titastory.id, halmahera – Camp milik pekerja PT Weda Bay Nikel, tiba-tiba ramai setelah didatangi tiga orang suku Togutil (O Hongana Manyawa), Kamis (23/5/2024). Tiga orang suku asli pulau Halmahera ini tiba-tiba menyambangi Kawasan pekerja, yang berada di belakang Desa Waijoy, Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur, Provinsi Maluku.
Dari video yang beredar di media sosial, tampak dua orang pria dan seorang perempuan suku Tobelo Dalam ini mendatangi camp. Kawasan ini dari video sudah tak ditumbuhi lagi pepohonan alias gundul karena telah digusur mejadi arela pertambangan dan juga camp para pekerja.
Kedatangan tiga orang suku Asli di hutan Halmahera ini mengundang perhatian para pekerja tambang yang menempati camp perusahaan.
Terlihat seorang pria berkostum pekerja memberanikan diri untuk menghampiri mereka. Pria yang bekerja sebagai pekerja IWIP ini sempat membujuk ketiga orang Togutil ini untuk masuk ke camp perusahaan.
Setelah berhasil dibujuk, para komunitas di hutan Halmahera ini akhirnya masuk ke dalam camp pekerja ditutun oleh seorang pekerja yang fasih berbahasa tobelo dalam. Para pekerja tambang pun menyambut baik ketiga orang suku pedalaman hutan Halmahera itu dan diajak masuk ke sebuah bangunan.
Selain itu, terdapat sebuah foto yang memperlihatkan ketiga suku pedalaman hutan Halmahera tersebut dijamu makan oleh para pekerja.
Setelah masuk ke dalam camp, ketiga orang suku Tobelo dalam ini langsung disajikan makanan berupa nasi. Menurut seorang pekerja, ketiga orang ini mengalami kelaparan sehingga mereka terpaksa masuk ke dalam camp milik perusahaan.
Lalu siapakah pria berkostum pekerja perusahaan tambang nikel ini, sehingga dia dengan santai berkomunikasi dengan ketiga orang Togutil ini? Bahkan dengan santai berkomunikasi sehingga para orang hutan Halmahera ini bisa menuruti dia?
Usut punya usut, diketahui pemuda ini Musa adalah warga Desa Minamin, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Musa sendiri adalah keturunan dari komunitas Togutil atau Orang Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa).
titastory.id beberapa kali melakukan peliputan di Wasile Selatan dan sempat berkomunikasi dengan keturunan Tobelo Dalam ini. Musa diketahui merupakan keturunan asli dari suku togutil, yang lahir di hutan Akejira. Namun, masa remaja hingga dewasa Ia dibesarkan oleh salah satu keluarga di Desa Minamin . Dari sinilah, kehidupan modern dijalani musa seperti masyarakat pesisir di Wasile Selatan. Pria kelahiran tahun 90-an ini juga tak pernah melupakan kehidupan keluarganya di hutan.
Musa diketahui juga merupakan cucu dari Maratana perempuan tobelo dalam yang saat ini tersingkir dari rumahnya akibat ekspansi pertambangan nikel di Kawasan Tofublewen atau dalam bahasa Tobelo Maleo Ma Bohuku di Desa Saolat. Maratana sendiri sering disapa oleh masyarakat Tobelo pesisir dengan nama Meme Hairani. Ia sempat kelaparan karena lokasi tempat mencari makanan dan berburu hewan telah gundul alias tergusur.
Kembali lagi ke Musa. Keterlibatan Musa juga terlihat saat melakukan perlawanan bersama masyarakat adat Tobelo Pesisir Desa Minamin dan Desa Saolat. Ia beberapa kali teribat dalam melakukan aksi protes kepada perusahaan IWIP dan Pemda Kabupaten Halmahera Timur.
Sebelum hilang kabar pada 2023 lalu, Musa tengah melakukan pencarian terhadap Turaji, suami dari neneknya Meme Hairani yang dikabarkan menghilang di hutan. Sejak itulah Musa ditawarkan untuk bekerja sebagai pekerja di PT IWIP.
Sehingga, sosok pekerja yang menolong tiga orang suku Togutil (O Hongana Manyawa), tak lain adalah Musa. Sesama kelompok/komunitas yang hidup di pedalaman hutan Halmahera.
Ketiga orang Togutil ini keluar dari hutan mereka karena merasa terganggu dengan aktivitas pertambangan nikel. Dari video, camp pekerja ini berada di belakang Desa Waijoy, lokasi inilah merupakan rumah dan wilayah berburu suku nomaden Halmahera ini. Namun sayangnya, saat ini sejumlah perusahaan tambang telah melakukan aktivitas di wilayah ini, salah satunya Weda Bay Nikel (WBN).
