titastory.id,- Dampak wabah virus Corona (Covid-19) tidak hanya merugikan sisi kesehatan. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Tiongkok, ini bahkan turut mempengaruhi perekonomian negara-negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Ekonomi global dipastikan melambat, menyusul penetapan dari WHO yang menyebutkan wabah Corona sebagai pandemi yang mempengaruhi dunia usaha.
Di Indonesia, pemerintah mencoba melakukan berbagai upaya untuk menekan dampak virus Corona terhadap industri.
Di Provinsi Maluku, Selain berdampak pada ekonomi masyarakat lokal yang bekerja di sektor darat, dampak pandemi ini juga berdampak besar pada pelaku sektor kelautan.
Hal ini terjadi pada nelayan tuna asal pulau Buru, Maluku, yang baru saja memperoleh Sertifikasi penangkapan yang eco – friendly atau biasa disebut eco – labelling certification merupakan sertifikasi terhadap usaha perikanan yang ramah lingkungan, tidak merusak biota dan habitat ikan, dan tidak membahayakan hewan lain di dalam eco system perairan.
Ratusan nelayan tuna asal Pulau Buru yang bergantung pada penjualan ikan ke kancah Internasional seperti Amerika terpaksa harus mengalami colaps akibat terkendalanya pengiriman ikan ke Amerika. Dari banyaknya perusahaan ikan di Maluku, hanya empat perusahaan saja yang masih bertahan dan menerima suplay ikan dari nelayan tuna.
Erwin, seorang nelayan tuna satu dari ratusan nelayan tuna Desa Waelihang, Kecamatan Waplau kini hanya menerima nasib atas kondisi yang terjadi. Dirinya harus berpikir keras untuk menambah penghasilan bagi keluarganya. Apalagi di massa pandemic covid-19 saat ini.
Bagi Erwin, Tuna merupakan pekerjaan yang selama ini digeluti selama ini. Namun sejak pandemic covid-19 melanda, harga ikan terus turun dan anjlok. Dia sempat frustasi.
“ ya sejak corona terjadi, harganya sangat turun jauh sekali. Tentu itu sangat mempengaruhi ekonomi keluarga kami. Tapi mau bagaimana hidup terus dilanjutkan. Saya putar otak (berpikir keras) untuk cari pekerjaan sampingan,” terang Erwin.
Untuk melanjutkan hidupnya, Erwin harus tetap melaut. Biasanya erwin menangkap semua jenis ikan. Ia berharap hasil lautnya bisa menambah biaya hidup keluarganya di massa pandemi. “ saya tangkap ikan kecil (ikan dasar laut) semua jenis, untuk makan kami sehari-hari. Selebihnya kalau ada saya jual untuk menambah biaya hidup kami,”ungkap Erwin.
Selain harga ikan yang anjlok, Erwin juga menjelaskan, harga BBM yang menjadi jantung bagi para nelayan tuna untuk melaut semakin hari semakin melambung tinggi sehingga memberikan ketidak seimbangan antara pengeluaran dan pendapatan.
“Kita bisa mengimbangi harga beli kalau harga BBM juga bisa turun tapi sekarang ini. Bukannya turun, harga BBM kadang naik. Malah lebih sering stok terbatas. Jika kita paksakan untuk memancing tuna, akan sangat beresiko. Dimana? Yang di harga tadi. Bensin tinggi. Tapi dijualnya murah”, sesalnya.
Tidak ingin mengambil resiko, Erwin serta ratusan nelayan tuna untuk sementara memilih beralih profesi di sektor darat demi menyambung hidup. Sedangkan beberapa nelayan yang masih bertahan di sektor perikanan hanya bisa mencari ikan kecil untuk dijual ke masyarakat.
” Sebagian besar dari kami ada yang bertani kalau punya kebun. Dan beberapa alternatif pekerjaan lain yang penting bisa membantu kebutuhan sehari-hari. Tapi ada beberapa teman termasuk saya, masih memilih jadi nelayan. Cuman jadi nelayan ikan kecil seperti ikan batu-batu. Dapatnya hanya cukup untuk hari ini”, keluh Erwin.
