Dana Norwegia Coret Eramet: Peringatan Global atas Genosida O Hongana Manyawa dan Kerusakan Hutan Pulau Halmahera

26/09/2025
Keterangan : Deforestasi akibat usaha pertambangan, Foto : Ist
  • Dana Pensiun Pemerintah Norwegia Global (GPFG), dana kekayaan berdaulat terbesar di dunia, resmi mengecualikan investasi di perusahaan tambang Prancis, Eramet SA. Alasannya: risiko serius kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat O Hongana Manyawa di Halmahera.

  • Survival International menyebut Eramet kini “sama beracunnya dengan tambangnya”. Mereka dendesak semua investor global ikut divestasi kecuali ada zona larangan bagi O Hongana Manyawa.

  • Eramet membantah ada kelompok adat terisolasi di dekat konsesi. Namun, studi tahun 2010 dan survei terbaru menunjukkan O Hongana Manyawa ada di dalam/sekitar konsesi.

  • Novenia Ambeua, perempuan adat Tobelo, menyatakan syukur atas langkah Norwegia. Menurutnya, masyarakat adat Halmahera sudah lama terusir akibat tambang nikel.

  • Pemerintah melalui Satgas Minerba menyita 148 hektar lahan konsesi WBN karena pelanggaran izin kehutanan.

 

titastory, Jakarta – Dana Pensiun Pemerintah Norwegia Global (GPFG), salah satu dana kekayaan negara terbesar di dunia, resmi mencoret investasi di perusahaan tambang asal Prancis, Eramet SA. Keputusan ini diambil setelah Dewan Etika GPFG menilai ada “risiko yang tidak dapat diterima” bahwa Eramet melalui joint venture-nya, PT Weda Bay Nickel (WBN), berkontribusi terhadap kerusakan hutan hujan Halmahera dan pelanggaran serius hak asasi manusia masyarakat adat O Hongana Manyawa.

Dalam rekomendasinya, Dewan Etika menekankan bahwa operasi tambang WBN menyebabkan deforestasi skala besar di kawasan hutan hujan utuh yang masuk dalam hotspot keanekaragaman hayati global. Survei yang dilakukan WBN sendiri menunjukkan konsesi tambang mereka berada di habitat kritis bagi banyak spesies endemik Halmahera.

Keterangan :  Peta yang menunjukkan wilayah suku O’Hongana Manyawa yang belum terjamah (ditandai dengan warna abu-abu) dan area konsesi di mana penambangan diizinkan. Area konsesi Eramet ditandai dengan warna merah. Untuk keamanan masyarakat adat yang bersangkutan, peta ini sengaja dibuat secara kasar. Sumber: Survival International, Foto : Ist

 

Kerusakan hutan ini juga secara langsung mengancam keberlangsungan hidup O Hongana Manyawa, salah satu komunitas adat paling rentan di Indonesia. Kelompok yang memilih hidup terisolasi ini bergantung sepenuhnya pada hutan untuk pangan, budaya, dan identitas. Kontak dengan dunia luar bisa berakibat fatal karena mereka tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit umum.

“Deforestasi dan fragmentasi lahan akibat pertambangan akan mengurangi wilayah hidup O Hongana Manyawa, meningkatkan risiko interaksi paksa dengan pihak luar,” tulis Dewan Etika dalam dokumen resminya.

Dalam dokumennya, DPFG menyatakan dampak terhadap Masyarakat Adat sejak fase perencanaan awal proyek WBN, telah terjadi penolakan luas dari masyarakat setempat. Penolakan terutama datang dari komunitas lokal dan kelompok adat yang tinggal di hutan, yang khawatir tentang dampak potensial proyek terhadap cara hidup dan budaya mereka. Sejumlah laporan telah menyoroti risiko pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan operasi pertambangan.

Dari berbagai laporan organisasi International Dewan DPFG ini juga menemukan Suku O’Hongana Manyawa (Suku Hutan), yang juga dikenal sebagai Forest Tobelo, merupakan salah satu kelompok asli nomaden terakhir yang masih hidup di Indonesia.

“Mereka hanya tinggal di hutan hujan Halmahera. Dari sekitar 3.500 individu yang termasuk dalam suku O’Hongana Manyawa, diperkirakan sekitar 500 orang hidup dalam isolasi sukarela, tanpa kontak permanen dengan orang luar. Beberapa kelompok keluarga yang baru-baru ini dihubungi masih hidup sebagai nomad di hutan hujan,” Tulis Dewan Etika dalam laporan mereka.

