titasrory, Aru – Penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami Mirna, salah seorang pekerja PT Pulau Timur, Kabupaten Kepulauan Aru, hingga kini belum menemui titik terang. Pasalnya proses perundingan tripartit bersama Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans).
Serikat Pekerja Persaudaraan Pekerjaan Kepulauan Aru (SPPPKA-17) selaku pendamping korban PHK menilai, penundaan ini menunjukkan ketidakjelasan posisi Disnakertrans terhadap persoalan tersebut.
“Sudah dua kali kami sediakan waktu untuk menghadiri perundingan tetapi masih ditunda. Pembatalan perundingan juga tidak pernah disampaikan kepada kami. Sebenarnya posisi Disnakertrans ini masih tetap melindungi pekerja atau tidak,” kata Jonias Galanggoga Ketua SPPPKA-17, pada Ahad (16/3/2025).
Jonias mengatakan, Disnakertrans merupakan pihak yang dapat menaungi dan melindungi hak-hak pekerja ketika mengalami ketidakadilan.

Pemerintah seharusnya nenjadi mediator agar bisa menyelesaikan masalah supaya tidak berlanjut ke proses pengadilan hubungan industrial (PHI), bukan malah menunda proses perundingan.
“Apabila pihak pemerintah terlalu sering berkomunikasi dengan pihak perusahaan, dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap netralitasnya,” tutur Jonias.
Menurut Jonias, perundingan yang dilakukan berkaitan dengan perhitungan hak yang harus diberikan pihak perusahaan kepada pekerja yang mengalami PHK sesuai Undang-Undang.
“Tetapi ketika Disnakertrans tidak netral, pasti akan berpengaruh pada tetap berharap perhitungan yang akan dikeluarkan, bisa jadi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saja,” tegas Jonias.
Dia berharap, Disnakertrans bersikap tegas untuk mengawal serta melindungi hak-hak pekerja di perusahaan. Selain itu, pihak Disnakertrans diminta untuk memberi teguran tegas ketika ada pelanggaran yang dilakukan secara berulang.
“Karena belum ada kejelasan penyelesaian perselisihan, pihak berencana mengadukan persoalan yang dialami anggotanya kepada pihak DPRD,” ungkapnya.
Boy Darakay, Kepala Bidang Perselisihan Perindustrian, Disnakertrans Kepulauan Aru, mengatakan, penundaan tripartit dikarenakan perhitungan kompensasi belum rampung.
“Memang benar tripartit yang akan dilakukan selanjutnya berkaitan dengan kompensasi yang harus diberikan kepada tenaga kerja yang di PHK,” ujar Boy.
Boy menjelaskan, pada perundingan sebelumnya pihak perusahaan beralasan melakukan PHK lantaran mengalami devisit. Akibatnya, ada empat karyawan lainnya juga diberhentikan.
“Pembayaran sekitar Rp. 11,5 juta kalau menghitung masa kerja dari 2018 hingga 2024 dengan dasar gaji Rp. 4 juta berarti tidak masuk akal. Sedapat mungkin tenaga kerja jangan di PHK. Tetapi kalau sudah di PHK berarti wajib hukumnya untuk hak-haknya dipenuhi oleh pihak yang melakukan PHK,” ungkapnya.
Penulis: Johan Djamanmona Editor: Khairiyah