Diaspora Maluku, Papua, dan Aceh Geruduk Gedung Parlemen Eropa di Brussels: Demo Protes Perjanjian Kemitraan Ekonomi Indonesia–Uni Eropa

03/06/2025
Sejumlah Pamflet, spanduk dan Bendera dari tiga Organisasi Diaspora Maluku, Aceh dan Papua dibentangkan di depan gedung Parlemen Eropa, Luxembourgplein, Brussels, Senin, 2 Juni 2025. Para demonstran melakukan aksi unjuk rasa menolak Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa. Foto: Istimewa

titastory, Brussels – Puluhan warga diaspora Maluku, Papua, dan Aceh di Eropa menggelar aksi unjuk rasa menolak Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa di depan gedung Parlemen Eropa, Luxembourgplein, Brussels, Senin, 2 Juni 2025.

Aksi protes tersebut diketahui setelah sejumlah video dan foto ini diunggah ke media sosial, baik facebook, Instagram, dan Tik-Tok.

Aksi yang dilakukan oleh para Diaspora ini, karena mereka menilai perjanjian CEPA yang kini telah rampung 85 persen hanya akan melegitimasi penindasan, perampasan sumber daya alam, dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang selama ini menghadapi konflik struktural seperti Maluku, Papua, dan Aceh.

“Aksi ini adalah bentuk solidaritas kami terhadap masyarakat adat yang selama ini ditindas. CEPA bukan hanya perjanjian dagang, ini bentuk penguatan kontrol atas tanah, air, dan kekayaan alam kami,” kata Jeffrey Pattiwael, warga keturunan Maluku yang datang dari Den Haag bersama dua rekannya, Michael Ohello dan Joshua Makatita.

Puluhan warga diaspora Maluku, Papua, dan Aceh di Eropa menggelar aksi unjuk rasa menolak Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa di depan gedung Parlemen Eropa, Luxembourgplein, Brussels, Senin, 2 Juni 2025. Foto: Istimewa

Mereka membawa spanduk bertuliskan “Potong di Kuku, Rasa di Daging”, “Stop Genosida”, dan “Free West Papua, Free West Atjeh, Free West Maluku.” Sejumlah pamflet dalam bahasa Prancis dan Inggris juga dibagikan kepada pejalan kaki dan wisatawan untuk menjelaskan maksud aksi mereka.

Kekhawatiran atas Ekspansi Investasi

Perundingan CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa telah berlangsung sejak 2016. Isu utama dalam perjanjian ini menyangkut liberalisasi pasar dan investasi di sektor energi serta bahan baku mentah. Hal itu dinilai kelompok masyarakat sipil—baik di Indonesia maupun Eropa—sebagai ancaman terhadap lingkungan hidup dan hak-hak komunitas lokal.

“Perjanjian ini hanya akan memperkuat praktik perampasan tanah dan eksploitasi sumber daya di wilayah yang selama ini termarjinalkan,” ujar Joshua Makatita.

Potret Sungai dan Deforestasi akibat pertambangan Nikel di Halmahera. Foto: titastory

Aksi ini juga menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak konkret investasi ekstraktif seperti pertambangan nikel, batu bara, dan tembaga di Halmahera, Buru, Aru, dan Papua. Para demonstran menyebut praktik ini telah menyebabkan pencemaran laut, rusaknya sumber mata pencaharian nelayan dan petani lokal, serta mendorong pengungsian warga sipil akibat konflik bersenjata.

Potret Permukiman warga Pulau Obi yang terjepung tambang nikel. Terlihat posisi operasi tambang yang berada di dataran yang lebih tinggi. Foto: Tangkapan layar video dokumenter Air Beracun, Mobil Canggih: Rahasia Harita di Maluku Utara, di Channel YouTube @The Gecko Project.

Seruan Hentikan Negosiasi

“Uni Eropa tidak bisa bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia atas penderitaan rakyat yang ditindas. Tidak ada keadilan dalam CEPA selama ada kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” kata Michael Ohello.

Dalam orasinya, mereka menyebutkan bahwa perempuan di wilayah pertambangan kerap menjadi korban ganda, baik secara sosial maupun ekonomi. Ada yang terpaksa menjadi buruh tambang dengan upah murah, bekerja informal, hingga terjerumus dalam praktik eksploitasi seksual.

Kelompok diaspora juga menyerukan agar Parlemen Belanda ikut mendesak Uni Eropa menghentikan proses ratifikasi CEPA, karena dianggap melegitimasi kekerasan, deforestasi, dan perampasan ruang hidup rakyat.

Potret Kerusakan hutan di Papua. Foto: Ist

Kontroversi CEPA dan Konteks Global

CEPA dipandang sebagai upaya membuka akses pasar bagi perusahaan-perusahaan Eropa terhadap cadangan mineral strategis Indonesia. Negara ini adalah produsen utama nikel dunia, yang menjadi komoditas penting dalam rantai pasok energi terbarukan dan baterai kendaraan listrik. Namun, menurut para aktivis, pendekatan ekstraktif yang tidak berkeadilan justru memicu krisis sosial-ekologis baru.

Potret aktivitas tambang di Pulau Kawei yang berbatasan dengan areal konservasi. Foto: Melanesia Video Maker/Steven Saroi

Di Raja Ampat, Papua Barat, ekspansi pertambangan disebut mengancam kawasan dengan biodiversitas terumbu karang tertinggi di dunia. Di wilayah konflik seperti Papua, dampak lingkungan tak bisa dilepaskan dari eskalasi militerisasi yang telah menyebabkan lebih dari 80 ribu warga mengungsi sejak 2018.

“Sebelum bicara transisi energi hijau, dunia harus memastikan tidak ada darah, air mata, dan perampasan di balik mineralnya,” ucap seorang demonstran yang enggan disebutkan namanya.

Penulis: Redaksi
error: Content is protected !!