Mereka, kata Dewan Etikan Bank Norwegia ini adalah masyarakat pemburu-pengumpul yang hidup dari sumber daya yang tersedia di hutan. Cara hidup, budaya, dan keyakinan agama mereka sangat tertanam dalam hutan hujan.

“Menurut keyakinan mereka, pohon memiliki jiwa dan perasaan seperti manusia, dan pohon merupakan bagian fundamental dari ritual mereka seputar kelahiran dan kematian.”

 

Eramet Membantah

Eramet, yang memegang 38,9 persen saham di WBN, menolak tuduhan tersebut. Perusahaan mengklaim tidak ada bukti keberadaan masyarakat adat terisolasi di sekitar konsesinya. Namun, Dewan Etika merujuk pada kajian 2010 dan survei lanjutan yang mengonfirmasi keberadaan O Hongana Manyawa di dalam maupun sekitar konsesi.

Bagi Dewan, bantahan itu tidak cukup. Mereka menilai Eramet dan WBN gagal menjalankan due diligence untuk mencegah kerusakan lingkungan yang “signifikan dan tidak dapat diubah” serta pelanggaran hak asasi manusia.

Dilansir dari laman kantor berita Reuters, Eramet mengatakan bahwa mereka sangat menyesali pengeluaran tersebut dan sedang meninjau laporan dana tersebut.

“Sejak 2017, Eramet secara konsisten menjalankan perannya sebagai pemegang saham minoritas dengan transparansi dan standar tinggi, bertujuan untuk memberikan pengaruh positif dan mengajukan usulan konstruktif,” kata Eramet, menambahkan bahwa mereka telah mempromosikan pengelolaan lingkungan yang baik dan praktik pertambangan terbaik.

Pada akhir 2024, GPFG tercatat memiliki 0,74 persen saham Eramet senilai NOK 134 juta (sekitar Rp 111 miliar). Seluruh investasi ini kini telah ditarik.

Dewan Etika juga mengacu pada Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan Konvensi ILO No.169, yang menegaskan hak kolektif masyarakat adat atas tanah, wilayah, dan sumber daya mereka. Meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO tersebut, standar internasional tetap mengikat perusahaan agar menghormati keputusan masyarakat adat, termasuk hak untuk tetap terisolasi.

“Bagi masyarakat adat yang hidup dalam isolasi, hak menentukan nasib sendiri berarti penghormatan mutlak terhadap keputusan mereka untuk tetap terpisah. Aktivitas ekstraksi sumber daya alam tidak boleh dilakukan di wilayah mereka,” tulis Dewan Etika dalam laporan tersebut.

Selain O Hongana Manyawa, dalam laporan juga mereka menyebutkan adanya tingkat deforestasi yang terus naik. Mereka menyebut, hutan hujan tropis yang utuh dianggap sangat penting untuk pelestarian keanekaragaman hayati. Area konsesi WBN terdiri dari hutan mangrove dan rawa air tawar, hutan dataran rendah, dan hutan pegunungan rendah. Dalam penilaian dampak lingkungan (PDE) tahun 2009, luas total area yang akan ditebang selama masa operasional tambang nikel diperkirakan mencapai 42 km², dengan laju deforestasi tahunan sebesar 6 km².

Selain itu, EIA juga melaporkan bahwa area tambahan akan ditebang untuk lokasi penyimpanan tanah permukaan, bendungan tailing, dan infrastruktur pendukung lainnya. Sejak dimulainya operasi pertambangan pada tahun 2019, 27 km² telah dikembangkan. Perusahaan menyatakan bahwa area yang tidak lagi digunakan untuk pertambangan akan dipulihkan secara bertahap. Hingga saat ini, area seluas 0,5 km² telah ditanami kembali.

Tak hanya itu, dalam laporan juga mereka menyoroti dampak terhadap keanekaragaman hayati. Deforestasi menyebabkan fragmentasi dan perusakan habitat tumbuhan dan hewan. Sesuai dengan sebagian besar area hutan hujan yang masih utuh, keanekaragaman hayati yang terdapat di sebagian besar wilayah Halmahera masih kurang diteliti, dan penemuan spesies baru bagi ilmu pengetahuan sering dilaporkan.

“Pengetahuan kita tentang keanekaragaman hayati dan interaksi ekologi yang akan hilang akibat deforestasi oleh karena itu terbatas,” tulis Dewan Etika Bank Norwegia ini.

