Mataloko, Nusa Tenggara Timur
“Kita melawan ekstraktivisme karena kita tahu tambang dan proyek ekstraktif lainnya hanya bentuk lain dari penjajahan yang menyaru dalam nama pembangunan. Kita merawat hidup karena tanah, air, hutan, dan udara adalah bagian dari tubuh kita. Karena tak ada artinya pembangunan jika kehidupan rakyat dilenyapkan,” ujar Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dalam pembukaan Hari Anti-Tambang (HATAM) 2025 di Rumah Retret Kemah Tabor, Mataloko, Ngada, Nusa Tenggara Timur, Senin, 26 Mei 2025.
Peringatan HATAM tahun ini digelar di jantung Pulau Flores—salah satu wilayah yang menghadapi langsung ancaman ekspansi proyek-proyek ekstraktif berkedok energi bersih. Diikuti oleh ratusan warga terdampak, aktivis lingkungan, rohaniwan, dan organisasi masyarakat sipil dari seluruh Indonesia, forum ini menjadi ruang konsolidasi gerakan rakyat melawan ekstraktivisme dan ketidakadilan ekologis.
Menurut Melky, sistem ekonomi-politik yang mendewakan pertumbuhan telah menjadikan ekstraktivisme bukan hanya sebagai praktik eksploitasi sumber daya, tetapi juga ideologi negara. “Narasi pembangunan hijau yang digaungkan pemerintah hanyalah kedok untuk melanggengkan perampasan ruang hidup,” katanya.
Smelter, tambang nikel, PLTP geothermal, hingga proyek transisi energi kerap dipromosikan sebagai simbol kemajuan. Namun di balik itu, komunitas lokal menghadapi kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi saat mencoba mempertahankan tanah dan air mereka. “Klaim keberlanjutan itu palsu. Ini hanyalah wajah lain dari kolonialisme modern,” tegas Melky.

Kemenangan Rakyat yang Dikhianati
Di berbagai daerah seperti Sangihe dan Wawonii, rakyat berhasil memenangkan gugatan hukum atas proyek tambang. Namun, perusahaan tetap beroperasi, dijaga oleh aparat. “Negara tidak hanya abai, tetapi justru melindungi kepentingan modal dan mengabaikan hukum,” kata Melky.
Sementara di Kalimantan dan Papua, lubang tambang terus menganga, nyawa melayang, dan ruang hidup masyarakat adat menyusut drastis. “Sulawesi dan Maluku Utara menjadi kuburan ekologis akibat tambang nikel yang katanya untuk kendaraan listrik,” tambahnya.
Kriminalisasi Rakyat Penjaga Hutan
HATAM 2025 juga menjadi sorotan atas kriminalisasi brutal terhadap masyarakat adat yang menjaga hutan dan air. Di Halmahera Timur, masyarakat Maba Sangaji ditangkap dan distigmatisasi sebagai “preman” hanya karena menolak tambang nikel. Nasib serupa menimpa warga Poco Leok, Manggarai, yang melawan pengeboran PLTP di wilayah adat mereka.
“Negara telah mengkhianati para penjaga warisan leluhur yang menjaga keseimbangan ekologi jauh sebelum negara hadir,” tegas Melky.

Kemunduran dan Luka dari Proyek Energi Palsu
Pemilihan Flores sebagai tuan rumah bukan tanpa alasan. Pulau ini ditetapkan pemerintah sebagai ‘Pulau Panas Bumi’. Namun, warga merasakan dampaknya dalam bentuk udara tercemar dan air rusak. PLTP Mataloko yang mangkrak hingga kini menyisakan lumpur panas beracun yang mengancam pertanian dan keselamatan warga.
“Tanah ini dahulu subur. Kini kami hidup di atas luka yang tak kunjung sembuh,” ujar salah satu warga Mataloko.
Dukungan terhadap perjuangan warga tak hanya datang dari aktivis, tetapi juga dari para pemuka agama. Pater Charles Beraf SVD dari Keuskupan Agung Ende menegaskan, Bumi adalah rumah bersama, bukan sekadar sumber daya tetapi ruang hidup dan tempat suci.
“Kepada pemerintah, dengarkan suara tanah ini! Membangun masa depan tidak bisa dengan menghancurkan masa lalu. Energi bersih tidak bisa dilahirkan dari energi kotor ketamakan yang menghancurkan.”

Jejak Historis dan Seruan Kolektif
Hari Anti-Tambang bermula dari bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo pada 2006—luka ekologis yang membangunkan kesadaran kolektif bahwa industri ekstraktif menimbulkan kehancuran tak hanya bagi lingkungan, tetapi juga kehidupan sosial. Sejak ditetapkan secara nasional pada 2011, HATAM menjadi ruang perlawanan dan solidaritas.
Penyintas Lapindo, Harwati, yang turut hadir, menyampaikan turut berkomentar dalam kegiatan ini. Menurutnya adat dan buadaya adalah kunci perjuangan. “Adat dan budaya adalah kunci untuk mempertahankan ruang hidup, menguatkan perjuangan kita mempertahankan tanah leluhur.”

HATAM 2025: Dari Konsolidasi Hingga Aksi
Dalam kegiatan ini, berbagai agenda akan dilaksanakan dalam HATAM 2025 seperti: seminar publik, workshop, konsolidasi pulau, toxic tour, panggung seni, dan aksi massa. Semua dirancang sebagai strategi membangun solidaritas lintas sektor dan memperkuat politik pengetahuan rakyat.
“HATAM bukan sekadar seremoni, tapi panggilan perlawanan. Kita harus menyatukan kekuatan, dari kampung ke kampung, dari pulau ke pulau,” tutup Melky.
