SILAS Apalem, dipanggil Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru, 12 Juli 2019. Sore itu, bersama marga dari desa lain, dia mendengar sosialisasi mengenai investasi peternakan sapi yang akan masuk di Aru Selatan.
“Di situ dijelaskan tindak lanjut kepastian proses perolehan lahan,” katanya kepada tim kolaborasi, Juni lalu. Seorang yang mengenalkan diri bernama Haji Bambang, memberikan sosialisasi rencana empat perusahaan masuk ke Aru Selatan. Saat itu, kapasitas Silas sebagai Ketua Marga Apalem di Desa Popjetur.
Dalam sosialisasi itu Bambang, kata Silas, menjanjikan ada beasiswa sekolah anak dan perumahan kalau warga menerima usaha peternakan sapi itu.
“Apabila ada satu marga dari Desa Popjetur yang terima usaha peternakan empat perusahan ini maka jaminannya, saya akan kontrak 60 tahun dengan jaminan biaya anak akan sekolah dari SD sampai perguruan tinggi,” begitu kira-kira janji yang ditawarkan kepada warga di ruangan bupati.
Kemudian, rumah-rumah di desa akan diperbaiki termasuk rumah ibadah, dan sarana pendidikan. Juga, akan bangun jalan, air bersih, dan listrik akan masuk.
Setiap keluarga akan dapat bantuan sepasang sapi. Warga bisa tanam pakan ternak, lalu jual ke perusahaan. “Itu penjelasan yang saat itu kami terima.”
Perwakilan perusahaan itu, kata Silas, juga menjanjikan posisi manajer kepada marga yang setuju peternakan sapi masuk.
Kala itu, warga tak tahu luasan lahan yang akan dipakai. Pasca sosialisasi itu, Silas tak pernah lagi mendengar kehadiran perusahaan di desa mereka. Bahkan, sejumlah bantuan yang dijanjikan mereka, tak satu pun terealisasi.
Empat hari selang bupati memanggil ketua-ketua marga itu, tepatnya, 16 Juli 2019, izin peternakan sapi di Kepulauan Aru, kepada empat perusahaan keluar seluas 61. 567 hektar!
Perusahaan-perusahaan itu adalah, PT Kuasa Alam Gemilang (KAG), PT Bintang Kurnia Raya (BKR), PTCakra Bumi Lestari (CBL) dan PT Ternak Indah Sejahtera (TIS).
Tim berupaya mendapatkan informasi lebih jelas tentang rencana peternakan kepada perusahaan-perusahaan ini tetapi hingga laporan in diterbitkan, Mongabay Indonesia tidak mendapatkan jawabantak bisa dihubungi.
Tim menghubungi telepon kantor yang tertera pada alamat kantor yang disebutkan dalam dokumen Ditjen AHU, tetapi tak terhubung. Dari empat perusahaan, hanya tiga–KAG, CBL dan BKR–yang punya kantor di Jakarta. Tim pun mendatangi kantor-kantor perusahaan ini pada 4 Agustus lalu juga tak membuahkan hasil. Alamat kantor memang seperti yang tertera, tetapi tak ada karyawan yang standby di kantor itu.
Kami pun ingin menggali soal peternakan sapi di Aru ke Kementerian Pertanian. Kementerian sektoral yang mengurusi peternakan sapi ini pun menyatakan tak tahu menahu.
“Maaf kami belum dapat info terkait hal tersebut, mungkin bisa dikomunikasikan dengan pemda setempat,” jawab Nasrullah, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, 22 Juli lalu.
Masyarakat adat menolak peternakan sapi karena khawatir menyengsarakan mereka. Marga-marga pemilik petuanan yang akan jadi lokasi investasi juga menolak. Ada sebagian kecil menerima.
Rencana ubah hutan dan dan lahan menjadi peternakan sapi skala besar akan berdampak penuh pada kehidupan masyarakat adat di Kepulauan Aru. Ekosistem savana, tempat masyarakat Aru berburu secara tradisional (tordauk) akan hilang sama sekali kalau itu terjadi. Belasan desa bakal terdampak kalau peternakan sapi skala besar masuk, termasuk Popjetur.