Video yang sempat viral di media sosial ini mendapat tanggapan dan rekasi dari warga netizen. Salah satu akun dengan nama Opo BadoaSULUT VIRAL OFFICIAL membagikan video ini dan mendapat berbagai tanggapan. Dalam postingannya, akun dengan nama Opo Badoa ini menulis tentang kelompok etnis nomaden yang hidup di pedalaman hutan Halmahera
*#SUKU TUGUTIL atau yg di kenal sebagai suku Tobelo dalam) adalah kelompok/komunitas etnis yang hidup di PEDALAMAN HUTAN HALMAHERA- secara nomaden Bahasa yang mereka gunakan untuk berkomonikasi BAHASA DAERAH TOBELO.) HOBATA’ KELUAR DI KEM PT. WBM. KEMUDIAN DARI PIHAK PERUSAHAN MEMBERIKAN MEREKA PAKIAN-MAKANAN DLL. (TEPATNYA Di BELAKAN WAIJOY HALTIM. HUTAN ADALAH TEMPAT TINGGAL MEREKA. SAYANGILAH MEREKA! Tulis akun dengan nama Opo BadoaSULUT VIRAL OFFICIAL pada postingannya.
Yulia Pihang, Perempuan Adat Desa Saolat dalam menanggapi video yang beradal di media sosial. Dalam pernyataannya Yulia mengatakan penyebutan orang Togutil masuk wilayah camp IWIP adalah kesalahan fatal karena wilayah lokasi tersebut telah ditempati jauh sebelum perusahaan melakukan aktifitas pertambangan nikel. Selain itu, mereka kata Yulia, mengalami kelaparan karena hutan tempat mencari makan dan berburu telah rusak akibat aktivitas tambang nikel. Sehingga kata, Yulia, tidak benar jika, mereka, mendatangi camp pekerja karena mengalami kelaparan.
Tak hanya itu, kehadiran mereka di sana juga karena merasa terganggu, karena sebagian lokasi mereka mencari makan dan berburu telah rusak.
Menurutnya, ribuan tahun yang lalu komunitas Suku Tobelo Dalam telah hidup mendiami bahkan melindungi hutan serta menjadikan hutan sebagai rumah dan tempat menggantungkan hidupnya di belantara hutan halmahera timur dan halmahera tengah.
Kehadiran mereka di sana kata Yulia, sudah memberikan dampak positif yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup ribuan juta jiwa yang mendiami dua wilayah yakni Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.
“Manfaat yang di terima dapat saya sebutkan beberapa hal, Pertama, Masyarakat adat yang hidup di pesisir dapat menikmati oksigen yang sehat tanpa ada penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA); Kedua, Air, Tanah obat-obatan bahkan hasil buruan bisa di dapat dengan mudah dari hutan ini bahkan; Ketiga, Tidak ada konflik sosial,konflik kepentingan terkait klaim wilayah dan tanah antar suku dan antar wilayah karena kepentingan korporasi; Keempat, Tidak ada masyarakat yang susah bahan makanan selama hutan itu masih utuh dan banyak lahan yang di manfaatkan untuk berkebun dan masih banyak alasan mendasar lainnya,” tuturnya.
Dalam menggaungkan isu Suku O Hongana Manyawa katanya adalah bertujuan agar pemerintah Indonesia, sehingga tidak harus menutup mata terkait dengan dampak Proyek Strategis Nasional yang melahirkan begitu banyak IUP dan IUPPKH tanpa kontrol terhadap kerja-kerja korporasi di wilayah yang masuk dalam izin konsesi tambang dan perkebunan skala besar.
“Akibat kebijakan Negara bersama dengan korporasi telah menghancurkan, merampas mengeksploitasi ruang hidup semua orang baik Masyarakat Adat yg ada di pesisir pantai dan lebih khusus lagi mereka O Hongana Manyawa (Suku Tobelo yang hidup di hutan) atau Tobelo Dalam,” lanjutnya.
Kejadian yang viral berapa hari berturut-turut kata Yulia bukan hal baru bagi mereka. Yulia juga mengoreksi bahasa yang dilontarkan masyarakat terhadap suku orang O Hongana Manyawa dengan menyebutkan mereka suku asing.
“Sedikit mengoreksi, bukan mereka yang terlihat asing di mata kita tapi kitalah yang terlihat asing di mata mereka makanya ada ketakutan tersendiri di mata mereka sebab sejak dulu hutan itu hanya dihuni oleh parah tetua adat O Hongana Manyawa dan keturunannya makanya ketika ada hal baru yang mereka lihat pasti akan ketakutan dan merasa tidak aman dan terjadi kerusakan di depan mata mereka,” terangnya.
Bagi Yulia, Semua yang terjadi ini kesalahan Negara dan juga perusahaan tambang yang melakukan pengrusakan hutan secara masif tanpa berpikir panjang ada Manusia dan satwa yang dilindungi hidup bergantung pada Hutan Halmahera.
