Ketika negara menarik langkah, tokoh adat dan masyarakat Seram Selatan tak tinggal diam.
Di tengah hutan hujan Gunung Binaiya, pencarian seorang anak manusia bernama Firdaus Ahmad Fauzi berubah menjadi panggilan nurani dan harga diri.
Bernard Lilihata: Dari Pal Batas ke Titik Nol Binaiya
Bernard Lilihata tampak anggun dan tegap di balik piyama maroon yang ia kenakan. Sebuah syal merah bermotif garis putih melilit lehernya, menambah kesan maskulin. Tangannya sibuk menyusunkan jemari—entah karena canggung, gugup, atau fokus—saat ia berbicara di Balai Desa Hatumete, Tehoru, Maluku Tengah, Sabtu, 10 Mei.
Lelaki kelahiran Welora, Seram Utara, 41 tahun lalu itu bukan tokoh sembarangan. Februari lalu, ia memimpin langsung aksi penolakan pemasangan pal batas hutan adat Hatumete. Kini, ia berdiri sebagai Latupati, atau pemimpin musyawarah adat antar-negeri, menghadapi persoalan yang lebih pelik: pencarian Firdaus Ahmad Fauzi (27), pendaki asal Jawa Barat yang hilang di Gunung Binaiya.
Dua pekan sudah Firdaus tak kunjung ditemukan. Balai Taman Nasional Manusela (BTNM) secara resmi menghentikan operasi pencarian karena dianggap “sangat-sangat-sangat berisiko”.
Bernard tak terima. “Katong suadara. Daus su datang dari jauh, dia su jadi anak Maluku. Kalau negara lepas tangan, kita adat yang bergerak,” katanya tegas.

Keputusan untuk kembali mengorganisasi pencarian bukan keputusan mudah. Apalagi ketika pihak Balai Taman Nasional enggan memberikan izin resmi karena mempertimbangkan keselamatan.
Femi Lamasano, salah satu relawan pencarian, mengatakan inisiatif ini lahir dari koordinasi intens antara pihak keluarga Firdaus dan Latupati. “Ini langkah cepat. Balai sudah angkat tangan. Kami tak bisa diam.”
Lamasano menemui Bernard dua hari sebelumnya, memohon agar sepuluh negeri di Kecamatan Tehoru diikutsertakan. Hasilnya: surat undangan dikirim ke semua pemangku kepentingan, termasuk desa-desa dalam kawasan TN Manusela seperti Kanike dan Saunolu.
“Semua bersatu, semua bergerak. Tapi untuk masuk kawasan, kami tetap butuh izin,” kata Bernard. Tatapannya lurus ke arah Kepala Resort Saunolu, Sugeng Hanaoyo, yang hadir dalam rapat koordinasi itu.
Sugeng tampak gelisah. Beberapa kali ia berbisik ke koleganya sebelum bicara. “Saya punya kepedulian yang sama. Tapi saya harus laporkan ke atasan.”
Di titik itu, perdebatan berubah menjadi pertarungan diam antara prosedur birokrasi dan suara hati masyarakat.

Bernard menatap Sugeng dalam-dalam. Suaranya mengeras seperti palu adat. “Katong bukan main-main. Ini soal nyawa. Ini soal tanggung jawab moral. Kami tahu kawasan ini masuk TN. Tapi upaya pencarian bukan tanpa kesadaran. Kami bergerak karena manusia.”
Ia memohon agar Kepala Balai memberi izin. “Beta minta supaya antua kasi izin. Supaya katong bisa masuk sah, bukan seperti maling malam-malam,” katanya getir.
Rapat itu menjadi saksi betapa suara rakyat kecil bisa menggemakan ruang yang sering dibekap birokrasi.
Di Tengah Rimba dan Hujan yang Turun
Rinai hujan mulai turun, merembes lembut dari celah atap balai. Suara Kapolsek Tehoru, Iptu Arfan Slamet, hampir tak terdengar. Ia pun berdiri. Tubuhnya jangkung, suaranya tenang dan berat.
“Kita semua harus jaga keselamatan relawan. Tapi kita juga harus berusaha. Daus itu saudara kita,” katanya. “Dia datang ke Maluku, berarti dia sudah jadi anak negeri ini.”
Ia mengingatkan agar para relawan tetap memperhatikan tanda-tanda dan larangan. Hutan Binaiya, katanya, bukan hanya jalur pendakian tapi juga ruang sakral ciptaan Tuhan yang penuh misteri.

Saat dihubungi via WhatsApp, Kepala Balai TN Manusela, Deny Rahadi, mengakui pihaknya sudah mengetahui adanya rapat koordinasi. Tapi ia menegaskan pencarian telah dihentikan dan keputusan itu bersifat final.
“Relawan boleh pasang badan, tapi kalau ada yang cedera, siapa bertanggung jawab?” katanya. Menurutnya, keputusan itu sudah melalui evaluasi dan risk assessment menyeluruh selama dua pekan.
“Kalau terjadi sesuatu pada tim relawan, jangan sampai justru mereka yang dicari,” tambahnya.
Ia memaklumi bahwa keluarga ingin terus mencari, tapi menurutnya semua harus dilakukan dengan kepala dingin. “Saya paham. Tapi jangan biarkan kemanusiaan melupakan logika.”
Percakapan itu berakhir dengan nada yang tak selesai. “Tolong dipahami” Telepon terputus. Keheningan menggantung.

Harapan dari Tanah yang Menyimpan Jejak
Di Balai Desa Hatumete, suasana perlahan reda. Hujan masih turun, samar-samar. Imam Fauzi, kakak Firdaus, duduk diam. Ia menyimpan raut tegas sejak pertama kali tiba dari Jawa Barat. Ia tahu, harapannya kini bergantung pada tekad masyarakat lokal—pada keberanian Latupati, relawan, dan para penjaga hutan adat.
Di tengah serba-takpastian ini, satu hal yang pasti: ikatan antara manusia, hutan, dan nurani tetap hidup.

Gunung Binaiya, dengan segala keangkuhan dan keanggunannya, kini menunggu. Entah akan memberikan Firdaus kembali, atau menyimpannya sebagai bagian dari rahasia agungnya. Tapi rakyat Seram Selatan, dan mereka yang mengingatnya, tidak akan berhenti sampai jawaban ditemukan.
Sebab di tanah ini, jika negara diam, adat bersuara.
Penulis: Sofyan Hattapayo
