TITASTORY.ID, – Jalan raya penuh pekat, kehidupan telah tampak, ditandai dengan bunyi knalpot tiap kendaraan yang lalu lalang. Memang, sesuatu yang hidup mengeluarkan bunyi yang hidup. Anak kecil itu berdiri di ruas jalan sembari menunggu lampu lalu lintas berubah merah. Simbol agar kendaraan berhenti dan seruan bagi tiap pejalan kaki melintas. Sampai di seberang, ia terpesona dengan bangunan masjid yang megah, indah, ramai dikunjungi manusia dari berbagai kalangan. Konon orang menyebutnya sebagai rumah Tuhan.
Dengan langkah takjub masuk melewati gapura megah yang dikelilingi pagar beton. Sungguh mewah, keramik paving block dan ornamen rumah Tuhan. Ini semua mungkin diimpor, gumamnya dalam hati.
Beristirahat di teras masjid menjadi pilihan terbaik si anak itu sambil menunggu keringatnya menguap diterpa angin sepoi-sepoi di pelataran masjid. Akibat kenaikan suhu udara kota berkisar 30-40 °C siang itu membuat keringat bercucuran. Bisa jadi ini pengaruh global warming yang diberitakan di tv-tv, menjadi ketakutan bagi seluruh makhluk di muka bumi.
Terdengar perbincangan dua orang dewasa tepat di samping sang anak kecil itu. “Panas sekali cuaca siang ini;.. ”Iya, inilah akhir zaman, pertanda dunia mau kiamat”. Jawab salah satunya yang berjenggot. Si anak terus menyaksikan aktivitas sekitar. Kotak kayu berbentuk persegi panjang melintang, berhadapan dengan pintu utama masjid.
Orang-orang sebelum masuk ke bangunan utama masjid secara sukarela mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku baju atau celana mereka. Dengan penuh keyakinan uang yang dimasukan melalui lubang 10 cm pada bagian tengah kotak kayu itu, nanti ada peristiwa timbal balik, berupa ganjaran dari Sang pencipta.
Ada yang berdasar pada pikiran untung dua kali lipat jika menaruh dengan nominal besar, keuntungannya berupa pahala atau harapan-harapan yang terselip tadi dikabulkan Tuhan. Tak jauh, hanya berjarak beberapa ratus meter, tepat di balik tembok masjid megah itu, komplek kumuh berjejer, anak-anak bermain riang. Keriangan yang nyaris menutupi wajah-wajah polos dari kesedihan akan fakta bahwa mereka telah terpaksa putus sekolah lantaran kekurangan biaya.
Iya, anak-anak polos itu di antaranya harus turut memikul beban hidup yang semestinya menjadi beban di pundak dan kepala orang dewasa, (Ayah-ibu) mereka.
Dalam situasi tertekan dan penderitaan. kadang menjadi energi tersendiri untuk anak-anak itu bergerak setidaknya membantu orang tua, menampung sedikit percikan beban ekonomi keluarga di pundak mungil mereka.
Menjadi penjual koran, mengamen dengan modal tepukan tangan dan suara yang fals atau lirih, adalah cara yang bisa ditempuh untuk mengais uang receh yang kadang sedikit lebih besar di bulan puasa.
Sejurus kemudian, di masjid yang megah itu. Laporan keuangan dibaca oleh pengurus masjid sebelum khatib naik di atas mimbar menyampaikan pesan, teks-teks suci dari langit dan sedikit nasehat kehidupan. Iya, urusan duit dalam dunia selalu diutamakan.
Terdengar total anggaran pendapatan masjid yang dibaca saat itu berkisar Rp. 1,8 miliar dari hamba Tuhan belum lagi yang diterima dari negara. Angka yang fantastis, bahkan bisa untuk merenovasi kran air tempat wudhu berlapis emas 24 karat.
Iya, tempat berwudhu yang seringkali terlihat perdebatan remeh-temeh, seperti soal apakah harus membasuh air hingga telapak kaki atau mengusap air ke seluruh kepala.
Atau bukan begitu caranya membasuh wajah, doa kumur yang benar seperti ini, bukan begitu. Atau ada yang mencoba buat ittikhad seperti ulama dengan menganjurkan obat kumur listerin. Katanya pengetahuan agama ini mesti progresif, dinamis, disesuaikan dengan zaman.
Ibadah di Ahad siang yang panas itu selesai. Anak-anak dari kompleks kumuh itu melintas depan masjid. Kesedihan mereka telah tersimpan di lengan baju lusuh. Rumah Tuhan itu telah dipagari dari tema sentral kemiskinan dan seribu macam problem sosial sekitar.
Tuhan dikerangkeng, menjadi terbatas dalam kebendaan. Kubah masjid berlapis emas, paving block import, kaligrafi dari cat warna yang mahal, nomor satu dunia, kas masjid sembilan digit. Sementara kemiskinan umat terus berjarak, menjadi catatan ironi dari rumah Tuhan. (**)