Rudi “Bacok” Hartono: Pemuda Pionir Perbaikan Ekosistem Mangrove di Kalimantan Barat
“Saya lulusan dari salah satu universitas terbaik di Kalimantan Barat, dengan gelar sarjana pendidikan. Bagi kebanyakan orang, setelah mendapatkan gelar sarjana, langkah berikutnya adalah mencari pekerjaan—baik itu menjadi pegawai negeri, pegawai swasta, atau mengikuti seleksi P3K. Namun, saya memilih jalan yang berbeda.”
“Meski saya seorang sarjana pendidikan, saya memutuskan untuk mengurungkan niat menjadi guru dan pulang ke desa saya, Sukupah. Keputusan ini tidak mudah. Orang tua saya memiliki harapan besar bahwa saya akan menjadi pegawai negeri, terutama karena saya adalah anak satu-satunya yang menempuh pendidikan tinggi. Ibu saya bahkan rela menjual cincin pernikahan almarhum ayah saya demi membiayai kuliah saya.”
Demikian pernyataan Rudi Hartono, di peringatan Hari Mangrove Sedunia, yang digelar Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) di Hotel Kempinski, Jakarta, pada 26 Juli lalu.
Ketika berbicara tentang Ekowisata Telok Berdiri di Sungai Kupah, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, nama Rudi Hartono, atau lebih akrab dipanggil Rudi Bacok, selalu muncul sebagai sosok di balik keberhasilan kawasan tersebut. Lahir pada tahun 1995, meski masih muda, semangat Rudi untuk memperbaiki lingkungan jauh lebih matang dari usianya.
Desa saya terletak di pesisir, dan banyak hutan mangrove di sini yang sudah hampir punah. Orang tua kami dulu menebang mangrove untuk dijadikan alat tangkap tradisional. Akibatnya, desa kami kini sering dilanda banjir. Saya yakin, “Jika mangrove di desa kita hilang, maka desa kita juga akan hilang.”
Rudi memulai perjalanan besarnya pada tahun 2017. Dengan tekad yang kuat dan bantuan beberapa teman dekat, ia memulai pemulihan hutan mangrove di Sungai Kupah. “Kami tidak punya banyak modal, hanya kemauan yang besar,” kata Rudi mengenang awal perjalanannya.
Namun, upayanya tidak diterima dengan tangan terbuka. Banyak warga yang meremehkan bahkan menentang inisiatifnya, menganggap apa yang dia lakukan tidak akan membuahkan hasil.
“Banyak yang mencibir dan bilang usaha kami sia-sia. Tapi bagi saya, justru itu tantangan,” jelas Rudi. Jiwa mudanya merasa semakin terpacu untuk membuktikan bahwa usaha mereka bisa membuahkan hasil nyata.
Di tengah hiruk-pikuk dunia karir, tak banyak yang memilih untuk kembali ke akar, membangun desa dari nol. Namun, Rudi Hartono, pemuda asal Sukupah, Kalimantan Barat, memilih jalan yang jarang dilalui. Ia adalah lulusan salah satu universitas terbaik di Kalimantan Barat, dengan gelar sarjana pendidikan. Sementara teman-temannya memilih bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta, Rudi justru mengambil keputusan berani: kembali ke desanya dan berjuang menyelamatkan hutan mangrove yang terancam punah.
“Bu, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Saya ingin mengangkat derajat keluarga kita, dan membawa perubahan nyata di desa kita.” Begitulah Rudi menguatkan hati ibunya, yang awalnya menginginkan Rudi menjadi seorang pegawai negeri. Ibunya bahkan telah mengorbankan banyak hal, termasuk menjual cincin pernikahan almarhum ayahnya demi membiayai pendidikan Rudi. Tapi bagi Rudi, desa dan keluarganya bisa dibanggakan dengan cara lain, dan itu bermula dari menyelamatkan mangrove di Sukupah.
Perjuangan dari Nol
Desa Sukupah adalah daerah pesisir yang setiap tahun dilanda banjir. Penyebab utamanya? Penggundulan hutan mangrove. Masyarakat desa sebelumnya menebang mangrove untuk dijadikan alat tangkap ikan tradisional. “Jika mangrove di desa kita hilang, maka desa kita juga akan hilang,” tegas Rudi.
Dengan tekad tersebut, Rudi mulai mengajak pemuda desa untuk menanam mangrove. Pada awalnya, antusiasme teman-teman sangat tinggi. Namun, seiring berjalannya waktu, semangat itu memudar. “Untuk apa menanam kalau tidak dapat duit?” begitu kata orang tua mereka.
Meski tinggal beranggotakan enam orang, kelompok kecil ini tetap bertahan. Selama bertahun-tahun, mereka menanam mangrove tanpa hasil nyata secara finansial. Hingga akhirnya, pada tahun 2021, usaha keras mereka membuahkan hasil.
