titastory.id,jakarta-Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan kasus penipuan online yang melibatkan tindak kejahatan perdagangan orang di Asia Tenggara meningkat tajam.
Data terbaru mengungkap lonjakan signifikan dalam jumlah kasus mencerminkan tantangan besar dalam menanggulangi kejahatan transnasional.
“Saat ini kami melihat ada semacam normalisasi, judi online dan online scam menjadi bentuk mata pencaharian baru. Ada WNI yg secara sadar ingin bekerja di sektor itu, karena gaji tinggi. Jadi, tidak ada unsur TPPO-nya (Tindak Pidana Perdagangan Orang), kata Judha, dalam diskusi bertajuk “Korupsi dan Kejahatan Siber: Membedah Skema Penipuan dan Judi Online”, di kantor AJI Indonesia, Jakarta, Jumat (13/12).
Kasus pertama yang tercatat pada tahun 2020 hanya sebanyak 15 kasus. Namun, jumlah tersebut melonjak drastis menjadi 5.111 kasus pada tahun 2024. Negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, Laos, dan Filipina kini menjadi lokasi utama dari kejahatan ini, yang melibatkan berbagai skema seperti judi online dan penipuan online.
Judha menerangkan, dari 5.111 kasus yang terdeteksi, hanya 1.290 kasus dinyatakan sebagai TPPO. Korban mayoritasnya berasal dari daerah seperti Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
“Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena aktivitas-aktivitas tersebut mulai dianggap normal dan bahkan menjadi sumber mata pencarian bagi sebagian masyarakat,” ungkapnya.
Penipuan dan judi online juga menunjukkan dimensi finansial yang signifikan.
Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Danang Tri Hartono, menyebutkan bahwa perputaran transaksi terkait judi online menunjukkan tren lonjakan tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Data PPATK menyebutkan pada 2021, transaksi judi online mencapai Rp 57,91 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 104,42 triliun pada 2022. Pada 2023, nilainya melonjak lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp 327,05 triliun, dan hanya dalam semester pertama 2024, angkanya menembus Rp 174,56 triliun.
Lonjakan ini memperlihatkan skala kejahatan yang semakin meluas, didukung oleh metode pencucian uang.
Sementara itu, dana hasil transaksi ini sering kali dicuci melalui skema seperti money changer dan cryptocurrency mempersulit deteksi oleh otoritas, lanjut Danang.
“Jadi memang sekarang crypto bukan hanya untuk tranding, tetapi juga memfasilitasi transaksi termasuk perjudian online,” katanya dalam diskusi yang sama.
Selain itu, PPATK juga mengidentifikasi jumlah pemain judi online di Indonesia juga meningkat tajam, dari 3,4 juta pada 2023 menjadi 8,8 juta pada 2024 dengan modus penyalahgunaan rekening.
“Deposit menggunakan akses rekening, ketika diperiksa, rekening atas nama seseorang ternyata sudah dijual ke orang-orangnya bandar. Artinya, ada orang yang spesialisasi mencari nomor rekening untuk dipakai deposit. Yang mengoleksi (rekening) bisa dipidanakan, tetapi yang menjual ini bagaimana? Apalagi kebanyakan yang menjual masyarakat kelas ekonomi lemah,” kata Danang. (TS-01)
Discussion about this post