Penolakan antara lain oleh Masyarakat Adat Popjetur dan Marfenfen di Kecamatan Aru Selatan. Dua komunitas adat ini kuat jalankan adat istiradat. Mereka punya sejarah, struktur kelembagaan adat, wilayah petuanan adat, tradisi/ritual adat, dan aturan pemanfaatan wilayah (adat).
Aturan pembagian dan pemanfaatan wilayah adat atau petuanan (tanah ulayat) Masyarakat Adat Popjetur dan Marfenfen, sudah ada turun temurun. Masing-masing komunitas adat memiliki petuanan atau tanah ulayat yang terdiri dari petuanan darat maupun laut dengan batas jelas serta aturan pembagian dan pemanfaatannya.
Obaja Siarukin (63), Ketua Marga Siarukin mengatakan, fanua atau desa dalam sistem kepemilikan atau penguasaan petuanan (tanah ulayat) adat di Popjetur dan Marfenfen, terdiri dari kepemilikan marga atau mata belang dan kepemilikan kampung atau nata atau fanua.
Petuanan marga atau mata belang merupakan wilayah ulayat yang hanya bisa dimanfaatkan oleh anggota marga atau mata belang wilayah itu. Untuk petuanan kampung atau nata atau fanua merupakan wilayah ulayat yang dikuasai pemerintah desa, dapat dimanfaatkan seluruh masyarakat yang mendiami kampung.
“Kedua petuanan ini memiliki aturan pemanfaatan bagi pihak-pihak di luar marga atau mata belang atau kampung, nata atau fanua,” kata pria 63 tahun ini.
Tetua ada Popjetur ini mengatakan, masyarakat adat Popjetur, Marfenfen dan lain-lain di Kecamatan Aru Selatan punya ritual adat tordauk. Ritual ini merupakan upacara berburu bersama diawali dengan membakar alang-alang di padang savana.
Upacara ini, pada setiap Oktober yang dipercaya masyarakat sebagai bulan baik waktu berkembang biak hewan hutan seperti rusa dan babi.
“Karena itu dengan dibakarnya alang-alang mengakibatkan hewan-hewan di hutan berkeliaran, masyarakat akan memanah hewan. Hasilnya, dibagikan merata,” katanya.
Masyarakat adat, katanya, memiliki hubungan multidimensi dengan tanah dan wilayah adat. Tanah bagi kami, tidak hanya sumber ekonomi tetapi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan kehidupan.
Mengabaikan hubungan multidimensi masyarakat adat dengan tanah dan wilayah adat ini, katanya, akan berdampak pada kerusakan tatanan kehidupan mereka.
Peternakan belum datang saja mereka sudah susah. Sejak hadir pangkalan udara TNI AL di Desa Marafenfen, rusa dan beberapa satwa buruan mulai sulit. Padahal, dua desa yang berdekatan di Pulau Trangan ini, memenuhi protein mereka dari berburu.
Masyarakat di Kepulauan Aru, terutama Aru Selatan punya sejarah berjuang menolak sejumlah perusahaan pada 2013, antara lain, perkebunan tebu dan sawit.
Belum berakhir lelah masyarakat adat di Aru Selatan, pada 2019, keluar lagi izin puluhan ribu hektar untuk peternakan sapi. Mendengar perusahaan datang mau kembangkan peternakan sapi skala besar, warga adat pun mulai was-was.
Masyarakat adat menolak
“Dilarang memasuki kawasan masyarakat hukum adat berdasarkan….” Begitu sebagian tulisan spanduk penolakan terhadap rencana investasi peternakan sapi oleh Marga Siarukin.
Mereka cantumkan berbagai aturan dari UUD’45 sampai putusan Mahkamah Konstitusi dalam spanduk penolakan itu.
