titastory.id, jakarta – Protes terhadap penambangan nikel di Halmahera kembali menyeret aktivis perempuan ke dalam jerat hukum. Cristina Rumalatu, seorang aktivis lingkungan asal Maluku, mendapat panggilan dari Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber, terkait dugaan tindak pidana berdasarkan Pasal 45 ayat 4 juncto Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Panggilan ini muncul setelah Rumalatu bersama Thomas Madilis, sesama aktivis, menggelar aksi demonstrasidi depan kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada 1 Agustus 2024. Mereka memprotes dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi tambang, termasuk bencana banjir besar di Halmahera yang terjadi pada Juli 2024. Banjir tersebut diduga dipicu oleh deforestasi masif yang mengakibatkan hilangnya 27,9 kilo hektar tutupan pohon di Halmahera Tengah antara 2021 dan 2023.
Polisi kemudian melayangkan panggilan kedua melalui surat dengan nomor polisi B/1271/IV/RES.1.14/2024/Dittipidsiber, tertanggal 3 September 2024. Kali ini dalam laporannya nama Suaidi Marasabessy dicantumkan sebagai pelapor dalam surat klarifikasi kedua ini. Suaidi diketahui melaporkan Christina sebagai terlapor pada tanggal 6 Agustus 2024 di Bareskrim Mabes Polri.
Dalam aksinya, Rumalatu dan para demonstran menuntut tanggung jawab IWIP atas kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat Halmahera. Namun, protes ini berujung pada ancaman kriminalisasi. Ali Fanser Marasabessy, seorang pimpinan ormas di Jakarta dan Ketua Pemuda Bravo Lima, melalui unggahan di akun TikTok, menuntut agar Cristina Rumalatu dan Thomas Madilis meminta maaf dalam waktu 2×24 jam kepadaLetjen (Purn) Suaidi Marasabessy. Ali juga mengancam akan ada konsekuensi jika permintaan ini tidak dipenuhi, meski tidak dijelaskan secara rinci.
Tak hanya Christina Rumahlatu, akun sosial media Tik-tok atas nama @Direktur_Facebook, juga disebutkan Ali Panzer dalam video tiktoknya karena menghina Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy, salah satu pendiri Bravo Lima. Akun dengan nama lengkap Thomas Madilis dituduh menyebarkan video aksi dengan menghina tokoh Maluku Suaidi Marasabessy. Thomas dalam aksi tersebut dipercayakan sebagai Koordinator dalam aksi demonstrasi di Kantor IWIP, Kamis.
Ali Marasabessy adalah ketua Pemuda Bravo Lima, sebuah organisasi kepemudaan yang dimulai sejak pemilihan presiden tahun 2019. Ia berada di bawah naungan Pejuang Bravo Lima dengan tokoh lima jenderal, termasuk Suaidi Marasabessy maupun Menteri Koordinator Investasi dan Maritim Luhut Binsar Pandjaitan.
Meskipun banyak pihak mendesak penghentian kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan, laporan terhadap Rumalatu tetap ditindaklanjuti oleh aparat. Menanggapi pemanggilan ini, tim hukum dari berbagai organisasi, termasuk YLBHI, Trend Asia, JATAM, ICJR, dan Walhi, memutuskan untuk tidak menghadiri undangan klarifikasi tersebut. Mereka berpendapat bahwa tuduhan terhadap Rumalatu merupakan ancaman pidana ringan yang tidak akan mengakibatkan penahanan sebelum ada putusan pengadilan.
Bencana Banjir dan Kerusakan Lingkungan
Banjir bandang yang melanda Halmahera Tengah dan Halmahera Timur pada 21 hingga 24 Juli 2024 menjadi latar belakang aksi protes ini. Bencana tersebut mengakibatkan 12 desa terendam dan longsor yang memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera. Sekitar 1.700 warga terpaksa mengungsi. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebut banjir ini sebagai akibat dari deforestasi besar-besaran di sekitar wilayah tambang IWIP.
JATAM juga menyoroti dampak aktivitas tambang yang tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mencemari sumber pangan dan air warga. Laporan terbaru mereka menyebutkan bahwa sedikitnya 26 pekerja tambang tewas sejak IWIP dan PT Weda Bay Nickel mulai beroperasi pada 2018.
Reaksi dari Aktivis
Dalam aksi protes di depan kantor IWIP, Letnan Jenderal (Purn.) Suaidi Marasabessy, yang berkantor di gedung yang sama, menanggapi demonstrasi dengan mengatakan bahwa masalah banjir telah dikoordinasikan dengan Bupati Halmahera Tengah. Namun, pernyataan ini justru memicu kemarahan massa, yang menuduh Suaidi tidak berbuat banyak untuk masyarakat Maluku.
Beberapa hari setelah aksi tersebut, Ali Fanser Marasabessy, yang juga ketua Pemuda Bravo Lima, menuntut permintaan maaf dari Rumalatu dan Madilis atas tuduhan terhadap Suaidi Marasabessy. Ali mengancam akan ada konsekuensi jika permintaan maaf tidak diberikan.
Namun, dukungan terhadap Rumalatu datang dari berbagai pihak, termasuk Haris Azhar, aktivis hak asasi manusia yang menilai bahwa kasus ini mencerminkan pola represif penguasa dan pengusaha terhadap aktivis lingkungan di Indonesia. Haris mengkritisi bagaimana hukum sering kali digunakan untuk menekan para aktivis yang memperjuangkan lingkungan hidup dan hak masyarakat adat.