Atas berbagai temuan tersebut, Dewan Etika Bank Norwegia ini menegaskan bahwa WBN dan Eramet gagal melaksanakan due diligence yang diperlukan untuk mengurangi risiko bahwa operasi pertambangan dapat menyebabkan kerusakan parah pada kelompok masyarakat adat yang sangat rentan. Dewan menekankan pentingnya fakta bahwa kelompok masyarakat adat yang terisolasi tidak memiliki tempat lain untuk tinggal dan bahwa mereka termasuk dalam kelompok populasi paling rentan di dunia. Dewan tidak melihat bagaimana operasi pertambangan di sini dapat dilakukan tanpa melanggar hak-hak masyarakat adat, terutama ketika tidak ada langkah-langkah yang diterapkan untuk melindungi ruang hidup mereka.

Selain itu, Dewan berpendapat bahwa operasi pertambangan WBN di Pulau Halmahera mewakili risiko yang tidak dapat diterima bahwa ekosistem penting akan hilang dan deforestasi akan menghancurkan mata pencaharian, budaya, dan cara hidup masyarakat adat. Bagi kelompok masyarakat adat yang masih belum terhubung, hal ini dapat mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Keterangan : Gambar Tangkapan layar dari dokumen laporan Dana Pensiun Pemerintah Norwegia Global (GPFG)

 

“Dewan Etika merekomendasikan agar Eramet SA dikeluarkan dari Dana Pensiun Pemerintah Norwegia Global,” tulis Dewan Etika Bank Norwegia ini menutup laporan mereka yang ditandatangi oleh empat oleh Dewan Etika Dana Pensiun Pemerintah Norwegia Global (GPFG),  yakni Siv Helen Rygh Torstensen, Ketua Sementara, Siv Helen Rygh Torstensen, Ketua Sementara Cecilie Hellestveit, Vigdis Vandvik, Egil Matsen.

 

Tekanan Global dan Kebijakan Indonesia

Selain divestasi Norwegia, pemerintah Indonesia juga mulai menindak pelanggaran izin. Baru-baru ini, Kementerian Pertambangan menyita 147 hektar konsesi PT Weda Bay Nickel karena tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Presiden Prabowo Subianto menyebut lebih dari 1.000 operasi tambang ilegal tengah ditindak.

Langkah ini turut memicu gejolak harga nikel di pasar global. Harga acuan di London Metal Exchange naik 1,32 persen menjadi USD 15.350 per metrik ton, sementara kontrak di Shanghai Futures Exchange juga melonjak.

Bagi organisasi masyarakat sipil internasional, keputusan GPFG hanyalah awal. Direktur Survival International, Caroline Pearce, menyebut Eramet kini sama “beracunnya” dengan aktivitas pertambangan mereka.

“Kami mendesak semua pemegang saham untuk melakukan divestasi, kecuali dan sampai ada zona larangan total bagi masyarakat adat O Hongana Manyawa,” tegas Pearce.

Bagi O Hongana Manyawa, hutan Halmahera bukan sekadar ruang hidup, melainkan identitas, spiritualitas, dan masa depan. Hilangnya hutan berarti hilangnya mereka sebagai bangsa.

Langkah Norwegia bisa menjadi preseden penting, bahwa dunia internasional tidak menutup mata atas praktik ekstraksi nikel yang mengorbankan manusia dan alam. Namun, pertanyaan mendasar masih menggantung: apakah pemerintah Indonesia akan memilih melindungi masyarakat adat dan hutan Halmahera, atau terus mendorong tambang nikel atas nama transisi energi?

 

Hilirisasi dan Ekspansi Tambang di Halmahera

Sejak 2020, pemerintah Indonesia gencar menggaungkan hilirisasi nikel sebagai strategi besar menuju ambisi menjadi produsen baterai kendaraan listrik (EV) dunia. Kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah bahkan ditetapkan sebagai prioritas nasional dalam RPJMN 2020–2024, sekaligus masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional era Presiden Joko Widodo [RPJMN 2020–2024].

Hilirisasi ini tidak berhenti. Presiden Prabowo Subianto melanjutkan proyek serupa dengan meresmikan hilirisasi baterai kendaraan listrik di Desa Buli Asal, Halmahera Timur, pada 29 Juni 2025. Proyek yang dikerjakan oleh konsorsium Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Hong Kong CBL Limited itu mencakup pertambangan nikel, smelter pirometalurgi dan hidrometalurgi, pabrik bahan baterai katoda nickel cobalt manganese (NCM), hingga fasilitas daur ulang baterai [IBC/HK CBL 2025].