Rudi memahami keluhan itu. Bagaimanapun, kehidupan ekonomi di desa tak mudah. Namun bagi saya, menanam mangrove bukan soal uang. Ini soal menyelamatkan desa dari banjir dan perubahan iklim. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
“Karena itu, saya mulai mengajak pemuda desa untuk peduli. “Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Pada awalnya, semangat teman-teman untuk merevitalisasi mangrove sangat besar. Kami mulai menanam mangrove bersama-sama. Namun, seiring waktu, jumlah teman-teman yang terlibat semakin berkurang. Banyak yang pesimis karena tidak ada keuntungan finansial langsung. Orang tua mereka juga sering berkata, “Untuk apa menanam kalau tidak ada uang?”
Dua tahun penuh perjuangan, pada 2019, upaya mereka mulai memperlihatkan hasil yang nyata. Dengan nama Ekowisata Telok Desa Sungai Kupah, kawasan hutan mangrove yang dulunya tak terawat kini telah menjadi cantik dan asri.
“Ketika mangrove mulai tumbuh subur dan banyak ikan kembali, warga mulai berubah pandangan,” kata Rudi. Wisatawan dari luar kawasan mulai berdatangan, tertarik oleh keindahan alam dan keragaman ekosistem yang ditawarkan.
Perubahan Dimulai
Tahun itu, BRGM Republik Indonesia melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) membantu desa Sukupah dengan memberikan fasilitas pembibitan mangrove. Rudi dan kelompoknya diajari cara menanam dan membibitkan mangrove secara profesional.
“Ini jadi loncatan besar bagi kami. Dari satu tempat pembibitan mangrove, kini kami punya 65 tempat pembibitan di desa ini,” jelas Rudi dengan bangga.
Tak hanya sekadar menjaga ekosistem, program ini juga berhasil membuka mata masyarakat bahwa mangrove punya nilai ekonomi.
“Dulu mangrove dianggap tidak berguna, tapi sekarang orang-orang datang meminta untuk ikut serta dalam pembibitan. Bahkan, kami membelinya kembali dari mereka.”
Rudi juga mengembangkan ekonomi desa melalui UMKM. Bersama para ibu di desa, mereka membuat produk olahan mangrove seperti stik udang dan sabun mangrove. Ini memberikan tambahan pendapatan bagi warga.
Ekowisata di Ujung Borneo
Rudi tidak berhenti sampai di situ. Dengan makin tumbuhnya hutan mangrove, ia melihat potensi lain: ekowisata mangrove. Desa yang dulu dianggap terpencil dan sulit dijangkau kini mulai ramai dikunjungi wisatawan yang tertarik dengan ekowisata trekking dan susur sungai mangrove.
Sebuah titik sejarah tercatat ketika desa mereka dikunjungi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. “Bayangkan, tempat yang dulu disebut ‘jin buang anak’ kini didatangi menteri. Itu adalah bukti bahwa hal kecil yang kami mulai punya dampak besar,” kata Rudi dengan penuh kebanggaan.
Infrastruktur desa pun semakin membaik berkat dukungan dari berbagai pihak. Kehadiran wisatawan tak hanya meningkatkan kesadaran lingkungan, tetapi juga menggerakkan perekonomian lokal.
“Bagi saya, nilai dari upaya ini bukanlah uang, tetapi bagaimana mangrove tetap lestari dan desa kami selamat. Setelah bertahun-tahun tanpa hasil finansial, pada tahun 2021, upaya kami akhirnya membuahkan hasil. BRGM Republik Indonesia membantu desa kami melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kami diajarkan cara membibit dan menanam mangrove serta diberi fasilitas untuk pembibitan.”
Dengan dukungan pemerintah setempat yang menyediakan fasilitas publik, kawasan ekowisata ini terus berkembang pesat. Prestasi Rudi dan kawan-kawannya juga semakin diakui. Pada tahun 2021, Desa Sungai Kupah masuk dalam enam besar Anugerah Pesona Indonesia, dan setahun kemudian, masuk ke 300 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia.
“Saya tak pernah menyangka bahwa usaha kami akan dihargai sebesar ini. Dulu orang meremehkan, sekarang mereka mendukung,” ucap Rudi dengan bangga, menggambarkan perasaannya setelah menerima berbagai penghargaan.
Namun, Rudi menyadari bahwa perjalanannya belum selesai. Bersama rekan-rekannya, ia terus berfokus pada pelestarian lingkungan dengan menanam berbagai jenis mangrove seperti bakau, api-api, dan berembang.
“Bagi kami, mangrove ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga masa depan. Kami ingin kawasan ini berkelanjutan, bukan hanya untuk ekowisata, tapi juga sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat,” jelasnya.
Saat ini, Ekowisata Telok Desa Sungai Kupah mencakup area seluas 15 hektare. Selain berfungsi sebagai penahan abrasi dan ombak, kawasan ini juga menjadi tempat perkembangbiakan ikan, serta pusat pemberdayaan masyarakat setempat. “Kita tidak hanya menjaga lingkungan, tapi juga menghidupkan ekonomi warga. Itulah esensi dari keberlanjutan,” tambah Rudi.