“Tanah kami tidak akan diserahkan, karena tanah itu merupakan titipan leluhur,” kata Ribka Siarukin (56) perempuan adat dari Desa Popjetur.
Ribka Siarukin, bersama perempuan adat Aru yang lain, tak rela tanah leluhur mereka hilang dan masuk penguasaan PT Ternak Indah Sejahtera (TIS), salah satu dari empat perusahaan yang mendapatkan izin.
Bersama kerabatnya, almarhum Anace Siarukin dan sahabatnya, Dolfince Gaelogoy, asal Desa Marfenfen, Ribka berada di garis depan, menolak kehadiran peternakan sapi. Ribka adalah istri Obaja Siarukin, tetua adat Popjetur.
“Almarhum Mama Anace dan Mama Do, punya pengalaman memperjuangkan begitu panjang mengusir korporasi besar, mulai dari Menara Grup, Nusa Ina, TNI Angkatan Laut, dan sekarang perusahaan peternakan.”
Mereka, kata Ribka, yang memotivasinya berjuang menolak perusahaan peternakan masuk di Desa Popjetur.
“Kenapa mau takut? Kita punya kehidupan di sini. Kalau mati, kuburkan saya di sini, depan rumah saya,” kata Ribka.
Dia bilang, menolak perusahaan peternakan masuk karena tak mau menderita seperti orang tua-orang tua dahulu yang berjuang mempertahankan tanah dari Belanda.
Marga Siarukin pasang spanduk penolakan untuk menegaskan sikap mereka. “Waktu itu mereka tanya, supaya jangan kita bicara banyak dan terlalu ngotot-ngotot untuk penolakan, tetapi kalau sudah lihat spanduk berarti pertanda itu larangan. Kami tidak terima investasi,” kata Yosias Siarukin, Kepala Marga Siarukin.
Pada 2017, Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian datang bersama rombongan termasuk pengusaha, Andi Syamsuddin Arsyad dikenal sebagai Haji Isam. Dalam sosialisasi itu menteri bilang akan bagi sapi ke masyarakat.
Sosialisasi kedua datang dari Kementerian Pertanian dan rombongan. Mereka berikan sapi tetapi tidak untuk masyarakat, namun terkumpul dalam satu bangunan, ada kandang dan balai.
“Beta juga ditekan untuk tidak ikut pertemuan. Beta hanya berdiri di luar ruangan.”
Pertemuan pertama mereka mau datangkan 50 sapi. Ternyata, hanya datang 10 sapi. “Saat ini, sapi-sapi yang didatangkan sudah mati.”
Seingat Yosias, ada tiga kali pertemuan untuk rencana peternakan sapi ini dan diadakan di Desa Popjetur antara 2017, 2018, dan 2019.
“Beta mewakili Marga Siarukin, menolak berdasarkan pernyataan pertama diberikan kepada masyarakat, tetapi ternyata mereka datang kedua kali sudah masuk dalam kandang. Berarti bukan mensejahterakan masyarakat tetapi orang lain. Kami menolak jangan lagi didatangkan sapi-sapi,” katanya.
Dia mengatakan, dalam sosialisasi mereka tak menyebutkan berapa luas hektar, tetapi hanya bilang lahan untuk kandang dan balai pertemuan. “Jadi tempat untuk kandang ini pun, mereka sudah siapkan lahan di mana lokasi tordauk. Di situ hak ulayat Siarukin jadi beta tolak,” kata warga Desa Popjetur ini.
Mereka yang sosialisasi itu bilang kalau akan pakai lahan tidur. “Saya bilang, mungkin lahan tidur bagi mereka tapi kita sebagai masyarakat adat punya tempat berburu, berkebun. Setiap tahun itu buat tradisi bakar alang-alang dalam prosesi tordauk,” katanya.
Setelah rotes, mulai ada tekanan kepada ketua marga ini. “Beta mau dilapor karena ada pasang spanduk penolakan lalu mereka tidak senang. Mereka sempat dengan paksa turunkan spanduk yang dipasang, tapi beta yang tegur. Tidak bisa ditarik turun karena itu hak ulayat kami.”