Namun, di balik jargon transisi energi hijau, harga yang dibayar cukup mahal: deforestasi dan tergerusnya ruang hidup masyarakat adat O Hongana Manyawa.

Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), saat ini terdapat 61 izin tambang nikel yang tersebar di Halmahera Tengah dan Timur, dengan total konsesi seluas 206.028,05 hektar [JATAM, 2024].

Data Global Forest Watch (GFW) memperlihatkan kerusakan hutan yang nyata. Di Halmahera Tengah, pada 2020 masih terdapat 188 ribu hektar hutan alam yang membentang lebih dari 83 persen daratan. Namun, pada 2024 seluas 700 hektar hutan hilang, setara dengan emisi karbon 559 kiloton CO₂. Dalam periode 2020–2024, wilayah ini kehilangan 4,42 ribu hektar hutan primer basah, atau berkurang 2,4 persen, dan menyumbang 78 persen dari total kehilangan tutupan pohon [GFW, 2025].

Hal serupa terjadi di Halmahera Timur. Pada 2020, kabupaten ini memiliki 543 ribu hektar hutan alam atau 84 persen dari luas daratannya. Empat tahun kemudian, 974 hektar hilang, setara dengan emisi 809 kiloton CO₂. Sejak 2020–2024, Halmahera Timur kehilangan 4,68 ribu hektar hutan primer basah, atau 0,87 persen dari luasnya, yang menyumbang 70 persen dari kehilangan tutupan pohon di sana [GFW, 2025].

Hutan Akejira, ruang hidup Bokum—salah satu komunitas O Hongana Manyawa—kini terkepung konsesi tambang. PT Weda Bay Nickel (WBN), pemasok bijih nikel ke IWIP, memiliki konsesi paling luas di Pulau Halmahera, yakni 45.065 hektar. Catatan JATAM menunjukkan, sejak 2011 hingga 2024, pembukaan hutan oleh WBN sudah mencapai 6.474,46 hektar.

 

Keterangan : Gambar 3b: menunjukkan area konsesi WBN, seperti pada Gambar 3a. Namun, gambar di pojok kanan bawah gambar tersebut menampilkan informasi terbaru mengenai luas cadangan nikelnya. Sumber: Tangkapan layar dari dokumen laporan Dana Pensiun Pemerintah Norwegia Global (GPFG).

 

Selain WBN, ada PT Weda Kruing Mandiri (WKM) dengan konsesi 24.700, serta PT Arumba Jaya Perkasa (AJP) dengan konsesi 1.818,47 hektar. Menjamurnya konsesi ini tidak hanya mempercepat laju deforestasi, tetapi juga membuat Orang Tobelo Dalam semakin tersingkir dari hutan leluhur mereka, menghadapi ancaman ganda: hilangnya ruang hidup sekaligus rusaknya ekosistem.

 

Suara Perlawanan dari Halmahera

Keputusan GPFG mendapat sambutan hangat dari masyarakat adat di Halmahera. Novenia Ambeua, perempuan adat keturunan Tobelo di Hoana, Halmahera Timur, menyebut langkah Norwegia ini sebagai bukti bahwa perjuangan mereka mulai terdengar.

“Masyarakat adat Halmahera, khususnya O Hongana Manyawa, terusir dari hutan akibat ekspansi tambang nikel. Apa yang dilakukan Bank Norwegia ini memberi kami harapan,” ujar Novenia.

Ia menambahkan, perjuangan masih panjang karena konsesi tambang masih terus menggerus hutan Halmahera. Namun, keputusan ini membuktikan solidaritas global bisa membantu masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup.

Keterangan : Tangkapan gambar dari laporan Dewan Etik tentang keberlangsungan hidup O Hongana Manyawa, salah satu komunitas adat paling rentan di Indonesia.

 

Adlun Fikri, Juru Bicara Save Sagea, dalam wawancaranya dengan, menyatakan bahwa keputusan Pemerintah Norwegia merupakan langkah yang patut dicontoh oleh investor lain. “Eramet dengan Weda Bay Nickel-nya telah terbukti merusak lingkungan, melakukan deforestasi, merusak sungai, dan mengabaikan hukum lingkungan,” ujarnya.

