“Beras, kalau memang harganya tidak bersahabat, potong semua pohon sagu yang ada. Kita masih punya 5 juta hektar sagu. Potong satu juta sudah bisa bertahan 1 – 2 tahun, makan sagu aja”. Demikianlah sepenggal kalimat pendek dari suatu taklimat panjang yang diucapkan oleh ‘Syahrul Yasin Limpo’ (Menteri Pertanian Negara Kesatuan Republik Indonesia (MENTAN NKRI) dihadapan para penyuluh pertanian nasional di Jakarta dalam acara kegiatan Pembekalan Penyuluhan Pertanian Nasional pada hari Kamis, tanggal 6 Oktober 2022, dengan Tagline: “Penyuluh Hebat, Pertanian Kuat”.
TITASTORY.ID, – Pernyataan tersebut di atas – khususnya soal harga – mendapat tanggapan dari ‘Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina’ (Direktur Archipelago Solidarity Foundation) sebagai berikut: “Kalau saya ditanyai, ya aneh saja, ‘mereka’ (Pemerintah NKRI – Penulis) koar-koar soal food estate, yang tentu didukung anggaran negara. Tetapi, sagu dijadikan andalan kalau terjadi krisis. Sementara harga sagu jauh lebih mahal dari beras. Apa ini bukan omong kosong? Persoalan pangan serius, tetapi kok solusinya omong kosong”.
Omong kosong MENTAN NKRI tidak terutama hanya soal harga saja tetapi juga soal substansinya, yaitu: “Beras dan Sagu”. Apakah mungkin orang Jawa bisa makan sagu saja meski hanya dalam jangka waktu 1 – 2 tahun (?), bahkan orang Maluku saat inipun tidak mungkin tidak makan ‘nasi’ (beras) (!). 77 tahun (1945-2022) bukan waktu yang singkat untuk “menjajah” perut orang Maluku dengan: “Beras”. Dalam posisi ini, sagu lalu menjadi tidak penting lagi. Perihal ini juga, sekaligus menegaskan omong kosong MENTAN NKRI.
Sebagai pejabat negara, Syahrul Yasin Limpo sudah seharusnya tidak asal bunyi dan/atau tidak asal banting mulut, sebab Stand-up Comedian saja harus mempersiapkan diri dan materi sebelum tampil di atas panggung. Sekalipun mungkin hanya sekadar bercanda, tetapi kalimat: “potong semua pohon sagu yang ada. Kita masih punya 5 juta hektar sagu”, dapat memunculkan beberapa implikasi.
Pertama, kalimat tersebut di atas mengkonfirmasikan kepada kita semua bahwa, pemerintah NKRI tidak memiliki gagasan (idea) dan strategi besar (grand strategy) sehingga tidak pula memiliki konsep (concept) maupun rencana induk (master plan) bahkan cetak biru (Blue Print) apalagi program kerja tentang pengembangan sagu sebagai bahan makanan pelengkap (supplement) beras dan/atau bahan makanan pengganti (subtitute) beras.
Kedua, dengan ketiadaan perihal tersebut di atas, maka tidak akan ada pula perlindungan (conservation) dan budidaya (cultivation) maupun penanaman kembali (replanting) pohon sagu. Ekses dari ketiadaan perihal tersebut adalah, kemungkinan punahnya pohon sagu dimasa depan. Sekalipun mungkin terdapat program penanaman kembali pohon sagu, tetapi program ini berpotensi mengalami kegagalan jika kita belajar dari pengalaman ‘penanaman kembali hutan dan/atau penghijauan kembali hutan’ (reboisasi) di masa lalu yang dalam aktualisasinya lebih banyak mengalami kegagalan daripada keberhasilan.