Dia khawatir, kalau sampai mereka menerima investasi peternakan sapi itu, masyarakat adat susah, orang lain menerima untung. “Ada pepatah tikus mati di lumbung padi, nanti kami akan seperti itu.”
Masyarakat adat tak hanya protes di Kepulauan Aru. Mereka pun datang maupun berkirim surat ke kementerian maupun lembaga di Jakarta, soal keresahan kalau sampai peternakan sapi masuk wilayah adat mereka.
Kekhawatiran Masyarakat Adat di Kepulauan Aru ini sangat beralasan. Mia Siscawati, antropolog juga Ketua Program Studi Kajian Gender, Universitas Indonesia mengatakan, hilangnya akses masyarakat adat terhadap kekayaan alam ketika masuk usaha skala besar seperti perkebunan atau peternakan sapi ini, bisa berdampak besar bagi masyarakat adat. Ia bisa berpotensi memutus hubungan mereka dengan ruang hidupnya.
Bicara ruang hidup masyarakat adat, katanya, tak hanya lahan tetapi suatu ekosistem—antara lain, lahan tempat tinggal, hutan, kebun, sumber air, pesisir, laut–dengan berbagai fungsi yang melingkupi, seperti fungsi ekonomi, ekologi, sosial, budaya dan lain-lain.
Mia ambil spesifik dampak terhadap perempuan adat yang biasa memiliki pengetahuan mengenai pangan dan obat-obatan. Pengetahuan-pengetahuan perempuan adat ini, katanya, selain berguna bagi kelestarian alam, juga sebagai posisi tawar di komunitasnya.
Contoh, berbagai jenis tanaman obat, perempuan tahu bagaimana cara mengidentifikasi, cara memanfaatkan, memperbanyak, atau bagaimana merawat. Belum lagi tanaman pangan atau berbagai jenis tanaman lain yang punya fungsi tertentu dalam masyarakat adat.
Kalau hutan atau lahan mereka berubah jadi fungsi lain, katanya, peternakan sapi, misal, maka akan hilang ekosistem yang selama ini menopang kehidupan masyarakat adat, antara lain soal pangan dan obat-obatan tadi.
“Dihilangkannya akses dan kontrol atas sumber daya alam itu tidak sepele dampaknya. Dari segi sosial budaya tadi bisa ada pengetahuan-pengetahuan yang dihilangkan. Dalam arti, tidak ada akses, tidak ada lagi proses untuk melanjutkan dan merawat.”
Sementara, pemerintah Kepulauan Aru menyatakan kelancaran investasi tergantung dari penerimaan masyarakat adat. An Mardana, Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kepulauan Aru mengatakan, untuk perusahaan selanjutnya berproses dengan catatan harus sosialisasi ke masyarakat.
Jadi, katanya, soal luas usaha peternakan yang akan dikelola tergantung yang diserahkan masyarakat.
“Kalau di Aru ini mereka punya petuanan-petuanan, misal, marga ini mempunyai petuanan 20 hektar. Lahan-lahan itu milik marga, akan ada batas-batas lahan. Nah, itu harus duduk berembuk dulu, kira-kira ketua adat atau kepala desa berembuk dengan mereka-mereka yang punya kepentingan di situ.”
Setelah mendapat persetujuan lahan, mereka baru bisa melaporkan ke perusahaan. Selanjutnya, baru perusahaan akan turun membawa petugas untuk mengukur. Dia mengklaim, perusahaan tak akan memaksa masyarakat untuk menyerahkan lahan.
“Supaya perusahaan berjalan mulus dan lancar tidak ada hambatan apa-apa di lahan yang perusahaan sudah berdiri itu.”
Mardana bilang, sudah beberapa kali pertemuan dengan bupati dan mengundang kepala-kepala desa, tua-tua adat di Kecamatan Aru Selatan untuk membicarakan hal ini.
