanfaatkan izin kelayakan lingkungan hidup. Baginya, ini model kejahatan dan praktik bisnis yang merugikan dan tidak bertanggung jawab untuk keberlanjutan.
Fiktor mengatakan, tanah Papua terus menjadi sasaran pengrusakan lingkungan seperti pembalakan liar terjadi setiap waktu sehingga yang dikorbankan adalah masyarakat adat sebagai pemilik sah atas lahan tersebut.
“Proses pemberian izin melibatkan para peabat, masyarakat tidak hadir, terus masyarakat yang menjadi korban,” Tegas Fiktor.
Terhadap berbagai masalah kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maka Solidaritas Mahasiswa Melanesia dihadapan perwakilan Kementrian KLHK menegaskan akan berdiri bersama masyarakat Kepulauan Aru, Suku Aywu dan Suku Moi, Suku Tobelo Dalam, serta masyarakat Adat Flores yang ruang hidupnya semakin terhimpit.
“Kami mengajak seluruh masyarakat adat Indonesia Timur bangsa Melanesia untuk bersama-sama memberikan dukungan terhadap perjuangan Solidaritas Mahasiswa Melanesia bersama masyarakat adat. Perjuangan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan hak atas tanah dan sumber-sumber penghidupan mereka”
“Negara harus berlaku adil dengan mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat Indonesia Timur, bukan malah diperlakukan secara tidak adil kepada rakyatnya”, Demikian pernyataan sikap dan tuntutan mahasiswa di hadapan sejumlah pejabat Kantor KLHK.
Sementara perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjanji akan menindaklanjuti persoalan yang disampaikan oleh para mahasiswa dan pemuda solidaritas Melanesia ini.
Selain mahasiswa, hadir dalam pertemuan sejumlah Pejabat dan staf Kemeterian LHK Bagian Hukum, Penataan Wilayah Adat, Gakumdu, dan Bagian Humas. (TS-05)
Discussion about this post