Selain BBM, alasan lainnya menurut Erwin adalah perusahan sebagai tempat penampungan ikan tuna. Perusahan PT. Harta Samudra menjadi satu-satunya tempat penampungan ikan. Disaat pandemic stok pembeliannya juga dikurangi.
Alasan perusahaan ini bisa bertahan karena masih memiliki ketersediaan tempat penampungan ikan sebagai stok sambil menunggu kelancaran pengiriman ke luar negeri.
“Setidaknya masih ada empat perusahaan yang masih beroperasi di Maluku. Salah satunya disini. Jadi masih bisa menerima ikan kita, tapi bukan tanpa masalah. Kita juga punya masalah. Meski masih ada perusahaan yang terima ikan kami”, kata Erwin.
Dirinya menambahkan, dengan berbagai alasan yang masuk akal, perusahaan hanya mampu membeli tuna setengah dari harga seharusnya. Penurunan harga beli sebesar 50 % ini sangat berpengaruh pada hasil pendapatan mereka.
“Ikan kami hanya dihargai setengah dari harga seharusnya, ini karena ikan belum langsung diekspor. Tapi masih harus menunggu proses pengiriman”, ungkapnya.
Untuk itu Erwin berharap di massa pandemic covid-19, pemerintah bisa turut membantu kondisi mereka. “ saya harapkan pemerintah bisa turun langsung dan membantu kita sebagai nelayan kecil ini. Jangan hanya hasil kita yang diambil. Tapi harus juga melihat ekonomi kita apalagi massa pandemic covid ini,” harap Erwin.
Tak hanya Erwin, Rustam Tuharea. Salah satu nelayan tuna di desa Waprea, Kabupaten Buru ini juga mengeluh hal yang sama. Rustam kini beralih profesi sementara, menjadi pencari rezeki disektor darat sebagai petani dan jenis pekerjaan lainnya. Rustam sendiri merupakan ketua firetrade tuna di Pulau Buru.
“Kami nelayan baru tahu dari perusahaan tempat kami memasok ikan, katanya pengiriman ikan untuk sementara ada sedikit kendala akibat covid. ” Kata Rustam
Pilihan alih profesi sementara terpaksa di ambil demi mencukupi kebutuhan hidup. Beberapa sektor darat yang di pilih diantarnya berkebun. Membuka kios kecil dan beberapa pekerjaan lain termasuk pilihan menjadi nelayan ikan kecil.
” Ya, mau bagaimana lagi. Kondisi saat ini semua orang rasa susahnya. Kita yang mengail tuna, yang ikannya dikirim ke luar negeri juga tidak bisa berbuat banyak kalau proses pengiriman terganggu. Kalau mau nekat mancing tuna, jualnya rugi, apalagi dijual ke warga. Pasti harganya sangat dibawah standar, tidak bisa menutupi biaya yang dikeluarkan untuk menangkap tuna. Jadi ya, ini yang mendasari beberapa teman sudah tidak melaut lagi saat ini. Mereka lebih memilih bertani sambil tunggu kondisi kembali baik,” kata ketua firetrade tuna di Pulau Buru ini.
Ketua firetrade tuna di Pulau Buru ini juga mengatakan, pihak perusahaan bahkan hanya berani membeli ikan tangkapan nelayan tuna dengan harga setengah dari harga normal.
“Harga tuna sekarang turun tajam, dari yang biasanya Rp50.000 lebih/kg sekarang cuman dihargai Rp25000. Ya kita sangat rugi. Carinya susah, butuh bahan bakar tapi malah dijual dengan harga rendah,” sesalnya.
Meski demikian Rustam bersyukur dalam enam tahun terakhir ini bisa menikmati hasil tangkapan tuna secara maksimal. “ hasil tangkapannya kita dapat dan kita bawa pulang. Suplyernya yang akan tangani. Dan seterusnya hasil pasaran kami dipasarkan di Amerika. Selain harga yang memadai, Alhamdulillah kami juga sudah mendapatkan hasil sertifikasi penangkapan yang eco-friendly di sektor perikanan,”ungkap Rustam.
Kondisi lainnya seperti BBM di daerah kerap kali terbatas menyebabkan terus meroketnya harga BBM dari waktu ke waktu. Ancaman kerugian besar bagi nelayan tuna, seperti penjualan hasil tangkapan yang tidak menutupi harga BBM pun mengintai.