“Mereka pada dasarnya setuju dengan perusahaan sapi potong ini, cuma mereka kendala dengan petuanan-petuanan. Mereka sudah berproses, mudah-mudahan para pemilik petuanan ini bersedia memberikan lahan bagi perusahaan untuk mengelola,” katanya, Juli 2022 lalu.
Ritual adat terancam
Kalau sampai peternakan sapi terlaksana, kata Yosias, tradisi adat tordauk bisa hilang. “Itu nilainya sangat besar karena dari leluhur itu dorang sudah jadikan sebagai tradisi. Dari tahun ke tahun, turunan ke turunan tradisi itu tetap jalan.”
Dia bilang, tordauk tidak hanya dilakukan masyarakat adat Popjetur, tetapi beberapa desa juga lakukan ritual ini. Dalam ritual itu, biasa mereka berburu rusa, babi, dan pelanduk.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan, sekitar 10 desa melakukan ritual tordauk, yang menggunakan savana sebagai tempat berburu kolektif. Mereka dipimpin orang-orang yang memiliki petuanan—tradisi sosial lokal Aru. Di pulau-pulau itu, area savana sekitar 22.000 hektar. Pada savana ini merupakan habitat satwa seperti rusa, babi dan lain-lain sumber protein bagi masyarakat.
Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, tordauk ini, ritual adat berburu bersama setahun sekali. Ritual ini, katanya, bukan sekadar berburu, bukan hanya mencari daging.
“Tordauk itu paling penting ajang pengenalan bagi generasi selanjutnya agar mengetahui di mana wilayah mereka,” kata Ode, sapaan akrab Mufti.
Saat ritual tordouk itu, semua warga adat dari orangtua sampai anak-anak ikut serta. “Lintas generasi, berburu. Yang tak bisa jalan, dipapah. Ini bukan sekadar berburu, ini ritual bentuk pembelajaran generasi selanjutnya. Kalau itu hilang, selesai itu.”
Kalau ada peternakan sapi di savana, katanya, area itu akan dipagari. “Praktis tordauk tak ada lagi. Ketika upacara itu tak terlaksana, budaya perkenalkan adat ke generasi selanjutnya akan hilang. Sistem pembelajaran terputus.”
Adat ini setiap tahun berlangsung pada musim panas antara September sampai Oktober atau November.
Obaja Siarukin, tetua adat Popjetur menjelaskan, tradisi ini mengikutsertakan desa-desa tetangga di Aru Selatan karena ada hubungan persaudaraan. Selain itu, leluhur mereka mengajarkan hidup saling berbagi dalam bermasyarakat.
Hidup mereka bergantung alam. Masyarakat Aru berburu rusa, babi, amau walabi. Yang dekat sungai atau laut, bisa memancing. Mereka juga berkebun seperti menyadap karet, memanfaatkan hasil hutan dan kayu. Mereka memelihara hubungan spiritual dengan hutan yang diyakini dihuni roh-roh leluhur.
“Untuk tordauk itu marga katong yang biking ritual. Yang tangani itu katong dari leluhur. Sudah dua tahun tidak buat tordauk karena musim hujan hingga alang-alang tidak bisa dibakar.”
Berburu di padang savana. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia
Rencana peternakan sapi, kata Obaja akan mengancam tempat tradisi adat tahunan mereka itu. Tempat tordauk itu dari tuturan sejarah mereka berawal dari tempat datuk pertemuan di situ untuk makan dan mengambil keputusan bersama disebut bodin. “Jadi sebelum bakar kedua tetua adat marga harus duduk bersama.”
Setelah ambil keputusan, kata Obaja, marga Gelagoy dari Desa Marfenfen akan membakar ilalang menuju desanya, begitu juga Marga Siarukin itu bakar menuju desa mereka.
“Lokasi gunung namanya Siltening dari marga Siarukin. Bolnomasea itu dari marga Gelagoy.” Biasa sebelum berlangsung tradisi adat dilakukan ritual dulu di kedua tempat itu.
“Sebelum bakar alang-alang harus buat ritual adat di situ.”