Di Maluku, (pohon) sagu tidak hanya sekadar makanan pokok tetapi lebih daripada itu telah identik dengan budaya dan kehidupan masyarakat adat di Maluku. Sebab dari pohon sagu, lingkungan hidup masyarakat adat di Maluku tetap terjaga dan terpelihara, dan dari pohon sagu ini pula kebutuhan hidup masyarakat adat di Maluku (secara minimal) tetap dapat terpenuhi – baik sandang, pangan maupun papan. Pohon sagu adalah bagian tidak terpisahkan dari “hutan” yang merupakan lingkungan hidup masyarakat adat dimana saja di seluruh Indonesia, termasuk di Maluku.
Sehingga seperti efek domino, hilangnya hutan dimana pohon sagu menjadi bagian tidak terpisahkan daripadanya berpotensi merusak lingkungan hidup masyarakat adat di Maluku, dan rusaknya lingkungan hidup masyarakat adat di Maluku berpotensi menghilangkan masyarakat adat di Maluku, dan jika masyarakat adat di Maluku sudah tidak ada lagi, maka Pemerintah NKRI dan aparaturnya dari pusat sampai ke daerah secara otomatis akan mengambil alih kekayaan alam milik masyarakat adat di Maluku.
oleh sebab itu, masyarakat adat – dan kita semua sebagai sesama Bangsa Alifuru – di Maluku harus secara terus menerus tanpa pamrih berupaya dengan segenap jiwa raga tanpa lelah untuk mempertahankan keberadaan hutan dimana pohon-pohon sagu menjadi bagian tidak terpisahkan didalamnya demi keberadaan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat di Maluku itu sendiri, sama seperti ketika pada tahun 2013 kita berjuang untuk mempertahankan keberadaan hutan masyarakat adat Aru di Kepulauan Aru. Dan pada tahun 2022 ini, kita berjuang untuk mempertahankan keberadaan hutan masyarakat adat Marafenfen di Kepulauan Aru, dan untuk mempertahankan keberadaan hutan masyarakat adat Sabuay, Bati, Kasie, dan Lisabata di Pulau Seram – dan untuk mempertahankan keberadaan hutan masyarakat adat Maluku di masa-masa yang akan datang.
Sekalipun Pemerintah NKRI adalah salah satu dari 144 negara anggota ‘Perserikatan Bangsa-Bangsa’ (PBB) yang mendukung ‘Pernyataan PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat’ (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP)) di New York, Amerika Serikat, pada hari Kamis, tanggal 13 September 2007, tetapi Masyarakat adat di Maluku tidak boleh berharap apapun juga kepada Pemerintah NKRI untuk dapat mempertahankan keberadaan masyarakat adat di Maluku, sebab Pemerintah NKRI tidak akan pernah mempertahankan keberadaan masyarakat adat dimanapun juga di seluruh Indonesia, termasuk di Maluku.
Pemerintah NKRI akan lebih memilih untuk mempertahankan keberadaan ‘oligarki’ (pemerintahan oleh sekelompok kecil orang (Penguasa/Pengusaha)), para investor, dan ‘kaum bermodal’ (Capitalists) dengan mengatas/namakan pembangunan dan ‘nasionalisme Indonesia’ (NKRI harga mati). Bahkan Joko Widodo ditenggarai merupakan bagian dari dan/atau kaki-tangan oligarki karena berutang banyak kepada oligarki untuk menjadi Presiden NKRI. Perihal ini dapat dikatakan demikian, karena sejak UNDRIP disahkan 15 tahun lalu, hingga saat ini pemerintah NKRI belum juga menghadirkan instrumen sebagaimana yang tertuang dalam UNDRIP. Dengan demikian dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, pemerintah NKRI tidak pernah memiliki ‘kemauan politik’ (political will) untuk mempertahankan keberadaan masyarakat adat dimanapun juga diseluruh Indonesia, termasuk di Maluku.