Program ini kata Rudi menjadi titik balik. Kini, desa memiliki memiliki 65 tempat pembibitan mangrove, dan warga semakin sadar akan pentingnya mangrove. Dulu mangrove dianggap tidak bernilai, tapi sekarang masyarakat justru meminta untuk ikut serta dalam program pembibitan. Warga bisa mendapatkan penghasilan dari menanam mangrove, dan kami juga mengembangkan UMKM dengan mengolah mangrove menjadi produk seperti stik udang dan sabun mangrove.
Selain itu, kata Rudi, saat ini warga juga mengembangkan ekowisata tracking mangrove dan susur sungai. Desa mereka yang dulu terpencil dan tak dikenal, sekarang dikunjungi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.
“Ternyata, usaha kecil seperti menanam mangrove bisa berdampak besar bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat, katanya”
Di usia mudanya, Rudi Hartono telah menjadi inspirasi bagi banyak orang. “Usia muda bukan penghalang untuk peduli dan bertindak,” pungkas Rudi, yang kini semakin yakin bahwa usahanya telah menorehkan perubahan yang nyata bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Berkat dedikasinya, Rudi Hartono menerima berbagai penghargaan. Pada tahun 2022, ia dinobatkan sebagai penerima Kalpataru, penghargaan lingkungan tertinggi di Indonesia.
“Siapa yang menyangka, seorang pemuda dari pelosok negeri yang dulu dihina dan dicemooh kini berdiri di panggung internasional berbicara di depan delegasi G20?” ujar Rudi mengenang momen tak terlupakan itu.
Pengakuan atas kerja keras Rudi juga datang dalam bentuk penghargaan. Ia dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor 2022 oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga RI di bidang Sumber Daya Alam dan lingkungan, serta menerima penganugerahan Kalpataru 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk kategori perintis lingkungan.
Namun, dari semua pencapaiannya, yang paling ia banggakan adalah kesadaran masyarakat desanya yang kini tumbuh. Mereka mulai menyadari pentingnya menjaga mangrove dan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik. Bahkan, cinta Rudi terhadap mangrove juga tercermin dalam nama anak pertamanya. “Saya beri nama anak laki-laki saya, Rizki Rizopora, yang artinya rezeki mangrove. Saya berharap generasi berikutnya bisa melanjutkan apa yang kami mulai.”
Pada tahun 2022, saya diberi kehormatan untuk menerima penghargaan Kalpataru sebagai perintis lingkungan termuda dari Presiden Republik Indonesia. Saya juga diberi kesempatan untuk berbicara di acara G20. Semua ini membuktikan bahwa anak kampung seperti saya bisa membuat perubahan besar untuk lingkungan.
Cinta saya terhadap mangrove bahkan tercermin dalam nama anak pertama saya yang lahir dua tahun lalu. Saya memberinya nama Rizki Rizopora, yang berarti Rezeki Mangrove.
Masa Depan Ada di Tangan Pemuda
Rudi Hartono adalah contoh nyata bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil. “Lebih baik melakukan satu hal kecil yang konsisten untuk alam dan lingkungan, daripada seribu teori tanpa aksi,” katanya.
“Kalau bukan kita yang menjaga alam ini, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Saya berharap generasi muda bisa terjun langsung melestarikan lingkungan, karena masa depan Indonesia ada di tangan pemuda. Lebih baik melakukan satu hal kecil yang konsisten daripada seribu teori tanpa aksi.”
“Mangrove Adalah Nyawa”: Perjuangan Yudi Amsoni Melawan Penambangan Ilegal di Belitung Timur
“Mangrove adalah nyawa,” ungkap Yudi Amsoni, sosok pejuang lingkungan dari desa kecil Sukamandi, Belitung Timur. Di usianya yang ke-46, Yudi, yang akrab disapa Yudi Senga, telah mendedikasikan hidupnya untuk satu tujuan besar: menyelamatkan mangrove—penjaga kehidupan pesisir yang kian terancam oleh penambangan liar. Ucapannya tersebut menggetarkan saat acara Mangrove for Future di Hotel Kempinski, Jakarta, pada 26 Juli lalu, menggema sebagai seruan mendalam bagi kelestarian alam.
Sebagai nelayan, Yudi tidak hanya bergelut dengan laut, tetapi juga menjadi ujung tombak perjuangan melawan perusakan mangrove di desanya. “Saya nelayan, tapi tugas saya bukan hanya mencari ikan. Mangrove adalah bagian dari hidup saya, bagian dari masa depan kita semua,” tegasnya.
Yudi adalah ketua Komunitas Akar Bakau, organisasi yang ia dirikan bersama teman-temannya untuk melestarikan wilayah pesisir yang menjadi jantung kehidupan masyarakat. Ia juga aktif di Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Belitung Timur, berjuang menjaga keseimbangan ekosistem sungai dan pesisir. Namun, tantangan yang dihadapi Yudi dan komunitasnya bukanlah hal sepele. Desa Sukamandi berada di tengah wilayah yang lebih dari 75% penduduknya bergantung pada penambangan, termasuk penambangan timah ilegal.
“Mereka meminta saya mencabut laporan di Polres Belitung Timur,” ujar Yudi, mengisahkan pengalamannya menghadapi tekanan dari penambang ilegal. “Bahkan, ada yang datang menawarkan mobil dan uang senilai 60 juta rupiah. Tapi saya tolak. Ini bukan tentang uang, ini tentang masa depan lingkungan kita.”
