titastory.id, dobo – Belajar dari perhelatan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) pada Februari 2024, ada kesan buruk mengutamakan materi alias politik uang. Kurangnya pengawasan oleh lembaga terkait mesti jadi pengalaman berharga, bahwa semua itu tidak memberikan dampak baik untuk Kabupaten Kepulauan Aru.
Kurun waktu 20 tahun menjadi daerah otonom tidak menjadi jaminan pada kemajuan daerah yang terkenal sebagai penghasil ikan ini.
Sadar akan kondisi ini, kerinduan dan dorongan masyarakat Aru terus merajut menjadikan simpul di akar rumput untuk menghadirkan pemimpin yang tahu dan paham bagaimana seharunya Aru di bangun.
Tak lama lagi, Kabupaten Kepulauan Aru akan memilih pemimpinnya. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang Nomor 10 tahun 2016 bahwa Bakal Calon Kepala Daerah yang ikut dalam kontestan pemilihan kepala daerah ditetapkan oleh KPU, yang artinya siapa pun dia berhak dicalonkan tanpa ada diskriminasi yang tertuang dalam Undang – Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai hak yang melekat pada setiap orang.
Di Kabupaten Kepulauan Aru menjelang agenda politik, hanya orang berduit yang bisa masuk bursa bakal calon. Mahar politik menjadi kiasan yang kemudian menjadi budaya bahwa calon kepala daerah harus memiliki uang.
Kos politik inilah yang kemudian menjadi persoalan karena siapapun dia memiliki kecerdasan dan kemampuan namun tidak memiliki uang maka jangan harap bisa menjadi pemimpin.
Indikasinya biaya politik dan transaksi nilai rupiah sudah dimulai dari proses pendaftaran ke partai politik untuk mendapatkan rekomendasi, sekalipun ada aturan lain yang mengatur tentang calon independen atau calon yang tidak diusung partai politik.
Budaya ini pun terbangun, partai politik yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menjaga marwah demokrasi yang sehat justru harus dirusak oleh oknum oknum pengurus partai yang melihat mahar adalah segala galanya.
“Orang miskin tidak bisa calon“, itulah stigma yang telah menjadi budaya di Kabupaten yang kaya akan hasıl laut ini.
Jika melihat pada Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 bahwa proses Pemilihan Presiden tidak diperbolehkan adanya pungutan atau mahar politik dalam bentuk apa pun, sayangnya akumulasi ini tidak disinggung pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Karena segala sesuatu hanya dilihat pada kemampuan materi dan uang sebagai mesin penggerak maka semangat putra-putri daerah Aru yang kredibel, tulus untuk membangun Aru tidak diberikan ruang. Pada Akhirnya pemilik modal adalah pemenang dan didukung oleh pengurus partai.
Disisi ini jika ditarik benang merahnya, mahar politik akan bermuara pada utang politik dan untuk melunasi itu maka proyek pemerintah akan dikeroyok oleh para penyumbang dana, bahkan lebih tragisnya alam aru dan kekayaannya diberikan untuk dikelola dengan menggunakan sistem dan aturan.
Mulai terlihat jelas, upaya perampasan, intimidasi kini mulai dilakukan. Tanah milik masyarakat adat mulai disusupi, dan itu semua karena ada kelonggaran karena aturan dan karena angin segar yang diberikan kepala daerah.
Masyarakat sudah melakukan aksi penolakan, namun hal itu dianggap sebagai kerikil kerikil kecil dan hanya sekedar cerita tanpa peduli dengan hak hak hidup warga Aru.
Di Aru pembangunan dan pengembangan manusianya berjalan lambat orientasi pembangunan hanya terpaku pada rutinitas tanpa ada hal baru yang dilakukan di Aru.
Visi dan Misi kepala daerah sekedar slogan untuk menyenangkan rakyat tanpa ada eksekusi, sehingga opini pun berseliweran di ruang publik, apalagi kuat dugaan Pemerintah Daerah (Pemda) Aru tidak memiliki Master Plan atau Rencana Detail Tata Ruang sejak tahun 2005. Pemda juga tidak memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah sehingga arah pembangunan kabur, tidak terarah, sehingga yang mendominasi adalah kepentingan di bawa ketiak pemberi mahar politik.
Siapa yang harus dipersalahkan?
Perlu Pencerahan Tentang Hak Masyarakat Asli Aru
Muncul berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2003, harusnya menjadi momentum kebangkitan orang Aru untuk mengelola alam dan sumber dayanya sendiri. Dan otonomi daerah adalah peluang namun tidak dimanfaatkan secara baik. Padahal otonomi daerah memiliki ruh untuk mewadahi aspirasi masyarakat adat di kepulauan Aru demi peningkatan ekonomi, penyiapan sarana-prasarana pemerintahan dan pemberdayaan dan peningkatan SDM serta optimalisasi pengelolaan SDA.