“Kita wajib suarakan bersama sebab memberikan makanan, pakaian dan kebutuhan lain bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan hidup yang dialami oleh Basudarah Suku Tobelo Dalam, jika kita benar-benar peduli mari selamatkan hutan bersama-sama dengan mereka ,tanpa harus menawarkan solusi yang tidak memberikan kepastian dan jaminan hidup yang layak oleh mereka,” katanya.
Jika peduli bagi keberadaan mereka, kata Yulia, maka Ia tegaskan agar cara berpikir tentang keberadaan suku asli ini harus diubah dan tidak disamakan dengan Pemerintah maupun koorporasi, sebab semua progam Pemerintah dan perusahaan untuk membawa mereka keluar dari hutan bukan untuk memberikan kepastian hidup malah sebaliknya.
“Mendukung Negara dalam soal ini sama halnya dengan melegalkan tindakan salah Negara dalam melakukan Pelanggaran HAM berat terhadap suku Tobelo dalam (O Hongana Manyawa),” tutupnya.
Siapa itu Orang Togutil?
Syaiful Madjid, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMU), dalam penelitiannya mengklasifikasi Suku Tobelo menjadi dua, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di hutan) dan O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir). Hal ini, berdasarkan klasifikasi orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan.
Sedang kata Togutil, katanya, adalah penyebutan orang luar terhadap orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan. “Sebenarnya, mereka, O’Hongana Manyawa juga tidak menyebut mereka Togutil.” Seiring waktu, penyebutan Togutil pun melekat pada mereka.
Sayangnya, penyebutan kata Togutil berkembang menjadi sebuah stereotip—bermakna konotatif, juga disebut oleh orang Tobelo Luar kepada orang Tobelo Dalam, untuk membedakan diri.
“Tapi, ada kata O’Tau Gutili yang artinya rumah obat/ tempat orang Tobelo melakukan proses pengobatan,” katanya.
Syaiful bilang, dari hasil penelitian itu terlihat, O’ Hongana Manyawa sudah membagi wilayah mereka. Ada hutan produksi, konsumsi, bahkan hutan lindung.
Pembagian itu, katanya, sebelum pemerintah Indonesia memetakan hutan lindung bahkan hutan produksi, seperti taman nasional.
Untuk Halmahera Tengah, ia mengatakan masih kedekatan dengan Halmahera Timur karena mobilisasi komunitas ini bersilang.
“Jadi dari Halmahera tengah bisa ke Halmahera timur begitu juga sebaliknya. Mobilisasi mereka itu tinggi sekali kalau di hutan”
Mantan Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhamadyah Ternate ini bilang bersama peneliti lainnya Ia melakukan riset di Halmahera Tengah pada Tahun 2004. Kala itu Ia menelusuri Akejira, Ake Sangadji, Tofu Blewen, hingga kali Mein.
“Jadi 2014 saya riset dengan teman saya di Unsrat, Bung Alex Ulayan dengan Nasrul Sandiah. Mereka berdua saya dampingi di Hutan dengan berbagai rintangan yang kita temui dan Alhamdulillah riset kita berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan,” cetusnya.
Barulah pada tahun 2006, Syaiful melakukan riset secara mandiri. Ia mendalami kawasan Ake jira dan Ake Sangadji. Dua wilayah itu, katanya banyak dilakukan riset-riset secara mandiri. Disitu juga, Ia mengatakan menemukan berbagai hal.
Dari sisi penempatan batas-batas hutan, klasifikasi hutan bagi mereka itu hutan adalah rumah. Dijelaskan, dalam alam berpikir mereka, hutan adalah rumah.
Dijelaskan kerangka rumah yang maksud itu tidak sama dengan rumah yang ada dalam pemahaman mereka. O Hongana Manyawa memelihara hutan sama dengan memelihara rumah, karena hutan itulah yang menjadi sumber kehidupan mereka.
“Mereka disitu meramu, mereka di situ berburu, disitu mewariskan keturunan, sehingga hutan itu adalah rumah,” katanya.
Dalam klasifikasi hutan menurut ada dalam komunitas itu baik dalam komunitas Halmahera Timur, baik komunitas Halmahera Utara, maupun komunitas Halmahera Tengah itu sama. Dijelaskan ada tiga bentuk klasifikasi hutan yang mirip dikembangkan Negara. Misalnya hutan Lindung, mereka itu ada hutan lindung, ada juga disebut dengan hutan Industri.
Jadi menurutnya, di dalam klasifikasi orang tobelo dalam terbagi atas tiga bagian yakni Fongana, Hongana, Raima Hamoko.