(Perihal Joko Widodo dan oligarki sebagaimana tersebut di atas, adalah seperti yang dinyatakan oleh Prof. H. Salim Said, Ph.D., salah seorang pendiri majalah Tempo, Guru Besar pada ‘Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Pertahanan’ (FISIPOL-UNHAN), dan mantan Duta Besar NKRI untuk Republik Ceko, dalam suatu wawancara dengan Akbar Faisal pada hari Senin, tanggal 24 Januari 2022 di channel youtube AF Uncensored (https://youtu.be/eVa_zo-o0SQ), dan dalam suatu wawancara dengan Refly Harun pada hari Minggu, tanggal 27 Pebruari 2022 di channel youtube RH Family (https://youtu.be/6kKbC4FeDow), serta dalam suatu wawancara dengan Indy Rahmawati pada hari Jumat, tanggal 19 Pebruari 2021 di channel youtube tvOne (https://www.tvOnenews.com)).
Oligarki masih akan terus berusaha keras untuk tetap mempertahankan Joko Widodo sebagai Presiden NKRI dalam periode pemerintahan yang ketiga (2024-2029) – sekalipun harus melanggar konstitusi – atau sebagai Wakil Presiden dalam periode pemerintahan yang berikut (2024-2029) – sekali lagi, sekalipun harus melanggar konstitusi. Akan tetapi, jika usaha tersebut gagal, maka oligarki akan mencari figur lain yang dapat dikendalikan untuk menjadi Presiden NKRI menggantikan Joko Widodo. Salah satu cara dimaksud adalah dengan menetapkan ‘ambang batas pencalonan presiden’ (Presidential Threshold (PT)) sebesar 20%.
Pada tahun 2022 ini, PT 20% digugat oleh ‘Partai Keadilan Sejahtera’ (PKS), dan oleh ‘Dewan Perwakilan Daerah’ (DPD) NKRI, tetapi gugatan itu ditolak oleh ‘Mahkamah Konstitusi’ (MK) NKRI. Dengan demikian, peluang oligarki untuk dapat menempatkan figur mereka sebagai Presiden NKRI periode 2024-2029 telah terbuka lebar. Perihal ini akan menjadi sebab yang membawa akibat pada terancamnya keberadaan masyarakat adat dan lingkungan hidupnya dalam jangka panjang di seluruh Indonesia, termasuk di Maluku. Sebab segala kekayaan alam dalam lingkungan masyarakat adat berupa hutan dan tambang akan diberikan oleh ‘Presiden’ (Pemerintah) NKRI dalam bentuk “konsesi” kepada oligarki sebagai ganti utang ‘Presiden’ (Pemerintah) NKRI kepada oligarki.
(Perihal oligarki dan PT 20% sebagaimana tersebut di atas, adalah seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, SH., MH., mantan anggota ‘Dewan Pertimbangan Presiden’ (WANTIMPRES) Susilo Bambang Yudhoyono (2010), mantan ketua ‘Mahkamah Konstitusi’ (MK) NKRI (2003-2008), dan Guru Besar pada ‘Fakultas Hukum Universitas Indonesia’ (FH-UI) dalam suatu wawancara dengan Akbar Faisal pada hari Kamis, tanggal 29 September 2022 di channel youtube AF Uncensored (https://youtu.be/REpG2yWu2xk), dan dalam suatu wawancara dengan Refly Harun pada hari Minggu, tanggal 23 Oktober 2022 di channel youtube RH Family (https://youtu.be/!AjeJMZG_JiU). Demikian juga seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Amin Rais, MA., mantan ketua ‘Majelis Permusyawaratan Rakyat’ (MPR) NKRI periode 1999-2004, dan mantan anggota ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ (DPR) NKRI periode 1999-2004 melalui channel youtube KOMPASTV pada hari Minggu, tanggal 14 Maret 2021 (https://youtu.be/wDq-ck5hSq4), dan juga seperti yang dinyatakan oleh H. Fahri Hamzah, SE., mantan staf ahli MPR NKRI (1999-2002), dan mantan wakil ketua DPR NKRI periode 2014-2019, dalam suatu wawancara dengan Rahma Sarita pada hari Jumat, tanggal 28 Oktober 2022 di channel youtube Inilah.com #InilahPodcast (https://youtu.be/PoWYi50TTlg), atau juga seperti yang dinyatakan oleh Drs. Rocky Gerung, mantan dosen pada ‘Universitas Indonesia’ (UI), dan salah seorang pendiri Setara Institute dan fellow pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), dalam suatu wawancara dengan Refly Harun pada hari Rabu, tanggal 29 September 2021 di channel youtube RH Family (https://youtu.be/Wbjxx4yjWa0), dan dalam suatu kuliah umum di Universitas Muhammadiyah, Sukabumi, pada hari Senin, tanggal 7 November 2022 (https://youtu.be/BRqNTBMx_6rc).