Dari banyaknya perusahaan ikan tuna di Maluku, sisa empat perusahaan saja yang beroperasi ditengah menggeliatnya wabah covid-19. Ke-empat perusahaan ini setidaknya memiliki lokasi cukup untuk menyimpan stok ikan hingga pengiriman bisa kembali normal.
Kondisi ini jelas membutuhkan peran pemerintah sebagai bentuk kepedulian nya terhadap pelaku perikanan yang telah menyumbang salah satu income terbesar di Maluku.
MDPI organisasi yang bergerak membina nelayan untuk keberlanjutan aktivitas perikanan saat ini juga bekerja keras mencari solusi membantu nelayan tuna.
Melalui perwakilannya di Pulau Buru, MDPI bahkan telah menyampaikan kondisi ini ke pihak pemerintah setempat namun belum mendapatkan solusi. Hal ini disampaikan Onya D. Sriyanti Ely selaku Fairtrade supervisor MDPI kepada titastory.id, Jumat (5/6/2020).
“Kami pihak MDPI yang bertugas mengawasi dan melakukan pembinaan kaitannya dengan perikanan sudah mencoba memediasi kondisi ini kepada pihak pemerintah. Dari hasil pembicaraan yang kami sampaikan memang ada sedikit kemungkinan yang akan dijadikan solusi dari pihak pemerintah. Namun sampai sekarang memang belum ada realisasi nya. Kita masih terus menunggu dan menindak lanjuti pernyataan dari mereka. Semoga yang di katakan bisa secepatnya mendapat solus,” kata Onya Ely.
Untuk menjaga keberlanjutan nelayan tuna di Pulau Buru, MDPI berupaya mensiasati hasil tangkapan nelayan menjadi sejumlah produk siap konsumsi seperti ikan kering dan abon untuk di perjual belikan ke masyarakat dalam bentuk kemasan.
” Sambil menunggu solusi yang akan diberikan pemerintah. Kami berupaya menginisiasi kelompok bagi para istri nelayan untuk bisa membuat olahan dari hasil tangkapan ikan yang akan di buat dalam bentuk kemasan seperti ikan asin dan abon. Tujuannya untuk sedikit membantu nelayan selama musim pandemi covid-19 berlangsung”, pungkas Onya.
Onya juga menambahkan, Tuna hasil tangkapan para nelayan masih dibeli oleh perusahan masuk dalam rantai pasok Fair Trade. Nelayan juga kata dia, masih menerima Dana premium.
“ada kebijakan Fair Trade Amerika kepada nelayan sebagai respon atas kondisi Covid-19 saat ini adalah penggunaan dana premium darurat di luar aturan yang seharusnya untuk kebutuhan nelayan yang diperuntukan untuk menanggulangi dampak dan pencegahan menularnya Covid -19. Kebijakan ini dimanfaatkan nelayan untuk membeli Sembako, Masker, sabun dan Vitamin C (sudah dilakukan),” lanjut Onya.
Atas dana tersebut menurut Onya, kini kelompok nelayan bisa memanfaatkan dana tersebut. “nelayan mulai menghemat dana premiumnya karena dari PT. Harga Samudra sudah mulai membayar sebagian insentif penanda ikan Kelompok per 1 Mei 2020 dan menaikan insentif pengisian Fisher Log oleh nelayan sebesar Rp1000/kg ikan per 1 Juni 2020,” jelasnya
Nelayan lainnya, Yusron Tomia. Ia merupakan satu ketua kelompok nelayan binaan organisasi Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) . Yusron berharap pemerintah bisa mengeluarkan surat izin pemasangan rumpun ikan (SIPR) bagi para nelayan.
“ kami harap pemerintah bisa mengeluarkan surat izin pemasangan rumpun bagi kami para nelayan disini, agar semua legal,” harapnya.
123 Kelompok Nelayan Tuna Pulau Buru Raih Sertifikat Internasional
Sebelumnya sebanyak 123 kelompok nelayan penangkap tuna sirip kuning (yellowfin tuna) di Pulau Buru, Provinsi Maluku, berhasil meraih sertifikat internasional di bidang perikanan, yakni Ecolabelling Marine Stewardship Council (MSC).