Penolakan Yudi terhadap tawaran sogokan tersebut bukanlah keputusan yang mudah. Ancaman intimidasi dan persekusi menghantuinya. “Mereka datang, mengintimidasi saya, mendatangi rumah saya. Tapi saya tidak goyah, karena mangrove ini adalah nyawa bagi kami yang tinggal di pesisir. Kalau bukan kita yang melindunginya, siapa lagi?”
Penambangan ilegal di wilayah ini sudah mencapai titik kritis. “Akar mangrove ditombak, disedot dengan mesin untuk mengambil timah, airnya merendam akar mangrove, dan akhirnya mangrovenya mati,” ungkapnya. Kerusakan yang diakibatkan penambangan ini bahkan terlihat jelas dari citra satelit, di mana hutan-hutan mangrove yang dulu hijau kini tinggal kerangka.
Menurut Yudi, kondisi mangrove di Belitung Timur semakin parah. Selain ancaman dari tambang liar, mangrove juga dihadapkan pada masalah perkebunan kelapa sawit, pembangunan hotel, dan pemukiman yang menggerus hutan-hutan pesisir. “Mangrove di Belitung Timur itu lagi sakit. Ini ancamannya bukan cuma tambang ilegal, tapi juga abrasi dan pemanasan global yang menggerogoti pesisir kita,” katanya dengan nada prihatin.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menjaga ekosistem ini. “Saya nggak bisa jaga sendirian. Kita harus berkolaborasi—dari pemerintah, akademisi, mahasiswa, sampai masyarakat umum. Mangrove ini bukan sekadar tanaman, tapi bagian dari diri kita sebagai bangsa Indonesia,” serunya penuh harap.
Selain menjaga ekosistem, Yudi juga punya mimpi besar untuk desanya. Ia ingin kawasan pelestarian mangrove yang telah dibangunnya menjadi pusat edukasi dan wisata alam bagi generasi muda.
“Saya ingin tempat ini jadi sekolah alam, sekolah merdeka. Anak-anak bisa belajar langsung dari alam, bukan cuma di kelas. Mereka harus tahu betapa pentingnya menjaga lingkungan,” kata Yudi.
Baginya, ini bukan sekadar tanggung jawab pribadi, tetapi juga kebutuhan mendasar manusia. “Semua orang butuh oksigen, butuh udara yang sejuk, butuh perlindungan dari bencana alam. Dan mangrove bisa memberi semua itu,” tegasnya.
“Mangrove Adalah Nyawa”
Ketika berbicara tentang mangrove, Yudi tak sekadar menyuarakan pandangan pribadi, melainkan panggilan dari hati nuraninya yang paling dalam. “Saya ini anak dari mangrove. Sejak kecil, ayah dan ibu saya mencari kepiting, udang, dan ikan di hutan mangrove untuk membesarkan saya. Itu sudah jadi bagian dari diri saya—darah, tulang, dan daging saya berasal dari mangrove,” ujarnya dengan nada emosional.
Pesannya kepada para pemimpin dan pembuat kebijakan sangat jelas. “Ini bukan proyek sekali jalan. Ini amanah. Mangrove harus dilindungi, bukan hanya direhabilitasi setelah rusak. Kalau kita hanya menanam kembali tanpa menjaga yang sudah ada, itu sama saja seperti mengembalikan motor yang sudah rusak, hanya tersisa kaca spionnya,” ucapnya dengan perbandingan yang sederhana namun kuat.
Di akhir pidatonya, Yudi menutup dengan pesan yang menggugah: “Mangrove adalah nyawa. Ini bukan hanya tanggung jawab saya, tapi kita semua. Kita harus menjaga bumi ini sebelum terlambat. Kalau tidak, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya.”
Banjir dan Sungai yang Tercemar
Kabupaten Belitung Timur, yang memiliki luas 250.700 hektar, adalah rumah bagi sekitar 119.807 penduduk yang tersebar di 39 desa. Di kabupaten ini, terdapat sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berperan penting sebagai sumber air baku bagi masyarakat, termasuk DAS Manggar (27.472,57 hektar), DAS Linggang (73.590,68 hektar), DAS Pala (6.053,49 hektar), DAS Senusur (8.537,44 hektar), DAS Pakem (638,73 hektar), dan DAS Batu Itam (1.522,20 hektar). Namun, selama beberapa dekade terakhir, DAS-DAS ini menghadapi ancaman serius yang berujung pada bencana banjir dan pencemaran air.
Sebuah penelitian berjudul “Analisis Banjir Belitung Timur” yang dilakukan oleh Fadillah Sabri, Taufik Aulia, dan Mega Tresnanda pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa keenam DAS ini merupakan daerah terdampak bencana, dengan total luas area banjir mencapai 152.477,70 hektar. Bencana banjir pertama kali tercatat terjadi pada 14-16 Juli 2017, dengan ketinggian air mencapai 2 hingga 3 meter. Banjir besar ini bukan hanya diakibatkan oleh faktor alam, tetapi juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang merusak keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut.
Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan banjir di Belitung Timur. Faktor pertama adalah faktor alam, termasuk pendangkalan sungai, sumbatan sungai, curah hujan yang tinggi, dan topografi wilayah yang relatif datar. Sungai-sungai yang semula menjadi jalur aliran air kini mengalami penyempitan dan pendangkalan akibat erosi dan sedimentasi, memperlambat aliran air dan meningkatkan risiko banjir saat hujan deras turun.
Faktor kedua, yang lebih signifikan, adalah aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Pada periode antara tahun 2008 hingga 2016, luas areal perkebunan di wilayah ini meningkat drastis dari kurang dari 300 ribu hektar menjadi lebih dari 350 ribu hektar. Ekspansi lahan perkebunan ini tidak hanya mengurangi luas tutupan hutan yang berperan penting dalam menyerap air hujan, tetapi juga mempercepat aliran permukaan yang menyebabkan banjir.
Selain itu, keberadaan kolong atau lubang-lubang bekas tambang, yang sebagian besar merupakan hasil dari tambang ilegal, turut berkontribusi terhadap bencana banjir. Lubang-lubang ini mengganggu aliran normal sungai, menyebabkan air tergenang dan sulit mengalir dengan lancar. Menurut penelitian, lubang-lubang tambang ini tidak hanya merusak lanskap, tetapi juga menyebabkan pencemaran air, yang berdampak langsung pada kualitas air baku yang digunakan oleh masyarakat.
Belitung Timur, seperti banyak wilayah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dikenal dengan kekayaan timahnya. Namun, kekayaan alam ini telah dieksploitasi secara berlebihan melalui aktivitas tambang ilegal, meninggalkan ratusan kolong atau lubang-lubang besar yang tidak direklamasi. Kolong-kolong ini tidak hanya membahayakan manusia yang tinggal di sekitarnya, tetapi juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan.
Kolong tambang yang dibiarkan menganga menyebabkan terganggunya jalur aliran air, memperbesar risiko banjir, dan menyebabkan penurunan kualitas air di sungai-sungai yang ada. Air yang melewati daerah eks tambang sering kali tercemar oleh limbah tambang, sehingga menjadi tidak layak konsumsi bagi masyarakat. Masalah ini tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga mengancam keberlangsungan ekosistem sungai yang menjadi habitat berbagai spesies ikan dan tumbuhan air.
Upaya Pemulihan yang Perlu Ditingkatkan
Meskipun telah ada berbagai upaya dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk menangani masalah ini, tantangan yang dihadapi masih besar. Pemulihan ekosistem DAS dan reklamasi kolong tambang membutuhkan perhatian serius dan kolaborasi antara berbagai pihak.
Salah satu solusi yang harus diprioritaskan adalah reklamasi kolong tambang dan pemulihan lahan kritis melalui penanaman kembali hutan, khususnya di sekitar DAS. Penanaman mangrove dan pohon-pohon lokal yang berfungsi sebagai penyerap air dapat membantu mengurangi risiko banjir dan memperbaiki kualitas air di sungai-sungai.
Pendidikan lingkungan dan partisipasi masyarakat juga menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan ekosistem DAS. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan mengurangi aktivitas yang merusak, seperti penambangan ilegal, diharapkan wilayah Belitung Timur bisa pulih dari ancaman banjir dan pencemaran air yang terus mengintai.
Banjir besar yang melanda Belitung Timur pada tahun 2017 menjadi peringatan akan dampak serius dari kerusakan lingkungan yang tidak terkontrol. Kolong tambang yang dibiarkan begitu saja dan perubahan penggunaan lahan tanpa perencanaan matang telah menimbulkan bencana yang mempengaruhi ribuan jiwa.
Kini, tantangan terbesar adalah bagaimana kita bisa memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, menjaga keseimbangan alam, dan melindungi sumber daya air yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Belitung Timur. Bencana banjir ini menjadi pengingat bahwa kita tidak bisa terus-menerus mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan dampaknya. Hanya dengan sinergi antara manusia dan alam, Belitung Timur dapat kembali menjadi daerah yang lestari dan aman dari ancaman banjir serta pencemaran air.
Loesye Fainno: Perempuan Pejuang Mangrove dari Papua Barat
Di Sorong, Papua Barat, ada sebuah komunitas yang dengan sepenuh hati menjaga ekosistem mangrove mereka. Bagi mereka, kawasan ini lebih dari sekadar hutan bakau.
“Di tempat kami, pertama ada burung, kemudian ikan, dan semua kehidupan yang bergantung pada alam ini,”
Mereka menjaga wilayah ini bukan hanya karena pentingnya bagi lingkungan, tetapi juga karena nilai budaya dan spiritual yang mendalam. “Di Selat Rampir, ikan bertelur di sana sebelum keluar ke laut lepas,”
Kawasan ini adalah tempat leluhur mereka, tempat pertemuan dengan alam dan sumber makanan yang menopang kehidupan sehari-hari mereka.