Perihal sebagaimana tersebut di atas dapat dikatakan demikian, sebab Konstitusi NKRI tidak memberikan pengakuan terhadap masyarakat (hukum) adat secara pasti, jelas, dan tegas, sekalipun ayat (2) dari Pasal 18B yang merupakan Amandemen kedua ‘Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia’ (UUD-NRI) tahun 1945 yang disahkan pada hari Jum’at, tanggal 18 Agustus 2000, menyebutkan, bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, Dr. St. Laksanto Utomo, menyatakan dalam halaman 180 dari buku berjudul, Hukum Adat, yang diterbitkan di Jakarta, pada tahun 2017, oleh penerbit Rajawali Pers, bahwa, anak kalimat “sepanjang masih hidup”, adalah: “ketentuan yang melemahkan unsur pengakuan dalam kalimat utamanya”. Sebelumnya, dalam halaman 178 – 179 pada buku dibawah judul yang sama, Dr. St. Laksanto Utomo, menyatakan, bahwa: “Meskipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan, perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari frasa “sepanjang masih hidup”, sesuai dengan perkembangan masyarakat, selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undang-undang”.
Dalam halaman yang sama dari buku yang sama pula, Dr. St. Laksanto Utomo, juga menyatakan, bahwa: “Syarat-syarat ini berkaitan satu sama lain dan menempatkan masyarakat adat dalam situasi dilematis. Di satu sisi keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh adanya pengakuan negara dimana keputusan untuk menyatakan masyarakat adat masih hidup atau tidak juga berada ditangan negara yang menetapkan syarat tersebut; disisi lain pengakuan itu menghendaki adanya bukti bahwa masyarakat adat masih hidup; dan upaya pembuktian tersebut juga dilakukan oleh negara. lalu, dimana peran masyarakat adat untuk membuktikan bahwa masyarakat adat masih hidup (?). Dari perspektif legal, ini berarti selama tidak ada undang-undang yang mengakui keberadaan masyarakat adat, maka masyakarat adat tetap tidak ada, meskipun secara sosiologis masyarakat adat itu masih ada.”
Dengan demikian dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, seperti MENTAN NKRI bicara omong kosong sebagaimana tersebut di atas, maka demikianlah pula dengan Konstitusi NKRI, juga memuat sejumlah besar omong kosong, sebab – dengan mengikuti alur pikir Dr. St. Laksanto Utomo – bagaimana mungkin masyarakat adat yang secara sosiologis masih hidup dalam kenyataannya, dapat terus mempertahankan keberadaan dirinya sementara kehidupan masyarakat adat itu sendiri keberadaannya ditentukan oleh Pemerintah NKRI (?), apalagi dengan syarat harus “sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang” (?), sedangkan di sisi yang lain konstitusi NKRI justeru mengamanatkan agar “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya” (?); bukankah ini adalah suatu bentuk anomali (?), suatu bentuk paradoks (?) suatu bentuk ‘pertentangan dalam dirinya sendiri’ (Contradiktio in terminis) (?), suatu bentuk pembohongan publik secara konstitusional (?), suatu bentuk ‘pembersihan’ (genocide) masyarakat adat secara halus dan perlahan-lahan dengan berlindung dibalik konstitusi (?).