Koalisi Masyarakat Sipil menuntut agar pemerintah dan perusahaan tambang bertanggung jawab atas bencana banjir dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Mereka mendesak penghentian segala bentuk ekstraksi yang menghancurkan lingkungan dan sumber penghidupan masyarakat Halmahera.
Haris Azhar, aktivis hak asasi manusia (HAM), mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tren kriminalisasi yang terus meningkat terhadap aktivis lingkungan di Indonesia. Dalam sebuah wawancara, Haris menjelaskan bagaimana pola represif ini mencerminkan kecenderungan global dan semakin mengancam kebebasan aktivisme di bidang lingkungan hidup.
Menurut Haris, Indonesia mengikuti tren global dalam beberapa tahun terakhir di mana serangan terhadap pembela hak lingkungan dan masyarakat adat meningkat.
“Pola yang kerap terjadi melibatkan intimidasi, serangan fisik, gangguan terhadap aktivitas, pemidanaan, dan upaya adu domba dengan masyarakat lain yang dibina atau dibayar oleh perusahaan atau aparat negara,” jelasnya. Pola ini dianggap sebagai strategi untuk melemahkan gerakan lingkungan di Indonesia.
Ketika ditanya tentang kerangka hukum yang ada untuk melindungi aktivis lingkungan, Haris menegaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki undang-undang seperti UU HAM dan UU Perlindungan Lingkungan Hidup, pelaksanaannya sering kali bermasalah.
“Persoalan di Indonesia adalah soal pelaksanaan; ada pembelokan norma dan birokratisasi yang menyulitkan masyarakat dan pembela lingkungan untuk mendapatkan perlindungan yang sebenarnya dijamin oleh undang-undang,” katanya. Selain itu, undang-undang lain yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat, seperti UU Perlindungan Masyarakat Adat, masih ditolak oleh pemerintah.
Haris Azhar, memberikan tanggapannya terkait kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan Christina Rumahlatu. Menurutnya, kasus ini mencerminkan pola yang sering dilakukan oleh penguasa dan pengusaha untuk menekan para aktivis lingkungan dan masyarakat adat di Indonesia.
Haris Azhar menyebut bahwa pola represif ini sudah menjadi karakteristik dari pemerintah dan pengusaha yang berkolaborasi untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka.
“Ini pola-pola represif yang khas dilakukan oleh penguasa dan pengusaha terhadap aktivis Lingkungan Hidup dan Hak Masyarakat Adat,” ujarnya. Kasus yang menimpa Christin Rumahlatu hanyalah salah satu contoh dari banyak kasus serupa yang terjadi di seluruh Indonesia.
Menyoal keterlibatan pejabat tinggi, Haris menyoroti bagaimana mantan pejabat militer yang masih memiliki akses ke lingkaran kekuasaan sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk melobi dan menentukan wilayah eksploitasi dari Jakarta.
“Ini adalah politik kekuasaan untuk memperkaya diri, bukan gaya politik yang partisipatif,” tegasnya.
Meskipun ancaman kriminalisasi masih membayangi, banyak pihak yang yakin bahwa Rumalatu dan para aktivis lingkungan lainnya akan terus berjuang demi keadilan lingkungan di Indonesia. Haris Azhar optimis bahwa dukungan terhadap Rumalatu akan terus meluas, dan masyarakat akan semakin sadar akan pentingnya melawan praktik-praktik yang merusak lingkungan dan kehidupan mereka.
Diketahui, Christina Rumahlatu merupakan mahasiswa asal Pulau Seram. Kini Christina kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta, dimana ada beberapa pengacara terkemuka mengajar, termasuk Haris Azhar, yang pernah digugat oleh Luhut Pandjaitan, maupun Bivitri Susanti, yang berperan dalam film dokumenter “Dirty Vote.”
Christina Rumahlatu juga ketua umum Mahasiswa Saka Mese Seram Barat. Dia menaruh perhatian pada hak asasi manusia serta krisis iklim, termasuk hak masyarakat adat di Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur.
IWIP Sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional
IWIP adalah sebuah komplek smelter nikel raksasa di Indonesia, wilayah tambang sekaligus pusat pemrosesan bijih nikel menjadi stainless steel dan baterai listrik. Sebelum aksi tersebut JATAM merilis sebuah laporan berjudul: Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP Sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi.
JATAM menggarisbawahi kerentanan Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan terhadap bencana hidrometeorologi. Ia makin menjadi berat akibat aktivitas tambang nikel. Kondisi ini merupakan bentuk kekerasan dan penindasan gaya baru terhadap penduduk Halmahera yang dipaksa hidup berdampingan dengan bencana akibat kerusakan ekologinya. Selain kekerasan yang berdimensi ekologi, aktivitas tambang menghadirkan berbagai kekerasan fisik dan psikis bagi masyarakat Halmahera dan pekerja tambang.
Laporan itu mengungkapkan berbagai ancaman, intimidasi, hingga kekerasan dilakukan preman, polisi, dan aparat pemerintah desa untuk mendukung perampasan lahan dari masyarakat Halmahera, atas nama perusahaan. Kekerasan laten juga diterima pekerja tambang dengan mengabaikan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sedikitnya 26 pekerja tewas selama IWIP dan PT Weda Bay Nickel beroperasi sejak 2018.
Aktivitas tambang nikel tidak hanya merusak lingkungan dan mencemari sumber pangan dan air warga, ancaman kriminalisasi warga untuk mempertahankan hak-haknya akan kian masif terjadi. Jika kondisi ini terus dipertahankan, kerusakan ekologi akan berujung pada semakin tingginya angka kemiskinan dan memperlebar jurang kedalaman kemiskinan. (TS-01)
Discussion about this post