Amnesty Internasional Indonesia mengatakan, Polisi harus mengusut tuntas kasus penembakan pendeta Yeremia Zanambani (68) di Kampung Bomba, Distrik Hitadipta, Kabupaten Intan Jaya, yang diduga melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
titastory.id,- Dalam siaran pers yang diterima media ini, kepada Amnesty, seorang pemimpin gereja di Papua yang berkomunikasi langsung dengan pihak keluarga menyebut penembakan itu dilakukan oleh aparat TNI.
“Penembakan ini lagi-lagi menunjukkan kegagalan negara untuk menghadirkan perdamaian di Papua. Dari awal tahun, sudah ada setidaknya 15 kasus penembakan di luar hukum di sana. Kapan orang Papua bisa bebas untuk hidup tenang?” kata Hamid Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Selasa (22/9/2020).
Sumber yang sama mengatakan kepada Amnesty bahwa telah mendengar informasi bahwa pendeta Yeremia ditembak pada Sabtu 19 September 2020 di kandang babi miliknya, dan baru ditemukan sang istri pada Minggu pagi hari.
“Dia pergi ke kandang babi untuk kasih makan ternak babi, Sabtu sore sama istrinya. Lalu dia tetap tinggal, istrinya pergi dulu. Habis itu, saya dengar informasi kalau pendeta Yeremia ditembak oleh tentara. Karena masih hidup katanya, jadi dia ditusuk sampai mati,” tutur pendeta yang tak disebutkan namanya demi alasan keamanan.
Lebih lanjut sumber ini menyebut, dua perempuan yang dituakan di lokasi kejadian sempat menemani jenazah pendeta Yeremia, sebelum sang istri menemukan ia sudah tak bernyawa.
Kepolisian Daerah Papua mengatakan penembakan tersebut dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang ingin memancing perhatian global menjelang sidang umum PBB pada akhir bulan ini, meski pihak mereka tengah menginvestigasi motif di balik penembakan tersebut.
Dalam laporan berbagai media, TNI menuding KKB sebagai dalang dari penembakan akhir pekan itu.
“Negara harus menghentikan pembunuhan di luar hukum yang sewenang-wenang di Papua. Penyelidikan menyeluruh yang independen dan tidak memihak harus segera dilakukan untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya,” kata Usman.
“Jika hasil investigasi menunjukkan bahwa benar pelakunya adalah aparat TNI, seperti yang diduga oleh kelompok gereja, maka harus ada penjelasan mengapa pihak TNI justru menuding kelompok bersenjata sebagai pelakunya.”
Aktivis hak asasi manusia Papua, Younes Douw, mengatakan kepada Amnesty bahwa pendeta Yeremia bukan bagian dari kelompok bersenjata. Ia hanyalah seorang pelayan gereja yang mengabdi di desa kecil di Intan Jaya.
Masyarakat setempat mencurigai penembakan terhadap pendeta Yeremia dilakukan sebagai bagian dari upaya pencarian pelaku penembakan sebelumnya yang menewaskan anggota TNI.
“Mengapa TNI menembak mati pendeta ini? Kita bisa tahu bahwa TNI yang lama bertugas di Hitadipa pasti mengenalnya, tetapi TNI yang baru di kirim dari pusat ke Hitadipa Intan Jaya pasti mereka tidak mengenal, sehingga mereka tembak mati,” sebut Younes.
“Pendeta Yeremia bukan orang jahat, dia juga tidak terlibat dalam Gerekan Papua Merdeka atau TPN OPM. Dia bukan penembak ojek atau TNI dan dia bukan merampas 2 pucuk senjata milik TNI. Mengapa TNI tidak bertanya lebih dulu tetapi eksekuti mati seperti penjahat.”
Kontak senjata antara TNI dengan kelompok bersenjata meningkat dalam sepekan belakangan. Puncaknya terjadi ketika Pratu Dwi Akbar dari Yonif 711/RKS/Brigif 22/OTA-yang ditugaskan ke Intan Jaya sebagai persiapan pembentukan Koramil baru di sana -tewas di tangan kelompok bersenjata.
Data pemantauan Amnesty International Indonesia menunjukkan, lima pembunuhan di luar hukum dengan delapan korban di Papua telah terjadi selama tiga bulan terakhir. Hal ini menjadikan total pembunuhan di luar hukum di Papua sepanjang 2020 mencapai 15 kasus dengan total 22 korban. Polisi dan militer sebagian besar terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia ini.
Latar belakang
Semua pembunuhan di luar hukum merupakan pelanggaran hak untuk hidup, hak asasi manusia paling utama yang dilindungi oleh hukum internasional dan konstitusi Indonesia. Indonesia telah meratifikasi banyak hukum HAM internasional yang melindungi hak untuk hidup, terutama di antaranya Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk hidup, dan mereka tidak bisa dirampas hak untuk hidupnya.
Pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah atau dengan keterlibatan pejabat negara dilarang untuk dilakukan kapan pun dan menurut hukum internasional termasuk dalam kejahatan yang harus dicegah, ditelusuri dan diadili oleh negara, serta memastikan korban untuk mendapat hak reparasi. Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifkasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya merupakan bentuk pelanggaran HAM yang terpisah.
Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.(suarapapua.com/titastory.id)
Pewarta: Yance Agapa
Editor: Elisa Sekenyap
Discussion about this post