Dalam konteks sebagaimana tersebut di atas, jika para presiden NKRI – terutama Joko Widodo – menggunakan pakaian adat, maka itu tidak berarti apa-apa. Bahkan itupun bukan suatu pembuktian tentang telah adanya pengakuan oleh pemerintah NKRI terhadap keberadaan masyarakat adat, tetapi lebih kepada hanya sekedar pencitraan belaka. Ironisnya adalah bahwa, terdapat segelintir orang Maluku yang dengan sikap “onosel/ondos/laipose” terus menerus mengobral pemberian Gelar Adat Maluku kepada para Presiden NKRI yang sesungguhnya bukan merupakan Anak Adat Maluku semisal, Megawati Sukarnoputeri (Ina Latu), Susilo Bambang Yudhoyono (Upu Latu Ratmaran Siwalima), Joko Widodo (Upu Kalatia Kenalean Dantul Po Deyo Routnya Hnulho Maluku), dan mungkin akan ada yang lain lagi disuatu hari nanti (?). Bahkan tragisnya lagi adalah bahwa, segelintir orang Maluku dengan sikap “onosel/laipose/ondos” ini juga memberikan Gelar Adat Maluku kepada para pejabat pemerintah NKRI dengan “kelas lebih rendah dari Presiden NKRI” yang sebenarnya juga bukan merupakan Anak Adat Maluku semisal, Wismoyo Arismunandar (Kapitan) – dan mungkin akan ada yang lain lagi dikemudian hari (?).
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, Lutfi Sanaky – yang pada saat itu dalam jabatan dan kedudukannya sebagai ketua ‘Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Maluku’ (BALEG DPRD PROMAL) – pada hari Jumat, tanggal 15 Oktober 2017, pukul: 17:17 ‘Waktu Indonesia Barat’ (WIB), melalui portal online kantor berita Antara Maluku, menyatakan, bahwa: “Perlu ada kajian mendalam dari kalangan akademisi maupun tokoh adat dan tokoh masyarakat sebelum memberikan gelar adat kepada seseorang”. Terhadap perihal ini, penulis berpendapat, bahwa: “Gelar Adat hanya boleh diberikan kepada Anak Adat (itupun harus dengan alasan dan/atau pertimbangan yang amat sangat substansial berdasarkan Hukum Adat, dan bukan berdasarkan alasan/pertimbangan politik), dan Gelar Adat tidak boleh diberikan kepada yang bukan Anak Adat apapun alasan/pertimbangannya”. Sebab sebagaimana yang selanjutnya dikatakan sendiri oleh Lutfy Sanaky, bahwa: “Bagi masyarakat adat Maluku, gelar adat sangat sakral dan sifatnya mengikat”. Dalam perihal ini, penulis amat sangat setuju sekali dengan pernyataan “gandong” Lutfy Sanaky tersebut (https://ambon.antaranews.com).
Dari peristiwa ironis dan tragis sebagaimana tersebut di atas, penulis dapat mengerti betul kalau hari-hari ini Pemerintah NKRI memandang rendah (sama seperti Sukarno memandang orang Maluku, sebagai: “lebih rendah daripada yang terendah” (Geerken, Horst Henry (2011) A Magic Gecko Peran CIA Di Balik Jatuhnya Soekarno. Jakarta: Kompas, h. 161)), dan tidak peduli bahkan tidak menganggap penting orang Maluku samasekali, sebab orang Maluku itu sendiri juga samasekali menganggap sepi, dan tidak peduli bahkan tidak menganggap penting dirinya sendiri dengan menjual kehormatan dan harga diri dan/atau harkat dan martabat yang adalah ‘hak kesulungan’ (Maluku ada sebelum Indonesia ada, bahkan Indonesia baru ada sebagai negara dan belum ada sebagai bangsa hingga saat ini) hanya dengan “sepiring kacang merah”, maka jadilah kita orang Maluku sebagai sesuatu yang murahan, sesuatu yang tidak memiliki nilai (Jika ‘kita’ (orang Maluku) tidak ingin untuk mengatakan diri kita sendiri, sebagai: “Rubbish/Garbage”).
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon
Discussion about this post