Fikri juga menyoroti bahwa konsesi tambang PT Weda Bay Nickel terletak di wilayah adat yang menjadi ruang hidup bagi masyarakat O’Hongana Manyawa dan Suku Sawai, dua kelompok yang tinggal di kawasan pesisir Teluk Weda. “Kehadiran perusahaan ini telah mempersempit dan merusak ruang hidup masyarakat adat,” tambahnya.

 

Norwegia Tarik Investasi untuk Cegah Kerusakan Lingkungan dan Pelanggaran HAM

Imam Shofwan, Kepala Simpul dan Jaringan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Nasional, menjelaskan bahwa keputusan Norwegia untuk menarik investasi dari Eramet didasari oleh risiko yang tidak dapat diterima terkait pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan akibat operasi tambang nikel di Indonesia. “Mereka telah membatalkan investasi ini karena dampak buruk yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut,” ungkapnya.

Menurut rilis dari yang dikeluarkan, Norges Bank, bank sentral Norwegia, memiliki hampir $2 triliun dalam portofolio investasi di lebih dari 8.600 perusahaan di seluruh dunia. Dewan Eksekutif Norges Bank memutuskan untuk menarik investasi dari Eramet setelah menilai perusahaan tersebut berkontribusi pada kerusakan lingkungan yang serius dan pelanggaran HAM. Nilai yang ditarik mencapai sekitar $6,8 juta, berdasarkan rekomendasi dewan etik bank tersebut.

Shofwan menegaskan bahwa upaya penghentian pendanaan ini merupakan langkah yang tepat untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa JATAM telah lama menyerukan agar bank-bank domestik dan internasional menghentikan pendanaan terhadap proyek-proyek yang merusak lingkungan.

Dikatakan Sofwan, sejak didirikan pada 2018, PT IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park), yang merupakan salah satu proyek strategis nasional, telah menjadi pusat industri nikel terbesar di dunia. Dengan dukungan mesin-mesin mutakhir, PT IWIP melakukan proses pembakaran, pemurnian, dan peleburan Ore nikel (saprolite dan limonite) yang berdampak besar terhadap lingkungan. Proyek ini berada di pesisir Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, Halmahera Tengah, dan menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem lokal, termasuk hilangnya lahan pertanian, kebun, dan pencemaran sungai.

 

Keterangan : Kondisi Hutan Akejira atau Kao Rahai yang terancam gundul akibat pertambangan nikel dari PT IWIP. Sumber: Gambar udara Christ Belseran

 

Operasi PT IWIP tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperburuk kualitas hidup masyarakat setempat. Warga yang sebelumnya mengandalkan pertanian dan sumber daya alam untuk kebutuhan hidup mereka kini harus bergantung pada pasokan pangan dari luar daerah. Selain itu, mereka terpaksa membeli air bersih, yang sebelumnya dapat mereka peroleh dengan mudah dari sumber-sumber air di sekitar mereka.

Selain itu, Penelitian yang dilakukan oleh Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako menunjukkan bahwa logam berat dari kawasan PT IWIP telah mencemari lingkungan dan memasuki tubuh ikan serta manusia. Hasil uji darah terhadap pekerja dan warga sekitar menunjukkan kadar merkuri dan arsenik yang melebihi ambang batas aman, mengancam kesehatan masyarakat melalui rantai makanan.

Keterangan : Kondisi Hutan Akejira atau Kao Rahai yang terancam gundul akibat pertambangan nikel dari PT IWIP. Sumber: Gambar udara Christ Belseran

 

Tak hanya itu, ekspansi kawasan industri nikel ini juga mengancam sumber daya alam yang vital bagi kehidupan masyarakat adat. Di kawasan kaki Gunung Wato-Wato, yang menjadi sumber air bersih bagi warga Halmahera Timur, terancam rusak akibat aktivitas tambang yang semakin masif. Penggusuran lahan yang terjadi juga merusak daerah resapan air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat O’Hongana Manyawa dan masyarakat pesisir lainnya.

 

Keterangan : Kondisi Hutan Akejira atau Kao Rahai yang terancam gundul akibat pertambangan nikel dari PT IWIP. Sumber: Gambar udara Christ Belseran

 

Isu lingkungan ini juga terkait dengan komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Pada 2016, Indonesia menjadi salah satu dari 171 negara yang menandatangani perjanjian tersebut untuk mengurangi emisi karbon dan menanggulangi perubahan iklim. Namun, praktik eksploitasi sumber daya alam seperti tambang nikel yang merusak hutan dan ekosistem di wilayah Indonesia Timur bertentangan dengan komitmen tersebut.

error: Content is protected !!