Yang membuat kawasan ini unik adalah ekosistemnya yang berbeda dari yang lain. Biasanya, mangrove tumbuh diikuti oleh lamun, kemudian terumbu karang. Namun, di sini, mangrove langsung bersebelahan dengan terumbu karang yang masih sangat sehat. Keunikan ini tidak hanya menjadi kebanggaan, tetapi juga potensi wisata yang tidak ditemukan di tempat lain.
Meski memiliki potensi wisata, komunitas ini tetap menjaga kawasan tersebut dengan prinsip keberlanjutan. “Banyak pengusaha pariwisata yang belum menjual kawasan ini sebagai paket wisata. Ini menjadikan tempat kami benar-benar eksklusif,” Di sepanjang aliran sungai, terumbu karang tumbuh subur, menambah daya tarik kawasan ini.
Mereka juga menerapkan program adopsi mangrove. Wisatawan yang datang dapat menanam pohon dengan harga Rp50.000, tetapi banyak dari mereka yang rela membayar lebih, bahkan hingga Rp500.000 untuk satu pohon. Pohon-pohon ini kemudian dijaga dengan penuh dedikasi oleh komunitas.
Selain itu, mereka mengelola produk turunan dari mangrove, menjual bibit, dan mendukung edukasi lingkungan secara mandiri. Meskipun ada dukungan dari pemerintah, komunitas ini terus berinovasi dan bekerja keras untuk melestarikan lingkungan mereka. Mereka membuktikan bahwa pelestarian alam dan kehidupan ekonomi dapat berjalan beriringan, selama ada komitmen dan kerja sama.
Demikianlah cuplikan film documenter pendek yang diperankan oleh Loesye Fainno, seorang perempuan pejuang mangrove di sorong, papua barat. Film ini mengisahkan, sebuah kelompok perempuan tangguh berjuang mempertahankan ekosistem mangrove yang telah menjadi sumber kehidupan bagi komunitas mereka di pesisir Sorong, Papua Barat. Kelompok Perempuan Tani Hutan Mangrove Kawan Pesisir, dipimpin oleh Loesye Fainno, telah menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan mangrove di kawasan tersebut.
“Kami tidak hanya menjaga mangrove untuk kami, tetapi untuk anak cucu kami dan juga untuk seluruh dunia. Hutan ini adalah sumber kehidupan, dari burung hingga ikan, bahkan terumbu karang yang sehat tumbuh di bawahnya,” kata Loesye dihadapan para peserta acara “Mangrove for Future” dalam Perayaan Hari Mangrove Sedunia, di Hotel Kempinski, Jakarta, pada 26 Juli lalu.
Keunikan hutan mangrove yang langsung bersebelahan dengan terumbu karang menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka.
“Biasanya ada lamun dulu baru karang, tapi di sini, mangrove langsung bersentuhan dengan karang yang masih sangat sehat,” jelasnya.
Bagi Loesye dan komunitasnya, mangrove bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga warisan budaya. “Di sini, kami melakukan sesembahan kepada leluhur, bertemu, dan mencari makan untuk kehidupan sehari-hari kami. Itulah mengapa kami benar-benar menjaga tempat ini,” tambahnya.
Selain menjaga ekosistem, kelompok ini juga menginisiasi program adopsi mangrove bagi wisatawan.
“Ketika wisatawan datang, kami menawarkan mereka untuk menanam satu pohon. Satu pohon ini adalah simbol peran mereka dalam menjaga bumi,” ujar Loesye. Program ini telah mendapat sambutan hangat, dengan beberapa wisatawan rela membayar lebih dari yang ditetapkan.
Melalui komitmen dan dedikasi, Loesye Fainno dan kelompoknya tidak hanya melestarikan lingkungan, tetapi juga menghidupkan kembali ekonomi lokal dengan menjual bibit mangrove, produk turunan, serta mendukung edukasi tentang pentingnya ekosistem ini. “Kami ingin semua orang tahu, bahwa hutan mangrove ini adalah masa depan kami,” tutup Loesye dengan penuh semangat.
Lalu apa kata Pemerintah?
Rangkaian kegiatan Mangrove for Future yang digelar selama dua hari, 26-27 September, menjadi bagian dari peringatan Hari Mangrove Sedunia. Hari ini, acara berfokus pada diskusi dengan masyarakat dan generasi muda, setelah sehari sebelumnya membahas kebijakan, regulasi, dan pembiayaan terkait pelestarian mangrove.
“Para tokoh yang hadir di sini mewakili upaya pelestarian mangrove dari ujung barat hingga timur Indonesia. Ada Bu Lucy dari Papua, Pak Yudi dari Bangka Belitung, dan Pak Rudi dari Kalimantan Barat. Mereka ini adalah gambaran masyarakat kita yang sangat peduli dan berjuang keras demi kelestarian mangrove, bahkan hingga mengorbankan segalanya,” kata Ayu Dewi Utari, Sekertaris BRGM Usai pembukaan Peringatan Hari Mangrove Sedunia, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang bertajuk “Mangrove for Future” pada 26-27 Juli 2024.
Acara ini katanya, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama kalangan muda, mengenai pentingnya peran mangrove dalam menjaga keseimbangan lingkungan, serta cara melindungi dan melestarikannya.
