Dinilai Provokatif dan Libatkan Anak Dibawah Umur, Warga Net Kecam Aksi Penolakan Pembangunan Rumah Warga Masihulan

01/06/2025
Cuplikan foto sejumlah ana-anak Desa Sawai sedang pawai menolak pembangunan rumah warga Desa Masihulan viral di media sosial. Foto ini diunggah pada laman Facebook "Gerbang Malteng". Sumber: qkun Facebook @IwanAlvaroDaSilva.

titastory, Masohi — Foto pawai anak-anak membawa spanduk bertuliskan penolakan terhadap pembangunan rumah warga Masihulan yang beredar di media sosial, menuai kecaman luas dari masyarakat dunia maya. Unggahan yang menampilkan bocah-bocah ikut dalam aksi itu dianggap sebagai tindakan provokatif dan eksploitasi terhadap anak di bawah umur.

Unggahan tersebut pertama kali muncul di grup Facebook Gerbang Malteng oleh akun bernama @Iwan Alvaro Da Silva. Ia mempertanyakan motif penolakan pembangunan rumah warga Masihulan pasca-konflik yang melibatkan Negeri Sawai dan Rumaolat, serta menyinggung keterlibatan tokoh-tokoh daerah.

“Pembangunan rumah warga pasca konflik bisa-bisanya ada aksi penolakan? Apa motifnya? Serius nanya,” tulis Iwan, sembari menandai sejumlah pejabat seperti Abdullah Vanath, Hendrik Lewerissa, hingga anggota DPR-RI dan DPRD Maluku Tengah.

Ia juga menyoroti akses transportasi yang masih terputus. “Sudah tiga bulan pasca-konflik, akses darat belum juga dibuka, dan warga Sawai masih harus lewat jalur laut. Kenapa konflik ini belum juga selesai?”

Cuplikan foto sejumlah ana-anak Desa Sawai sedang pawai menolak pembangunan rumah warga Desa Masihulan viral di media sosial. Foto ini diunggah pada laman Facebook “Gerbang Malteng”. Sumber: akun Facebook @AnggotaAnonim

 

Respons dan Kecaman Warganet

Unggahan ini memicu puluhan komentar dari warganet yang mengecam aksi yang melibatkan anak-anak sebagai peserta pawai.

Akun @Anthony menulis, “Kenapa aparat biarkan hal-hal seperti ini terjadi? Anak-anak harus diangkat untuk dimintai keterangan. Mereka masih polos, ko bisa dilibatkan begini?”

Sementara akun @AtengTenggo dengan nada keras mengatakan, “Provokator. Pemerintah tidak mungkin dengar aksi penolakan abal-abal begini. Sudah jelas itu tanah bukan milik mereka.”

Akun lain, @SemyBirahyPattiasina menulis, “Pemerintah provinsi dan kabupaten harus buka mata. Masyarakat sudah jenuh!”

Sejumlah akun juga mempertanyakan sikap aparat keamanan yang dinilai membiarkan tindakan provokatif tersebut.

“Aparat jangan diam. Ini bentuk provokasi dan bisa menimbulkan konflik baru,” tulis akun @Danyel Patalatu.

“Jangan bikin Maluku terpecah belah,hidup rukun lebih nyaman,jangan pikir,aku menang atau kalah ,,, !!!tolong para dalang,pikirkan anak cucu kita nanti,,,!!!,” Tulis akun @Zainal Arifin.

Unggahan ini memicu diskusi hangat di kolom komentar, dengan banyak warganet yang mengecam tindakan tersebut. Akun @Ate Loupika berkomentar:

“INI AKIBAT DARI APARAT LEMAH TIDAK ADA TINDAKAN TEGAS DARI APARAT. TERUS YANG MENOLAK PERLU DI PROSES KARENA TANAH ITU BUKAN MILIK MEREKA YANG MENOLAK TETAPI BOLE DIKATAKAN PROVOKATOR.”

