Gugatan Rp200 Miliar dan Serangan Digital ASN: Dua Ancaman Baru terhadap Kebebasan Pers

31/10/2025
Keterangan: Sisi gelap kebebasan pers di Indonesia saat mereka berkuasan,Foto: Ist

Jakarta, — Dalam dua pekan terakhir, kebebasan pers Indonesia kembali diuji lewat dua peristiwa yang mengguncang fondasi demokrasi: gugatan perdata Rp200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap Tempo Inti Media Tbk, dan beredarnya surat instruksi internal Kementerian Pertanian yang memerintahkan aparatur sipil negara (ASN) melakukan serangan digital terhadap konten jurnalistik Tempo di YouTube.

Kedua peristiwa itu bukan sekadar reaksi spontan terhadap kritik, tetapi, menurut banyak pihak, merupakan tanda menguatnya pola pembungkaman media oleh kekuasaan baik melalui jalur hukum maupun digital.

 

Dari Gugatan Fantastis ke “Serangan Siber Terorganisir”

Sengketa bermula dari poster dan artikel Tempo edisi 16 Mei 2025 berjudul “Poles-poles Beras Busuk”, yang menyoroti capaian serapan gabah oleh Bulog dan potensi persoalan kualitas beras di lapangan. Berita itu telah diuji oleh Dewan Pers, yang kemudian mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) agar Tempo memperbaiki judulnya  langkah yang telah dipatuhi oleh redaksi.

Keterangan foto:  Ilustrasi

Namun, alih-alih menyelesaikan perkara melalui mekanisme etik jurnalistik, Amran Sulaiman memilih menggugat Tempo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuntutan fantastis Rp200 miliar. Gugatan ini disebut sebagai bentuk kriminalisasi terselubung terhadap media.

Ketegangan meningkat setelah muncul surat instruksi internal Kementerian Pertanian, yang memerintahkan ASN untuk memberikan tanda dislike, melaporkan video Tempo di YouTube sebagai misinformasi dan hate speech, serta membanjiri kolom komentar dengan narasi keberhasilan kementerian.

Langkah tersebut disebut sebagai upaya sistematis negara menggunakan birokrasi untuk melindungi citra pejabat publik, sekaligus menekan media independen.

Keterangan gambar: Pemberitaan berujung proses hukum, tekanan negara ke pers terus dilakukan. Foto: tempo.co

Konsorsium Jurnalisme Aman: “Ini Bukan Sekadar Sengketa, Ini Tekanan Negara”

Konsorsium Jurnalisme Aman (JA) —gabungan Yayasan Tifa, PPMN, dan Human Rights Working Group (HRWG)—menilai gugatan besar dan instruksi digital itu sebagai dua bentuk represi yang saling melengkapi: ekonomi dan politik.

“Ketika gugatan bernilai fantastis disertai instruksi ASN untuk menyerang produk jurnalistik, itu bukan lagi sengketa biasa, melainkan tekanan negara yang terencana,” ujar Fransiska Ria Susati, Direktur Eksekutif PPMN. “Gugatan Rp200 miliar adalah upaya pemiskinan media, sementara instruksi ASN merupakan pembungkaman digital.”

Direktur Yayasan Tifa, Oslan Purba, menyebut langkah Menteri Pertanian melanggar semangat Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, karena Tempo telah menjalankan rekomendasi Dewan Pers.

“Tempo adalah sedikit dari media yang masih berani bersuara. Menyerangnya lewat hukum dan menggerakkan ASN untuk menyerang digital adalah praktik berbahaya bagi demokrasi,” kata Oslan.

Sementara Daniel Awigra, Direktur Eksekutif HRWG, menilai bahwa pengerahan ASN untuk menyerang produk jurnalistik adalah pelanggaran serius terhadap prinsip netralitas birokrasi.

“Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi penyalahgunaan wewenang dan sumber daya negara. ASN dijadikan alat propaganda untuk membungkam kritik,” tegas Daniel.

Keterangan gambar: Artikel poles-poles beras busuk milik Tempo berujung pada gugatan. Foto: Ist

Seruan Publik dan Tuntutan untuk Pemerintah

Konsorsium Jurnalisme Aman menyerukan agar pemerintah dan publik tidak membiarkan pola ini menjadi ‘normal baru’ dalam relasi antara negara dan pers. Mereka menuntut empat langkah konkret:

1. Mencabut gugatan Rp200 miliar terhadap Tempo dan menghentikan semua bentuk tekanan hukum terhadap media;
2. Menarik kembali surat instruksi internal Kementan yang mengorganisir ASN untuk melakukan serangan digital;
3. Menegakkan netralitas ASN dan prinsip kebebasan berekspresi;
4. Menjamin jurnalisme bekerja tanpa ancaman hukum, politik, atau digital.

“Kebebasan pers bukan hanya hak media, tapi hak publik untuk tahu,” tegas Fransiska. “Jika media dibungkam lewat gugatan dan serangan politik, maka yang dirampas bukan hanya suara Tempo, tetapi juga hak publik atas kebenaran.”

error: Content is protected !!