Tordauk ini berawal, saat Marga Siarukin berjalan dari Desa Popjetur. Mereka di depan membawa bendera. Setelah itu, barulah marga lain berjalan mengikuti dari belakang.
Bendera itu sudah melalui prosesi sasi adat.
“Kenapa disebut sir uki atau siarukin itu katong (mereka). Orang yang tanam bendera adat ini katong marga Siarukin. Sebenarnya, marga itu sir uki adalah sasi adat,” kata Obaja.
Di Sebelah Utara dari Desa Popjetur, adalah Marafenfen juga melakukan tradisi sama. Jhoni Gaelogoy, ketua Marga Gaelogoy di Desa Marafenfen bilang, tradisi adat ini sejak dahulu kala.
“Jadi, awalnya tordauk diputuskan tanggal dari Marga Botmir di Desa Popjetur, setelah itu mereka datang ke Marafenfen untuk membicarakan tanggal tordauk itu,” katanya. Keputusan diambil setelah Marga Gaelagoy ikut bersama.
Awalnya, bukan Marga Bothmir yang tentukan tanggal melainkan Siarukin, namun marga ini sudah memberikan kewenangan kepada Bothmir.
Setelah kesepakatan jadwal prosesi adat di Marfenfen, sejumlah desa di pesisir pantai Terangan seperti Desa Feruni, Kalar-kalar, Kabalukin, Fatural, Ngaibor dan lain-lain mereka informasikan untuk bergabung.
Mereka bertemu di satu pulau kecil, Gunung Siltening. Hutan yang berbentuk pulau itu berkeliling alang-alang. Salah satu Marga Gaelogoy naik ke gunung untuk menaruh sesaji sirih pinang.
Siltening, katanya, adalah nama istri dari moyang laki-laki Gaelogoy. Dulu dia tinggal di sana. Begitu juga dengan Marga Botmir, namanya Siltening.
Setelah itu mulai pembakaran tordauk selama dua hari, seluruh proses selama tiga hari.
Adat tordauk ini menghasilkan berbagai jenis hewan seperti babi, rusa, babi tanah, dan lain-lain. Semua hasil pembakaran bukan langsung dibawa pulang ke rumah, melainkan mereka kumpulkan pada suatu tempat. Kemudian, hasil buruan ini mereka bagikan merata oleh para tua- tua adat. Proses pembagian hasil itu diberikan dahulu kepada pendeta, guru, dan pegawai kesehatan, kemudian dibagikan ke masyarakat dari berbagai desa.
Daging yang dikumpulkan dari hasil berburu, dibagi secara merata kepada semua kelompok di desa. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia
“Tordauk ini punya arti lain kasih mengasihi. Setelah dua hari selesai baru kembali lagi. Kembali harus bikin adat di gunung lagi. Untuk permisi kepada leluhur karena sudah selesai menyelesaikan tordauk. Itu tradisi sampai sekarang tidak pernah hilang.”
Tak hanya sebagai tempat ritual. Padang savana, bagi masyarakat Adat Aru, sebagai penyedia protein cuma-cuma, tempat mereka berburu.
Kalau sampai itu berubah jadi peternakan sapi, sumber pangan dari hewan-hewan seperti babi hutan, kijang pun akan hilang.
“Katong melakukan perburuan tidak hanya siang, juga malam di lokasi alang-alang ini. Kalau perusahaan datang, lalu duduki, setelah itu katong nanti berburu atau mencari makan di mana?” kata Yosias.
Mereka tak ingin ada investasi skala besar masuk masuk. “Kami berharap izin itu dibatalkan. Akan merugikan kita, masyarakat pemilik ulayat. Seperti tikus mati di lumbung padi,” katanya, mengulang peribahasa.
Eko Cahyono,Sosiolog Pedesaan mengatakan, masyarakat adat di Kepulauan Aru, masih kokoh memegang nilai lokal dan adat.
Dia yang juga penelitian mengenai masyarakat adat di Kepulauan Aru ini melihat kekuatan hubungan itu salah satu dari ritual tordauk.