Dikatakan, acara ini juga menjadi ajang berbagi kisah inspiratif dari para pejuang lingkungan yang telah menjadi role model bagi masyarakat luas.
“Walaupun tidak semua orang memiliki kemampuan seperti narasumber kita, keberanian mereka dalam menghadapi tantangan di lapangan patut kita teladani,” lanjutnya.
Sementara itu Kepala BRGM, Hartono mengatakan kehadiran para pejuang di acara peringatan mangrove 2024 tujuannya adalah untuk menceritakan kisah mereka sebagai pejuang mangrove selain itu adalah untuk membangun gerakan dari kecil hingga menjadi gerakan masal yang memiliki modal sosial kuat dalam memperjuangkan lingkungan.
“Semakin banyak yang terlibat, semakin kuat gerakan kita. Salah satunya diperkuat melalui acara siang ini yang menyuarakan pentingnya perjuangan menyelamatkan mangrove, bukan hanya untuk kita, tetapi juga demi kehidupan di planet bumi. Karena mangrove adalah nyawa,” pungkasnya.
Acara ini katanya diharapkan dapat memperkuat komitmen bersama untuk menjaga ekosistem mangrove dan menyelamatkan lingkungan, serta menginspirasi lebih banyak orang untuk bergabung dalam upaya pelestarian ini.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong, menegaskan bahwa pengelolaan mangrove oleh masyarakat tetap berada di bawah pengawasan dan aturan yang jelas. Hal ini disampaikannya kepada awak media dalam sebuah wawancara hari ini.
“Dikelola oleh masyarakat itu tidak berarti dibiarkan begitu saja. Ada aturan yang mengatur hal tersebut dalam Peraturan Pemerintah (PP). Meski berada di luar kawasan hutan (APL), area tersebut masih dapat berfungsi sebagai hutan produksi, hutan kota, atau untuk penghijauan dan lain sebagainya. Fungsi hutannya tetap harus dijaga,” jelas Alue.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa perlindungan terhadap hutan, termasuk hutan mangrove yang berada di lahan milik pribadi, sudah diatur oleh undang-undang. “Masyarakat masih bisa memanfaatkan hutan di APL, namun tetap harus memperhatikan fungsinya. Misalnya, jika memiliki lahan mangrove seluas dua hektare, tidak mungkin seluruhnya dibangun menjadi bangunan. Harus ada upaya untuk menanam atau menjaga mangrove yang tersisa,” tambahnya.
Ketika ditanya mengenai sanksi bagi pihak yang menyalahgunakan lahan mangrove, Alue menegaskan bahwa pelanggaran terhadap aturan tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Tentu ada sanksi hukum bagi yang melanggar, mulai dari sanksi administratif, pidana, hingga sanksi lainnya sesuai aturan,” pungkasnya.
Pernyataan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga dan mengelola hutan mangrove, meskipun berada di lahan milik pribadi, demi menjaga ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.
Upaya Rehabilitasi Ekosistem Berkelanjutan
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong, mengungkapkan bahwa luas mangrove di Indonesia mencapai 3,44 juta hektar, atau 20% dari total luas mangrove dunia.
“Dengan luas tersebut, ekosistem mangrove Indonesia memiliki potensi besar dari segi ekologi hingga mata pencaharian masyarakat,” kata Alue dalam sambutannya Dalam acara “Mangrove for Future” yang diadakan di Hotel Kempinski, Jakarta, pada 26 Juli lalu. Indonesia katanya, memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia, sebuah fakta yang menjadi kebanggaan sekaligus tantangan besar.
Dari sisi ekologi, mangrove berfungsi sebagai rumah bagi 3.000 spesies ikan, menjadi penahan erosi pantai, dan menjaga keseimbangan lingkungan dengan menyerap karbon hingga tiga hingga lima kali lebih banyak dibandingkan hutan tropis lainnya. Berdasarkan data terbaru, hutan mangrove Indonesia menyimpan sekitar 3,14 miliar ton karbon—sepertiga dari total karbon dunia. “Ini menjadikan mangrove sebagai salah satu kunci dalam mitigasi perubahan iklim,” tambah Alue.
Komitmen Pemerintah untuk Rehabilitasi Mangrove
Komitmen pemerintah Indonesia terhadap pelestarian mangrove tidak diragukan lagi. Melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Indonesia bertekad merehabilitasi 600 ribu hektar mangrove, terbagi dalam dua target utama: 200 ribu hektar untuk penanaman kembali dan 400 ribu hektar untuk pengelolaan berkelanjutan.
“Ini bukan sekadar soal menanam, tetapi juga bagaimana memastikan masyarakat dapat memanfaatkan mangrove secara berkelanjutan,” kata Hartono, Kepala BRGM, dalam pidatonya.
Alue menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat untuk memastikan keberhasilan program rehabilitasi mangrove ini.
“Aksi rehabilitasi harus dilandasi oleh penguatan regulasi, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan potensi ekonomi mangrove,” katanya. Ia menekankan bahwa kesejahteraan masyarakat pesisir tidak bisa dipisahkan dari keberlanjutan ekosistem mangrove.
