Oleh: Nurlaila Sopamena, Dosen UIN AM. Sangadji Ambon
Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (30): 41 menegaskan:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Berbicara tentang kecerdasan dan kepintaran kerap kita temui di ruang-ruang kampus, diskusi akademik, atau debat ilmiah. Kadang juga hadir dalam obrolan santai sambil menyeruput kopi bersama teman-teman. Siapa yang cerdas? Siapa yang pintar? Siapa yang retorikanya tajam dan sanggup mengutip beragam teori demi menunjukkan luasnya referensi bacaan, lengkap dengan pernyataan klise, “saya bicara bukan tanpa data.”
Fenomena ini sudah menjadi semacam keniscayaan. Akademisi—terutama dosen—dituntut bukan hanya mengajar dan membimbing mahasiswa, tetapi juga aktif berdiskusi, menulis, dan berkontribusi dalam ranah publik. Baik lewat artikel ilmiah di jurnal nasional maupun internasional, atau opini di media massa dan sosial. Tujuannya: mengasah kecerdasan dan kepintaran. Tapi, apakah itu saja cukup?
Kampus sebagai corong ilmu pengetahuan memiliki kewajiban menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. Ketiganya harus berjalan seimbang, meski dalam praktiknya, kegiatan pengabdian kerap dianggap pelengkap semata.
Padahal, sebagaimana diungkap Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Tapi pendidikan bukan semata soal transfer ilmu. Ia adalah proses membentuk kesadaran, meretas ketimpangan, dan menumbuhkan empati.
Sayangnya, dari ketiga dharma tersebut, pengabdian kepada masyarakat sering kali terlupakan atau dipandang sebelah mata. Tidak sedikit dosen yang merasa berat meninggalkan zona nyaman, terlebih bila pengabdian berlangsung lebih dari tiga hari. Padahal, pengabdian sejati menuntut kita untuk tinggal, berbaur, merasakan, dan memahami kehidupan masyarakat dari dekat—bukan sekadar hadir untuk formalitas.
Menurut Riduan (2016), pengertian pengabdian kepada masyarakat bersifat filosofis dan berkembang mengikuti ruang dan waktu. Sedangkan Koswara (1989) menjelaskan bahwa pengabdian adalah pengamalan IPTEKS secara melembaga oleh perguruan tinggi untuk membangun manusia Indonesia yang maju dan sejahtera.
Lalu, bagaimana implementasinya hari ini? Apakah para dosen sudah benar-benar merasa “butuh” untuk terlibat langsung dalam pengabdian yang menyentuh masyarakat secara nyata, tanpa pamrih dan tanpa batas waktu?

Ketika Ilmu Tak Lagi Menyapa Rakyat
Mari kita ambil beberapa contoh di Maluku.
Kasus konflik tapal batas di Seram bagian utara menyisakan trauma. Rumah-rumah terbakar di Masihulan dan Huaulu. Konflik bernuansa agama dengan embel-embel “jihad” kembali mengemuka, diperparah oleh informasi yang liar dan provokatif di media sosial.
Di Desa Haya, penolakan terhadap tambang meletup menjadi kemarahan warga. Sasi dipasang, kantor dibakar. Sementara itu, masyarakat adat di Piliana, Hatu, dan Hatumete di Kecamatan Tehoru dan Telutih marah karena kawasan hutan mereka dipatok sepihak tanpa koordinasi atau sosialisasi dari pihak mana pun, termasuk BPKH Provinsi Maluku.

Di pesisir Tehoru, kapal tongkang datang setiap minggu, meninggalkan kerusakan permanen pada terumbu karang. Sumber kehidupan laut rusak tanpa ampun.
Belum lagi tambang-tambang baru di pesisir Seram bagian barat yang mulai menunjukkan dampak negatif. Sayangnya, pro dan kontra terhadap aktivitas ini kerap dianggap wajar tanpa pernah menggali akar persoalan.
Persoalan pendidikan juga tak kalah genting. Di pelosok dan komunitas adat, akses pendidikan masih jauh dari layak. Kita masih mempertanyakan: kapan mereka benar-benar menikmati pendidikan yang katanya akan “mencerdaskan kehidupan bangsa”?
Dan baru-baru ini, tragedi Firdaus Ahmad Fauzi, pendaki asal Bogor, membongkar kembali rasa kemanusiaan masyarakat Maluku. Banyak orang bergerak, turut mencari, mengevakuasi, dan mengantar Firdaus pulang ke tanah asalnya. Peristiwa ini membuka mata kita akan carut-marut sistem, lemahnya koordinasi, dan dominannya ego sektoral di tengah tragedi kemanusiaan. Firdaus telah mengajarkan banyak hal—dengan nyawanya sendiri.

Dari Kecerdasan Menuju Kepedulian
Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (30): 41 menegaskan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Kerusakan alam, ketidakadilan sosial, dan krisis kemanusiaan bukan datang dari luar, melainkan lahir dari keserakahan, ketidakpedulian, dan keterputusan manusia dengan lingkungan dan sesamanya.
Lalu, di manakah para akademisi? Mereka yang telah membaca ratusan buku, menulis ribuan artikel, berbicara di forum nasional dan internasional?
Apa langkah konkret yang bisa kita lakukan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual?
Apakah masih ada semangat untuk turun langsung ke desa-desa, menyelami denyut kehidupan masyarakat, dan membaktikan ilmu bagi kemaslahatan bersama?

Watloly (2024) menyebutkan bahwa kecerdasan kolektif masyarakat kepulauan Nusantara membentuk rasio gotong royong—esensi dari Pancasila sebagaimana dikatakan Bung Karno. Kita harus meresapi mikrokosmos masyarakat kepulauan, agar tumbuh identitas kolektif, simbol pemersatu, dan modal sosial antargenerasi.
Manusia tak bisa hidup tanpa alam. Maka konsep kehidupan di kepulauan harus menyatu dengan alam semesta dan keberagamannya. Semua unsur—flora, fauna, psikis, dan nilai immaterial—adalah satu kesatuan yang utuh dan saling menghidupi.

Akhir Kata: Cerdas Itu Penting, Peduli Itu Mendesak
Perbedaan akan selalu ada, namun harmoni dalam perbedaan adalah keniscayaan.
Sebagai manusia, kita saling membutuhkan dan harus saling mendukung. Maka, sebelum kita kembali membanggakan kecerdasan dan kepintaran kita, mari bertanya pada diri sendiri:
Masihkah kita—para akademisi—memiliki jiwa yang bergelora, semangat untuk menyatu dengan kehidupan masyarakat di desa-desa Maluku, merasakan detak kehidupan mereka, dan menjadi manfaat yang nyata?
Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya?
Wallahu’alam bisshawab.
Ambon, 30 Mei 2025

Artikel ini merupakan Opini penulis yang diterbitkan melalui laman facebooknya @Nurlaila_Sopamen dan diolah oleh redaksi titastory.id