Upacara adat berburu kolektif antar marga ini, kata Eko, bukan sekadar ritual bakar ilalang untuk dapat hewan buruan, banyak nilai kearifan di dalamnya. Untuk proses bakar ilalang di padang savana itu mereka menentukan waktu dengan membaca petanda alam.
“Hari ditentukan secara adat dan dihitung posisi, karena menghitung hari, menentukan arah angin, menentukan bulan dan lain-lain. Jadi, nanti ketika musim membakar ilalang itu arah angin bisa ditebak hingga masyarakat adat bisa menjaga di satu posisi tertentu untuk memburu binatang-binatang itu.”
Masyarakat Adat Aru, katanya, dalam melaksanakan ritual tordauk dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung alam.
“Mereka tidak bulanan tapi tahunan, mereka perhitungkan dalam umur tertentu hewan-hewan sudah tumbuh berkembang.” Dengan begitu, tak mengancam keberadaan hewan di alam.
Selain itu, katanya, membakar ilalang juga jadi dasar agar rumput-rumput itu bertunas muda.
“Yang menurut adat, rusa di sana justru mudah berkembang biak karena membutuhkan kuntum dari rumput-rumput tunas ilalang. Itu makanan utama sebelum mereka berkembang biak,” kata periset dari Sajogjo Institute ini.
Selain itu, kata Eko, pemburuan juga dilakukan dalam batasan tertentu di wilayah tertentu. “Tidak semua tempat dilakukan [perburuan].”
Tordauk ini, katanya, merupakan bagian dari bagaimana Masyarakat Adat Aru mengelola alam dengan tetap memperhatikan koridor dan rambu rambu daya dukung dan daya tampung alam. “Jadi tidak sembarangan dengan membakar hutan, membakar ilalang dan macam macam.”
Lebih dari itu, katanya, ritual ini merupakan pembuktian kalau wilayah savana ini mereka lindungi. “Jadi pandangan orang luar yang menyatakan itu sebagai wilayah kosong tanpa penghuni terbantahkan. Wilayah ini berpenghuni dan sangat sakral.”
Dalam bahasa antropologi, kata Eko, hal semacam ini disebut sebagai call-culture, atau inti kebudayaan orang Aru. “Seluruh siklus kehidupan masyarakat adat di Aru, bersumber dan berujung pada call-culture ini,” kata Eko.
Persaudaraan terkoyak
Izin lokasi peternakan sapi sudah Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru, keluarkan lebih 61.000 hektar kepada empat perusahaan.
Johan benarkan, dalam prosesnya mendapat penolakan dari sebagian warga, walau sebagian menerima.
“Bagi kami mereka belum paham terkait investasi itu hingga mereka menolak. akibatnya kelanjutan investasi ini tidak ada,” katanya.
Kini, bupati sudah tak mendengar perkembangan dari rencana peternakan sapi ini. “Karena memang ada dari tokoh-tokoh juga ada menyurati ke kementerian hingga sampai sekarang kementerian juga tidak menindaklanjuti terkait izin usaha dari pada investasi peternakan ini. Jadi sampai sekarang belum ada izin [lanjutan],” kata Johan.
Izin lokasi bupati berada di kawasan hutan, hingga perlu izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar lahan bisa dipakai untuk usaha.
Sejak izin lokasi keluar di Desa Popjetur, dampak secara sosial mulai terasa. Warga terpecah, pro dan kontra peternakan sapi. Hubungan persaudaraan yang berjalan baik selama ini, renggang dan bermusuhan.
Otniel Apalem, warga Desa Popjetur. Foto: Chris Belseran/Mongabay Indonesia
Di desa ini, ada sekitar delapan marga, yakni Marga Apalem, Siarukin, Payansian, Gurgurem, Pulamajen, Bothmir, Garlora, dan Kailem.
Yang pro sebagian bersedia menyerahkan lahan mereka untuk jadi peternakan sapi.
