titastory, Jakarta – Puluhan mahasiswa dari Jaringan Advokasi Tanah Adat (JAGAD) kembali menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Senin (13/01). Aksi Jilid 2 ini bertujuan mendesak KLHK mencabut izin operasional PT Waenibe Wood Industries (WWI) di Desa Waehatta, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, Maluku. Perusahaan milik Fery Tanaya tersebut dituding melakukan penyerobotan lahan adat serta pembalakan liar yang merugikan masyarakat adat.
Koordinator aksi, Fero Nurlatu, menyatakan bahwa PT WWI telah memasuki lahan adat milik Marga Nurlatu Kakunusa tanpa sepengetahuan pemiliknya. Selain itu, perusahaan menebang pohon damar, meranti, dan jenis kayu lain yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat.
“Hadirnya perusahaan ini tidak menghormati kepemilikan masyarakat adat yang diwariskan secara turun-temurun sebelum negara ini ada,” ujar Fero.
Masyarakat adat menilai tindakan PT WWI melanggar Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 yang mengakui hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.
Selain itu kata Fero, kegiatan PT WWI bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Dalam aksinya, JAGAD Indonesia menyampaikan beberapa tuntutan utama; Penangkapan Fery Tanaya atas dugaan tindak pidana penyerobotan lahan adat; Pencabutan izin operasional PT WWI oleh KLHK; serta ganti rugi atas kerusakan lingkungan dan kehilangan mata pencaharian masyarakat adat.
Datangi Polda dan Komnas HAM Maluku
Sebelumnya, Masyarakat adat Desa Waehata, Pulau Buru, resmi melaporkan Fery Tanaya, pemilik PT Waenibe Wood Industries (WWI), ke Polda Maluku atas dugaan penyerobotan lahan adat dan penebangan ilegal pohon Damar (Agathis) serta Meranti di kawasan hutan adat.
Pelaporan ini dilakukan oleh ahli waris Marga Nurlatu Kakunusa pada Kamis (9/1/2025), dengan tuduhan bahwa aktivitas perusahaan tersebut telah melanggar hak-hak masyarakat adat dan merusak kawasan keramat yang dijaga selama sembilan generasi.
“Kami datang untuk mencari keadilan atas lahan dan hutan adat kami yang diserobot. Tempat sakral kami dirusak, pohon damar yang menjadi sumber penghidupan kami ditebang tanpa izin,” ujar Mantokos Nurlatu, ahli waris masyarakat adat Desa Waehata.
Menurut Mantokos, tindakan PT WWI mengancam tidak hanya lingkungan, tetapi juga perekonomian masyarakat setempat yang bergantung pada hasil hutan, khususnya getah damar yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Selain itu perwakilan masyarakat adat Desa Waehata ini juga mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Provinsi Maluku, Jumat (10/1).
Kedua perwakilan masyarakat adat, Mantokos Nurlatu dan Jalit Nurlatu, yang merupakan ahli waris hutan adat, meminta Komnas HAM menginvestigasi dugaan pelanggaran hak atas tanah adat yang telah mereka laporkan. Menurut mereka, PT WWI melakukan aktivitas penebangan tanpa persetujuan masyarakat adat, meski area tersebut telah lama dikelola oleh marga Nurlatu Kakunusa sebagai tanah ulayat.
“Kami datang ke Komnas HAM untuk mencari keadilan karena hutan adat kami dirusak tanpa izin. Pohon damar dan meranti yang menjadi sumber penghidupan keluarga kami ditebang habis oleh perusahaan,” ujar Mantokos saat ditemui usai menyerahkan laporan.
Lanjutnya, selain mencari keadilan, kedatangan mereka ke Kantor Komnas HAM juga untuk mendapatkan perlindungan hukum dari Lembaga Negara ini.
“Kami ingin mencari perlindungan karena mereka punya uang dan kuasa. Jadi kami berinisiatif mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan hal ini,” Ungkapnya.
Kerusakan Situs Sakral
Kepala Soa sekaligus ahli waris adat, Titi Nurlatu, mengungkapkan bahwa perusahaan telah menggusur lebih dari 100 pohon damar, dua pohon durian, 20 pohon pinang, dan dua lokasi keramat di wilayah adat.
“Hutan ini adalah titipan leluhur yang harus kami jaga. Pembabatan yang dilakukan perusahaan telah merusak kawasan keramat kami,” tegas Titi dengan nada geram.
Wilayah terdampak mencakup area Sagmese, Senusa Merapa, serta tempat sakral seperti Ka Wan Fafu Olon, Kaku Mokin Lahin, dan Olat Buru. Aktivitas pembalakan liar ini berlangsung sejak November hingga Desember 2024.
Hutan Buru Terancam Gundul
Menurut laporan Forest Watch Indonesia (FWI), PT WWI memperoleh izin usaha pada tahun 2009 dengan luas konsesi 33.245 hektare di Kabupaten Buru Utara. Namun, aktivitas perusahaan kini menjadi sorotan karena dugaan pelanggaran hak adat dan kerusakan ekosistem.
Ahli waris adat, Mantokos Nurlatu, menegaskan bahwa masyarakat akan terus melawan hingga hak-hak mereka diakui dan dilindungi.
“Kami siap berjuang sampai mati demi tanah dan hutan adat kami. Ini adalah warisan yang harus kami jaga untuk generasi mendatang,” pungkas Mantokos.
Penulis: Edison Waas Editor : Christ Belseran