Diskusi: ‘Pilkada dan Lingkungan di Halmahera Tengah’ Bahas Nasib Sagea

by
03/10/2024

titastroty.id, ternate – Koalisi Selamatkan Kampung Sagea Maluku Utara menggelar nonton bareng dan diskusi untuk membahas dampak tambang nikel terhadap masyarakat dan lingkungan di Sagea, Halmahera Tengah.

Acara yang bertajuk ‘Pilkada dan Lingkungan di Halmahera Tengah: Bagaimana dengan Sagea?’ ini dihadiri oleh aktivis, akademisi, dan media, dengan pemantik diskusi Julfikar Sangaji dari Jatam Malut, Fitria Salim dari Hipma Sagea, dan Herman Oesman seorang akademisi.

Diskusi diawali dengan penayangan film ‘Dirty Nickel’ yang menggambarkan kondisi lingkungan akibat eksploitasi tambang.

Julfikar Sangaji menekankan, industri tambang tidak hanya menyebabkan krisis lingkungan, tetapi juga memperburuk kondisi sosial masyarakat.

Dari 62 izin usaha pertambangan (IUP) yang ada, mayoritas fokus pada nikel, sehingga meninggalkan dampak negatif bagi warga lokal.

“Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sering kali hanya menguntungkan segelintir orang,” katanya, Minggu, (30/9/2024).

Ia juga mengkritik politisi yang terlibat dalam praktik ijon politik, di mana dukungan dari korporasi tambang sering kali menjadi kunci untuk kemenangan dalam pemilu, dan bukan untuk kepentingan masyarakat.

“Para calon kandidat akan selalu mencari sponsor yang berhubungan dengan korporasi atau pengusaha tambang untuk membiayai jalannya politik,” katanya.

Ia menguraikan, dimasa Mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, telah mengobral 53 izin pertambangan dengan luas 387.09,48 hektare.
Dimana, sebanyak 36 izin terbit pada 2018, yang juga bersamaan dengan di gelarnya Pilkada.

“Dari seluruh industri ekstraktif dari minerba, ada 62 IUP berbasis nickel, sisahnya emas, biji, pasir besi, dan geotermal,” jelasnya.

Fitria Salim perwakilan IPMA Sagea mengungkapkan, kehidupan masyarakat di Sagea dan Kiya mengalami perubahan signifikan dengan hadirnya tambang.

Sebelumnya, kata dia, mayoritas penduduk bergantung pada pertanian dan perikanan, tetapi kini banyak yang beralih menjadi buruh tambang. Ini berdampak pada hilangnya sumber pendapatan tradisional, seperti hasil kebun, yang dulunya mendukung pendidikan anak-anak.

Menurut dia, masyarakat Sagea sangat tergantung pada Sungai Sagea untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk air minum. Kepercayaan lokal menyebutkan bahwa banjir di bulan Agustus memiliki makna ritual untuk membersihkan sungai.

“Namun, saat ini, keruhnya air sungai akibat aktivitas pertambangan membuat masyarakat kesulitan, terutama bagi mereka yang bergantung pada air bersih untuk membuat sagu,” ujarnya.

Kegiatan mencari ikan dan kerang di Danau Legaleyol, yang sebelumnya menjadi alternatif, kini terancam akibat pencemaran. Upaya program BUMDes untuk menjadikan air sungai sebagai sumber air minum pun terhenti karena kualitas air yang buruk.

Dampak pencemaran ini tidak hanya dirasakan oleh petani, tetapi juga oleh perempuan yang memiliki kedekatan dengan alam.

“Banyak perempuan melakukan aksi protes karena sungai yang keruh mengancam mata pencaharian mereka. Secara keseluruhan, kehadiran tambang telah menyebabkan krisis lingkungan dan sosial yang signifikan bagi masyarakat Sagea dan Kiya,” pungkasnya. (TS-10)

error: Content is protected !!