“Jadi Fongana itu disitu tempat leluhur mereka. Kalau Hongana disitu tempat tinggal mereka dan tempat mereka meramu, berburu, dan lain-lain. Jadi kalau Fongana adalah hutan lindung. Hongana itu yang disebut dengan hutan kehidupan mewarisi kehidupan turun temurun di sekitar situ. Dan Raima Hamoko sama dengan hutan Industri disitu sumber kehidupan. Dan itu sama dengan Negara membagi hutan ada hutan lindung, hutan industri, hutan konservasi,” ungkapnya.
Suku Tobelo Dalam atau biasa dikenal dengan O Hongana Manyawa, dan sebagian masih di sebut orang Togutil. Komunitas ini masih mendiami hutan Halmahera yang kian terancam. Mereka mendaptkan stigma buruk dan terancam atas kehadiran tambang-tambang perusahaan. Steroitip sering muncul pada mereka seperti orang jahat, pembunuh, dan banyak cap buruk.
Kata Hongana Manyawa, menurut Syaiful, dilakukan saat Dia melakukan pendampingan maupun riset mandiri yaitu. Karena istilah Hongana Manyawa itulah yang sering Ia pakai. Cristofer Danken, rekannya yang juga meneliti bersamanya memakai istilah “Forest Tobelo”.
“Saya juga pernah riset-riset dengan Christofer Danken. Beberapa kali saya riset di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah bersama dia. Dia menggunakan istilah Forest Tobelo. Tapi kalau saya menggunakan O Hongana Manyawa. Jadi lebih dekat. Jadi membedakan mana orang pantai, mana orang hutan. Makanya saya bilang O Hongana Manyawa. Kalau orang pantai O Bereira Manyawa. Itulah bagian tak lepas dari mereka,” ujarnya.
Seperti orang Sawai kehilangan identitas, dosen Sosiologi ini berharap orang Togutil tidak kehilangan identitas.
“Jangan-jangan sampai itu terjadi. Tapi saya pikir orang sawai tidak kehilangan identitas, tapi perlu ditelusuri lebih mendalam karena bagian dari corak kehidupan salah satunya adalah identitas”
Istilahnya yang digunakan Syaiful adalah satuan hutan. Ia menjelaskan dari segi pembagiannya, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah ada 21 satuan hutan. 6 berada di Halmahera Tengah, 1 ada di Kota Tidore, karena Oba masuk kota Tidore, Tayawi.
“Tayawi itu eksodus dari Ake jira. Ada juga dari tanjung lili yang ke Tayawi”
Lanjutnya, 14 satuan lainnya ada di Halmahera Timur. Mulai dari Makahar, Marasikno, Pumlanga, Ruma Tuju, Dodaga, ada 14 satuan hutan di Halmahera Timur.
“Kalau di Halmahera Utara ada 4 satuan hutan. Jadi secara keseluruhan di Halmahera itu ada 25 satuan hutan. Kalau komunitas itu hanya 3 komunitas. Tersebar di 25 satuan hutan di Halmahera,” jelasnya.
Saat ini, menurutnya, meski kooporasi masuk di Halmahera Tengah, namun komunitas O Hongana Manyawa masih mendiami beberapa lokasi di hutan. Dia contohkan komunitas Bokum sampai saat ini masih menempati hutan Ake Jira dan Kao Rahai (sangat indah). Ada Diha di Ake Sangadji. Masih banyak komunitas di hutan mereka. Di belakang Dote ia bilang, masih ada komunitas O Hongana Manayawa.
“Kita tidak bisa pungkiri mereka masih ada. Jangan menutup mata, tidak bisa menutup mata,” ucapnya.
Untuk Investor, Syaiful berharap saat melakukan operasi produksi harus memperhatikan keberadaan mereka.
Kalau mengatakan tanah itu adalah tanah Negara, Syaiful mempertanyakan penempatan komunitas itu berada di mana. “Apakah bukan warga Negara kita. Itu warga Negara kita yang tidak dihitung oleh Negara,” pungkasnya.
Dengan masuknya investasi berskala besar ini, Ia mengatakan sudah pasti mengancam ruang hidup komunitas mereka di hutan. Masuknya Investor untuk melakukan operasi produksi tanpa mempertimbangkan kearifan lokal mereka, terbukti banyak perusahaan di hutan mereka.
Ini sebenarnya, katanya, benturan antara kepentingan Negara dengan masyarakat sipil salah satunya komunitas ini.
“Investor yang masuk tanpa melalui daerah, namun melalui pemerintah pusat contoh kasus seperti perusahaan besar seperti IWIP, Tekindo dan lain-lain mungkin saja izinya tidak melalui daerah, mereka lewat pusat. WBN itu dari pusat, kontrak karyanya jelas. Tapi apa yang didapatkan oleh komunitasnya yang ada di hutan”
“Saya anggap tidak ada manfaat, malah merusak kearifan lokal mereka” (TS-01),
Discussion about this post