Sementara itu, akun @AtengTenggo menambahkan:

“Tanda tangan cuma barapa ekor itu saja mo, mangkali yg tanda tangan org sawai samua, woe provokator ee, masih ada org sawai yg zg mampu kamong provokasi dan jumlah dong lebe banyak, jadi jang kamong menghayal par tolok pembangunan rumah org masihulan.”

Beberapa komentar lain juga menyoroti keterlibatan anak-anak dalam aksi tersebut.

Akun @Anthony menulis: “Kenapa aparat biarkan hal2 ini terjadi tolong segera di tangkap dan di proses anak2 ini harus di angkat spy bisa mendapat info krn anak2 masih polos ko bisa di libatkan.”

Namun, beberapa akun lain yang diduga berasal dari Negeri Sawai membela aksi tersebut, menyebutkan bahwa itu bagian dari ekspresi keberatan masyarakat yang belum dilibatkan dalam proses rekonsiliasi dan pembangunan pasca-konflik.

Cuplikan foto spanduk penolakan pembangunan rumah warga Desa Masihulan viral di media sosial. Foto ini diunggah pada laman Facebook “Gerbang Malteng”. Sumber: qkun Facebook @IwanAlvaroDaSilva.

Keterlibatan Anak dan Ancaman Hukum

Pawai yang melibatkan anak-anak menjadi perhatian serius. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan Anak, Pasal 15 menyebutkan bahwa anak berhak untuk dilindungi dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, kekerasan, dan keterlibatan dalam peristiwa yang bersifat provokatif.

Selain itu, tindakan menyebarkan ujaran kebencian, baik secara langsung maupun melalui media sosial, diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016, yang mengatur larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Pelanggaran atas pasal ini dapat dikenakan hukuman pidana hingga 6 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.

Penggunaan anak dalam aksi provokatif ini dapat dikategorikan sebagai eksploitasi anak untuk kepentingan politik atau konflik sosial, yang secara hukum merupakan pelanggaran pidana.

Tangkapan layar warga net yang viral di media sosial setelah Foto penolakan pembangunan rumah warga Masihulan diunggah pada laman Facebook “Gerbang Malteng”. Sumber: qkun Facebook @IwanAlvaroDaSilva.

Aspek Hukum: Perlindungan Anak dan Ujaran Kebencian

Tindakan melibatkan anak-anak dalam aksi politik atau provokatif dapat melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 15 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan.

Selain itu, penyebaran informasi yang mengandung unsur provokasi atau ujaran kebencian di media sosial dapat dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebutkan bahwa:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Seruan Masyarakat dan Dorongan Evaluasi

Warganet meminta aparat kepolisian dan pemerintah daerah untuk tidak membiarkan tindakan-tindakan provokatif seperti ini berkembang. Mereka juga mendesak adanya pendekatan hukum yang adil bagi semua pihak yang terlibat dan perlindungan khusus bagi anak-anak agar tidak terseret dalam konflik berkepanjangan.

“Kalo seng mau.. berperkara (gugat) ke pengadilan sana..bikin hal” bodoh. Tanamkan kebencian antar generasi,” Tulis akun @Ajaha Lestaluhu.

Sejumlah tokoh masyarakat pun menyerukan agar pemerintah segera mempercepat rekonsiliasi dan membuka akses komunikasi lintas desa untuk memulihkan hubungan sosial pasca-konflik.

“Jangan hanya mengejar pembangunan fisik, tapi abaikan rekonsiliasi sosial dan perlindungan anak. Damai harus dibangun dari kepercayaan dan keadilan,” ujar seorang aktivis perdamaian yang enggan disebut namanya.

Warganet mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam aksi tersebut.

“Waah ini kenapa di biarkan bukannya ada aparat disitu kok di biarkan tindakan provokatif macam bagini dan justru dong pake anak2 kacil lagi par biking bagini???” Tulis Akun @Danyel Patalatu di kolom komentarnya.

error: Content is protected !!