titastory.id, jakarta – Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena mendesak aparat kepolisian menyelidiki dan mengambil tindakan tegas atas dugaan intimidasi serta kekerasan terhadap masyarakat Pulau Rempang.
Sumber kredibel Amnesty di LBH Pekanbaru dan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengungkapkan, bahwa masyarakat Pulau Rempang diintimidasi dan menjadi korban tindak kekerasan oleh belasan orang berpakaian preman pada Rabu (18/9).
“Intimidasi dan kekerasan kembali mengusik warga Rempang, padahal masih kuat ingatan mereka akan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan setahun lalu pada 7 September 2023 saat warga memprotes pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City,” ungkap Wirya melalui rilis yang diterima titastory.id.
Menurutnya, tindakan kekerasan dan intimidasi menunjukkan pemerintah gagal melindungi warganya. Insiden ini menunjukkan represi yang terus berlanjut terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka.
“Tindakan represif seperti ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Negara seharusnya hadir untuk melindungi ekspresi dan ruang hidup warganya. Bukan membiarkan mereka tertindas,” ungkapnya.
Bahkan sesuai keterangan yang dihimpun Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dari warga, intimidasi dan kekerasan yang dialami warga Pulau Rempang terjadi di Kampung Sungai Bulu, tepatnya di jalan arah masuk ke kawasan Goba sekitar pukul 10.45 WIB.
Kejadian bermula saat para warga tengah berjaga di masjid di jalan masuk ke Goba. Di sana mereka didatangi oleh belasan orang berpakaian preman.
Kelompok orang berpakaian preman itu kemudian memaksa masuk ke wilayah yang dijaga warga dan mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kerja mereka. Namun warga tetap bertahan.
Dokumentasi video dari warga setempat yang dihimpun Tim Advokasi menunjukan, adanya ketegangan saat perwakilan dari kelompok orang berpakaian preman melancarkan aksi intimidatif dengan membentak ibu-ibu yang bertahan di lokasi.
Sebanyak tiga orang warga mengalami luka-luka dan belasan lainnya menjadi korban pemukulan. Salah satu korban mengalami luka di bagian pelipis akibat dipukul dengan helm dan seorang lagi wajahnya lebam setelah dipukul dengan kayu. Sedangkan korban lainnya, seorang perempuan, tangannya terkilir akibat ditarik secara paksa.
Tindakan sekelompok orang berpakaian preman yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat Pulau Rempang ini masih terus terjadi. Sebelumnya warga juga mengalami teror dan alat peraga yang digunakan mereka untuk menolak PSN Rempang Eco City dirusak.
Banyak proyek infrastruktur skala besar di bawah PSN telah berdampak serius pada kehidupan masyarakat adat, yang hak atas tanah, budaya, dan kearifan lokal sering diabaikan.
Sementara itu, masyarakat adat yang kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka kerap menghadapi serangan.
Untuk diketahui, pada tanggal 7 September 2023 lalu masyarakat Pulau Rempang mengalami kekerasan oleh aparat penegak hukum saat masyarakat adat di wilayah itu berusaha mempertahankan tanah mereka dari rencana pembangunan Rempang Eco City yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sebelum insiden di Rempang, Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2019 hingga Maret 2024, setidaknya ada delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 90 korban, termasuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik.
“Kami juga menuntut penghentian pembangunan PSN Rempang Eco City yang telah terbukti merugikan masyarakat adat setempat. Hak-hak masyarakat adat harus dihormati dan dilindungi dari segala bentuk ancaman dan kekerasan, mereka juga harus dilibatkan secara bermakna dalam pembangunan yang dilakukan di tanah atau wilayah mereka,” tegasnya.
(TS -03)
Discussion about this post