Sudah saatnya orang Aru membuka mata, karena kondisi terkini saja Aru hanya biasa saja. Mestinya sosok calon kepala daerah adalah orang yang memiliki integritas moral dan kemampuan manajerial pemerintahan karena mengelola pemerintahan Kabupaten Kepulauan Aru tidak segampang membalik telapak tangan.
Ini perlu agar keinginan dan kerinduan demi Aru yang maju bisa tercapai, karena untuk membangun Aru hanya bisa dilakukan oleh orang Aru. Di Aru mereka yang mapan dari sisi ekonomi adalah mereka yang memiliki jabatan. Sedangkan masyarakat adat justru terpinggirkan akibat ketamakan.
Pemerintah Daerah dan Wakil Rakyat harus bertanggung jawab
Persoalan di Aru harus diselesaikan, karena pemerintah hadir untuk melindungi rakyat bukan berbisnis dengan rakyat.
Bupati mesti menjadi dirigen untuk memandu lagu untuk kemajuan Aru, bukan pelantun yang memarginalkan orang Aru. Karena Aru tidak hanya bisa dilihat dari kacamata daerah administrasi namun Aru mesti dijadikan bagian dari sendi sendi pembangunan negara ini dengan hasilnya sehingga hasil itu pun harus kembali dalam kondisi istimewah demi orang Aru, bukan hasil diambil namun pemiliknya menderita.
Berpatokan pada ketentuan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) menekankan pada tiga kewenangan yaitu, kewenangan Atribusi, kewenangan Delegasi, dan kewenangan Mandat.
Pada posisi ini pemerintah daerah harus mengimbangi jalannya pembangunan nasional dan daerah. Pemerintah Daerah harus bisa merespons tentang asas saling memberi dan menerima. Bukan menjadi penurut di atas dan menjadi cambuk untuk dibawa.
Kesehatan birokrasi pun mesti diperhitungkan, tidak cocoknya hubungan para pimpinan di birokrasi akan menciptakan ketimpangan. Leadership Bupati dan Wakil Bupati mesti beriringan. Jika itu benar benar terjadi di Pemerintah Kabupaten Aru maka Aru akan biasa biasa saja, dan rakyat terus menjadi korban. Pada hal yang dipentingkan adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah diupayakan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan daya saing”.
Kewajiban Bupati
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, dan kekhasan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tugas Bupati sesuai pasal 65 dan tugas wakil Bupati sesuai pasal 66. Bupati dan wakil Bupati harus sepakat dalam menjalankan tugas pokok.
Proses pembagian tugas harus diuraikan secara jelas dalam Surat Keputusan (SK) sehingga wakil Bupati dapat bertindak jika menemukan hal-hal yang dianggap keliru. Melaporkan kepada Bupati untuk ditindaklanjuti.
Dimisalkan dalam hal kewenangan anggaran itu pun mesti didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2000 tentang keuangan kepala daerah yang tentunya dikuatkan dengan SK Bupati. Mungkinkah hal itu ada?, apalah DPRD Tahu soal itu?. Termasuk tupoksi Bupati dan Wakil Bupati.
Kewajiban bupati dalam alinea kedua pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) didrop dan masukan pasal 61 ayat (2) sumpah dan janji. Substansinya menjalankan undang-undang dan mengabdi kepada masyarakat. Ini kewajiban utama yang sering diabaikan oleh Bupati.
Kewajiban bupati alinea 5 harus dikuatkan dengan SK bupati tentang kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati.
Dari kelemahan itu, sudah waktunya masyarakat Aru sadar dan harus mengubah pola pikir bahwa Aru ke depan mesti dipimpin oleh anak Aru yang benar- benar Aru.
Perlu didorong anak asli Aru untuk melakukan perubahan, anak asli Aru harus dipilih untuk memimpin Aru. Tiga anak asli Aru kini mulai berproses pilihlah yang terbaik dari yang baik.
Sebagai poros netral, perlu disampaikan sehingga Aru tidak lagi tertinggal, orang Aru tidak menjadi pesuruh di rumah sendiri.
Orang asli Jargaria harus menjadi payung untuk orang orang yang datang ke Aru, itu berarti kepala rumah mesti orang Aru.
Harus diingat, uang itu penting namun bukan segala galanya, jangan dengan 300-500 ribu kita mempertaruhkan Aru selama 5 tahun. 300 ribu dibagi 60 bulan maka harga kita adalah 167 ribu.
Apakah semurah itu?, “jangan dong. Stop… mari kita moratorium janji politik, kita tolak karena janji itu enak didengar namun pahit saat ditunggu. (**)
Discussion about this post