Sertifikat tersebut diterbitkan oleh lembaga MSC yang berkantor pusat di London, dan diberikan kepada Anova food LLC dan PT. Harta Samudera, serta Asiosasi Nelayan Buru sebagai pemegang sertifikat bersama (joint certificate holder) pada Rabu, 13 Mei 2020.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Abdul Haris menyambut gembira capaian tersebut, lantaran proses sertifikasi itu melalui upaya dan negosiasi panjang dan melelahkan.
“Keberhasilan memperoleh sertifikat MSC ini merupakan bukti kerjasama antara Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan lembaga swadaya masyarakat yang mampu membina nelayan kecil untuk memenuhi standar sertifikasi ecolabelling yang telah ditentukan,” kata Abdul Haris di Ambon, Rabu (3/6/2020).
Eco-labelling berasal dari eco-friendly (ramah lingkungan) certificate merupakan sertifikasi terhadap usaha perikanan yang ramah lingkungan, tidak merusak biota dan habitat ikan, dan tidak membahayakan hewan lain di dalam ekosistem (ecosystem) perairan.
Marine Stewardship Council certification merupakan satu sertifikasi eco-labelling yang sangat popular di pasar internasional, terutama di Amerika Serikat dan negera-negara Uni Eropa.
Pemberian sertifikat MSC kepada kelompok nelayan tuna di Pulau Buru, Maluku itu, menambah daftar sertifikat tingkat internasional yang mereka kantongi.
Sebelumnya, pada 2014, mereka telah memperoleh sertifikat USA-Fair Trade Tuna Handline yang pertama di dunia. Tuna handline adalah memancing tuna menggunakan pancing tunggal atau pancing tangan.
Kini, mereka kembali mengukir prestasi dengan meraih sertifikasi MSC yang diperuntukan bagi nelayan kecil (one-day-fishing). pemberian sertifikasi ini pun merupakan pertama kalinya di dunia.
Abdul Haris mengatakan, dengan adanya dua sertifikat tersebut, maka produk yellowfin tuna yang dihasilkan oleh para nelayan itu akan memiliki dua label sertifikasi Internasional, yakni Fair Trade dan MSC.
Menurut dia, pemberian sertifikat MSC itu dapat memberikan beberapa manfaat positif bagi perikanan tuna di Provinsi Maluku.
Pertama, bahwa 123 nelayan kecil tuna handline di Pulau Buru mampu memenuhi standar tertinggi untuk mewujudkan keberlanjutan (highest standard for Sustainability).
Kedua, menunjukan Komitmen Pemerintah Daerah Provinsi Maluku kepada dunia internasional dalam pemberdayaan nelayan kecil dengan dlmelaksanakan praktek pengelolaan perikanan tuna secara berkelanjutan.
Ketiga, memperluas akses pasar ekspor ke manca negara, dan meningkatkan daya saing produk yelowfin tuna handline dari 123 nelayan kecil di pulau Buru.
Keempat, menjadin inspirasi bagu dunia luar bahwa pemerintah daerah dan pelaku usaha dapat bekerjasama dalam membina nelayan kecil, agar dapat memiliki kemampuan dalam memenuhi standar sertifikat Ecolabelling MSC yang dikenal sangat tinggi.
“ jadi dari 185 nelayan saat ini yang menggunakan 154 armada/kapal ikan tuna yg merupakan binaan MDPI (Masyarakat dan Perikanan Indonesia) bekerjsama dengan DKP Maluku. 123 armada keciL tersebut telah peroleh sertifikat ecolabelling MSC. Ini menunjukan bahwa nelayan dari 123 kapal nelayan kecil tersebut telah penuhi syarat tertinggi untuk mewujudkan pengelolaan perikanan tuna secara berkelanjutan,” ungkap Haris.
Haris juga menambahkan, 31 armada nelayan kecil lainnya masih diverifikasi kelengkapannya untuk selanjutnya akan diusulkan diassest rangka rangka memperoleh sertifikat ecolabelling MSC.
Standar ecolabelling MSC lanjut haris meliputi keberlanjutan stok ikan, dampak terhadap ekosistem, dan efektifitas pengelolaan.