Sinergi Lintas Sektor dan Tantangan Pembiayaan
Selain upaya rehabilitasi, diskusi dalam Mangrove for Future juga menyoroti tantangan utama dalam pengelolaan ekosistem mangrove, salah satunya adalah masalah pembiayaan. BRGM melibatkan berbagai sektor swasta untuk membantu mempercepat rehabilitasi mangrove. Perusahaan seperti PT Indika Energy, PT Pertamina Hulu Rokan, dan PT Inalum berkomitmen memberikan dukungan dalam bentuk pembiayaan dan partisipasi langsung di lapangan.
Namun, rehabilitasi mangrove bukanlah tugas yang mudah. Menurut Alue, sinergi antar kementerian, pemerintah daerah, perguruan tinggi, hingga masyarakat tingkat tapak sangat krusial. Diskusi antar ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan IPB University membahas bagaimana pengaturan ruang dan batasan wilayah menjadi kunci keberhasilan rehabilitasi.
Anak Muda di Garda Terdepan Pelestarian Lingkungan
Mangrove merupakan ekosistem vital yang sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak. Di Indonesia, hutan mangrove berperan besar dalam menjaga siklus air, mendukung keanekaragaman hayati, menyediakan jasa lingkungan, dan memainkan peran penting dalam mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Dengan luas sekitar 3,44 juta hektare, Indonesia menyumbang lebih dari 45% ekosistem mangrove di Asia dan 20% di dunia, sebagaimana tercatat dalam Peta Mangrove Nasional 2023.
Namun, keberadaan mangrove di berbagai daerah terancam oleh berbagai aktivitas manusia, seperti konversi lahan menjadi pemukiman atau tambak. Oleh sebab itu, BRGM terus menggencarkan upaya rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi prioritas, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020. Targetnya adalah merehabilitasi 600.000 hektare mangrove, sebuah tantangan besar yang memerlukan dukungan luas dari masyarakat.
Pada tema “Anak Muda dan Isu Lingkungan” BRGM mengajak Gen Z untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian mangrove. Melalui dialog interaktif, generasi muda diajak untuk lebih peduli terhadap kondisi lingkungan dan terlibat dalam kampanye-kampanye pelestarian yang berbasis digital.
Acara ini menghadirkan berbagai pembicara inspiratif yang dekat dengan dunia anak muda dan media digital. Salah satunya adalah Jovial Da Lopez, Chief Creative Officer dari Narasi TV dan content creator yang dikenal luas oleh Gen Z. Jovial membawakan topik “Digital Warriors: Selamatkan Mangrove lewat Media Sosial”, di mana ia berbagi tips tentang bagaimana kampanye lingkungan dapat efektif melalui platform media sosial. Jovial juga memberikan pandangan menarik tentang bagaimana generasi muda melihat isu mangrove dan pentingnya peran mereka dalam menyuarakan masalah lingkungan.
Selain itu, Joni Aswira Putra, Ketua Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), berbagi cerita tentang “Di Balik Layar: Tantangan Jurnalis Lingkungan”. Ia mengupas berbagai tantangan yang dihadapi jurnalis saat meliput isu lingkungan, serta bagaimana liputan yang kuat bisa membangun kesadaran publik secara lebih luas.
Hilmi Faiq, Jurnalis dari Kompas.id, hadir dengan topik “Mangrove Hits di Dunia Digital!”, membahas pengalamannya dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya mangrove melalui kampanye digital. Hilmi menunjukkan bagaimana penggunaan media digital bisa menjadi alat ampuh untuk menyebarkan kesadaran tentang isu-isu lingkungan.
BRGM mengajak siswa SMA, mahasiswa, NGO/LSM, komunitas lingkungan, pecinta alam, hingga jurnalis untuk berpartisipasi dalam acara ini. Melalui kampanye seperti ini, diharapkan anak muda dapat menjadi agen perubahan yang aktif dalam pelestarian mangrove dan turut serta dalam upaya rehabilitasi ekosistem yang penting bagi masa depan lingkungan.
Dengan wawasan yang lebih luas tentang pentingnya mangrove dan cara-cara melestarikannya, generasi muda diharapkan semakin tergerak untuk berperan sebagai pahlawan lingkungan. Mangrove bukan hanya sekadar tanaman di pesisir pantai, melainkan benteng alam yang melindungi ekosistem dan kehidupan manusia di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.
Acara ini juga melibatkan generasi muda, dengan partisipasi aktif content creator seperti Jovial da Lopez, yang membahas pentingnya peran media sosial dalam meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan Generasi Z. Puteri Bumi, Nur Afrah Maryam Insani (Nami), turut hadir memberikan apresiasi kepada masyarakat yang berperan aktif dalam rehabilitasi mangrove.
“Mangrove for Future adalah ruang bagi kami generasi muda untuk terlibat aktif dalam isu-isu lingkungan dan berkontribusi bagi masa depan,” ujar Nami.
Dengan momentum Hari Mangrove Sedunia, Mangrove for Future menjadi tonggak penting dalam menyatukan berbagai pihak untuk mewujudkan rehabilitasi mangrove yang bersinergi dan berkelanjutan. (Christ Belseran)
Discussion about this post