“Tak hanya dapat intimidasi dari aparat saat itu, juga harus berhadapan antar sesama warga. Gara-gara peternakan ini, hubungan keluarga hingga urusan keagamaan jadi ikut renggang,” kata Yosias.
Dia bilang, sejak membentangkan spanduk penolakan peternakan sapi, sebagian warga sudah menaruh dendam. Dia nilai, warga menerima mungkin terbuai janji-janji.
“Kehidupan kami tak seperti dulu lagi. Bayangkan, kakak beradik atau sepupu bisa saling adu ke polisi,” sebut Yosias.
Persoalan antar warga ini berimbas sampai pada urusan silaturahmi. Semisal ibadah keluarga, dan ibadah minggu keluarga yang meninggal tak lagi saling mengunjungi. Saat momen Natal, antar saudara yang berseteru tak lagi saling berkunjung.
“Waktu itu, mereka mau laporkan saya ke polisi. Saya bilang silakan kalau mau lapor dan saya bersedia demi tanah ulayat saya.”
Otniel Apalem (74), warga Desa Popjetur cerita, saat itu masih sebagai Ketua Marga Apalem. Beberapa saat, jabatan sebagai ketua digantikan adiknya, Silas Apalem.
“Pada waktu itu saat mengikuti sosialisasi saya selaku ketua Marga Apalem dan Marga Siarukin menolak,”katanya.
Dia pun berlawanan dengan Silas, adik kandungnya, setelah menyetujui perusahaan masuk ke lahan marga mereka. Otniel tak sependapat dan terus melakukan perlawanan.
Bersama dengan Yosias Siarukin dan Obaja Siarukin, dia kekeuh melawan.
Otniel punya pengalaman pahit dengan masuknya investasi atau perusahaan. Saat Menara Group peroleh izin di Aru, dia pernah dipanggil Polres atas laporan pencemaran nama baik perusahaan tebu itu.
“Dari situ saya bersumpah akan terus berjuang untuk menolak setiap investasi yang masuk dengan modus apapun.”
Saat Menara Group mau masuk, Otniel sebagai Ketua Marga Apalem bersama Marga Apalem di tiga kampung lain yakni Gaimar, Popjetur, Fatural lakukan kampanye penolakan.
Silas menanggapi. Dia setuju peternakan sapi masuk lantaran janji berbagai fasilitas yang mendukung pembangunan desa meski kakak maupun warga lain tidak setuju.
Puncaknya, pada 2019, dia mengatasnamakan Marga Apalem dipanggil bupati. Dia menunjukkan undangan pada 12 Juli 2019 itu.
Sayangnya, semua janji tinggal janji. Dia pun tak tahu lagi soal rencana peternakan sapi itulantaran tak pernah ditepati.
“Setelah sosialisasi dan kembali ke Popjetur, kita sudah terima. Kita tidak tahu kalau ada embel-embel ada yang baik atau tidak, tapi karena ada janji-janji ini. Karena janji-janji ini membuat kita tertarik.”
Hampir lima tahun kerenggangan hubungan di masyarakat terasa antara pihak kontra dan pro.
Pada awal 2020, sekitar enam bulanan setelah izin lokasi keluar, pandemi COVID-19 merebak di Indonesia, termasuk di Kepulauan Aru. Terjadi pembatasan berbagai aktivitas guna mengurangi penyebaran virus. Sisi lain, solidaritas menguat antara sesama. Kini, tensi di Masyarakat Ada Aru mulai reda.
“Mungkin karena COVID melanda desa kami, semua sudah sadar bahwa orang lain tidak bisa menolong kami. Hanya kami sendiri sesama saudara,” kata Otniel. [selesai]
- Liputan ini kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Metro Maluku dan Titastory.id serta Forest Watch Indonesia. Tim liputan: Reporter: Chist Belseran, Della Syahni dan Indra Nugraha. Editor: Sapariah Saturi. Kurasi foto: Ridzki R Sigit. Liputan ini atas dukungan Earth Journalism Networks (EJN).
Discussion about this post