Haris menjelaskan sertifikasi ecolabel tersebut menjadi bukti penguatan akses pasar produk ikan tuna di dunia. Ini artinya pengelolaan perikanan skala kecil dengan pancing ulur (handline) tuna mampu memenuhi standar tertinggi untuk mewujudkan keberlanjutan yang ditetapkan, baik regional maupun internasional.
Lebih lanjut, Haris mengatakan capaian ini didapat berkat adanya kerja sama dengan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) dengan mitra kerja Anova Food and PT. Harta Samudra serta Asosiasi Nelayan Buru selaku pemegang sertifikat bersama.
Disamping itu, sinergitas kerja sama dengan berbagai mitra kerja KKP lainnya, khususnya dengan Bappenas melalui Proyek UNDP Global Marine Commodities dan MSC Indonesia telah banyak memberikan dukungan teknis terhadap pencapaian ini.
Pada tahun 2014, kelompok nelayan Pulau Buru ini juga telah memperoleh sertifikat USA-Fair Trade Tuna Handline yang pertama di dunia. Dengan dua label sertifikat internasional ini, maka diharapkan akses pasar ekspor ke mancanegara dapat terbuka lebih lebar.
Dana Premium
Dijelaskan Abdul Haris bahwa pihaknya telah menyalurkan dana premium kepada 123 kelompok nelayan tuna di Pulau Buru, dan yang beroperasi di Pulau Seram, Seram Utara, Asilulu dan Buru Selatan. Total dana premium yang disalurkan kepada nelayan kecil tuna handline mencapai Rp 4,9 Miliar. Sementara untuk nelayan tuna di pulau Buru telah memperoleh dana premium sebesar Rp2,8 Milliar.
Dia menambahkan, pihaknya berkomitmen untuk mendorong dan mendukung penuh keberlanjutan usaha perikanan di wilayah kerjanya.
“Kami ingin sampaikan bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku memiliki komitmen untuk mendorong dan mendukung penuh setiap pelaku usaha perikanan tangkap dan/atau mitra kerja di Maluku, yang akan melakukan proses sertifikasi ke depan, dalam rangka mewujudkan perikanan yang berkelanjutan di Maluku,” ujarnya
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyampaikan rasa bangganya atas capaian ini. Faktanya, 70 persen produk tuna di Indonesia merupakan hasil tangkapan nelayan skala kecil. Saat ini, kontribusi perikanan tuna Indonesia sebesar 16 persen terhadap produksi perikanan tuna dunia (SOFIA, 2018).
“Pemerintah Indonesia berkomitmen mendukung nelayan skala kecil dan keberlanjutan perikanan tuna. Capaian keberhasilan ini menjadi contoh bahwa produk perikanan kita diakui oleh dunia,” ujar Menteri Edhy Prabowo yang dikutip laman Infopublik, Rabu (13/5).
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zulficar Mochtar, menjelaskan sertifikasi eco label tersebut menjadi bukti penguatan akses pasar produk ikan tuna di dunia. Ini artinya pengelolaan perikanan skala kecil dengan pancing ulur (handline) tuna mampu memenuhi standar tertinggi untuk mewujudkan keberlanjutan yang ditetapkan, baik regional maupun internasional.
Lebih lanjut, Zulficar mengatakan capaian ini didapat berkat adanya kerja sama dengan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) dengan mitra kerja Anova Food and PT. Harta Samudra serta Asosiasi Nelayan Buru selaku pemegang sertifikat bersama.
Disamping itu, sinergitas kerja sama dengan berbagai mitra kerja KKP lainnya, khususnya dengan Bappenas melalui Proyek UNDP Global Marine Commodities dan MSC Indonesia telah banyak memberikan dukungan teknis terhadap pencapaian ini.
Pada tahun 2014, kelompok nelayan Pulau Buru ini juga telah memperoleh sertifikat USA-Fair Trade Tuna Handline yang pertama di dunia. Dengan dua label sertifikat internasional ini, maka diharapkan akses pasar ekspor ke mancanegara dapat terbuka lebih lebar.
Penulis : Asma Kasih
Editor : Belseran Christ
Discussion about this post