titastory.id,denhag,-Peringatan Hari Pahlawan 12 April 2020 yang dirayakan warga keturunan Maluku di Belanda ditengah pandemi Covid-19 berlangsung secara sederhana. Perayaan tahun ini tanpa pawai seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pimpinan Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) Belanda, G. Watilette lewat suratnya hanya menghimbau pendukungnya untuk mengibarkan bendera setengah tiang dirumahnya masing-masing untuk mendukung kebijakan pemerintah Belanda dalam menghambat penyebaran Covid-19.
Watilette juga menyampaikan pidato secara tertulis lewat website resmi Pemerintah RMS di Belanda.
Dalam pidatonya, Watilette menyatakan 12 April 1966, Presiden ke-2 RMS, Mr. Dr. Christiaan Roberth Steven Soumokil telah dieksekusi atas perintah Presiden Indonesia, Soeharto.
Peringatan hari pahlawan 12 April adalah untuk mengenang semua orang yang telah mengorbankan hidup mereka untuk membela kedaulatan rakyat Maluku Selatan.
Watilete mengatakan, setelah penangkapan Dr. Soumokil pada bulan Desember 1963, pemerintah Indonesia secara tidak adil telah mengadili Soumokil dan divonis hukuman mati. Dr. Soumokil menyatakan naik banding atas putusan tribunal militer itu, dan hukuman mati dijadwalkan pada tanggal 25 April 1964.
Watilette juga menyebutkan, dari sudut hukum internasional, Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk mengadili seorang kepala negara. Ini harus dilakukan oleh pengadilan internasional, jika ada alasan untuk melakukannya.
Alasan‐alasan ini kata dia tidak ada, karena RMS memiliki hak untuk membela diri terhadap aneksasi ilegal teritorium oleh Republik Indonesia. Watilette juga menyoroti banyaknya warga sipil di Maluku yang mengorbankan hidupnya dan menjadi tahanan politik.
“Vonis politik terhadap Dr. Chr. Soumokil bertepatan dengan hari lahirnya RMS pada 25 April. Meskipun telah dieksekusi dengan hukuman tembak mati, perjuangan akan terus dilakukan hingga Bangsa Maluku Selatan memperoleh kebebasannya,”tegasnya.
Sebelumnya, Ny. Soumokil bersama anaknya juga telah mempertanyakan keberadaan makam suaminya yang telah dieksekusi pemerintah Indonesia. Perjuangan isteri alm. Chr Soumokil untuk menemukan kuburan suaminya masih terus dilakukan hingga saat ini.
Dikutip dari tempo.co, Chris Soumokil lahir dengan nama Christian Robbert Steven Soumokil. Ia lahir di Surabaya, Jawa Timur, 13 Oktober 1905. Dia menjabat presiden Republik Maluku Selatan dari 1950 sampai 1966.
Soumokil menempuh pendidikan di Surabaya hingga sekolah menengah atas. Dia kemudian pergi ke Belanda untuk belajar hukum di Universitas Leiden sampai 1934. Pada tahun 1935 ia kembali ke Indonesia dan menjadi pejabat hukum di pulau Jawa.
Pada 1942, penjajahan Jepang dimulai dan Soumokil ditangkap oleh tentara Jepang dan diasingkan ke Burma dan Thailand. Setelah perang usai, ia kembali ke Indonesia dan menjadi Jaksa Agung dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT). Ia kemudian mendirikan RMS, menjadi Menteri Luar Negeri RMS pada 25 April 1950, dan menjadi presiden pada 3 Mei 1950.
Pendirian Republik Maluku Selatan ini kemudian ditentang oleh pemerintah pusat. RMS dianggap memberontak. Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon.
Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang. Mereka kemudian menyerbu Maluku dan menumpas habis RMS.
Pada 2 Desember 1963 Soumokil ditangkap. Setelah ditangkap oleh tentara Indonesia ia dibuang ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Pada bulan April 1964 ia diadili dan dibela oleh pengacara Mr. Pierre-William Blogg, teman lamanya dari Leiden. Dalam persidangan Soumokil bersikeras berbicara dalam bahasa Belanda, walaupun bahasa ibunya adalah bahasa Melayu. Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhkan hukuman mati bagi Soumokil.
Soumokil kemudian dieksekusi oleh peleton tembak pada 12 April 1966 di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Sejak itu RMS berdiri di pengasingan di Belanda, Soumokil digantikan oleh Johan Manusama yang menjadi presiden RMS pada 1966-1992, kemudian digantikan Frans Tutuhatunewa hingga 2010 dan dia digantikan oleh John Wattilete.
Sementara dikutip dari artikel tirto.id dengan judul “Christian Soumokil dan RMS : Sejarah Pelik Separatisme Maluku” menyebut Soumokil semata pengkhianat tidaklah memberikan gambaran terhadap kompleksitas pasca-kemerdekaan.
Memang ada orang-orang yang ingin Belanda sepenuhnya kembali berkuasa. Tapi jauh lebih banyak lagi yang menyadari zaman telah berubah dan kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan sudah tak terhindarkan. Termasuk orang-orang yang di masa kolonial bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda pun banyak yang menyadari zaman telah berganti.
Bagaimana kemerdekaan itu dilaksanakan dan diisi, itulah pokok pertanyaan yang kerap melahirkan perdebatan panjang. Federalisme merupakan salah satu opsi yang banyak dibicarakan dan didiskusikan, bahkan sejak dalam sidang-sidang BPUPKI pada Mei-Juni 1945. Bung Hatta adalah salah satu orang yang pernah menyebut bentuk negara federal dalam sidang BPUPKI.
Federalisme mendapatkan cap buruk karena, terutama, pernah dipakai Belanda pasca-kemerdekaan RI untuk mempertahankan status quo. Sejak 1946, satu per satu bermunculan proklamasi kemerdekaan negara-negara di lingkungan Republik Indonesia. Salah satu pemicunya adalah Konferensi Malino yang berlangsung pada Juli 1946. Dari sanalah muncul Negara Borneo dan Negara Indonesia Timur. Selanjutnya muncul, misalnya, Negara Pasundan, Negara Madura, hingga Negara Jawa Timur.
Federalisme bahkan sempat menjadi resmi setelah Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Dari akhir 1949 hingga Agustus 1950, berdiri Republik Indonesia Serikat (RIS). Republik Indonesia (RI) hanyalah satu dari sekian negara bagian di lingkungan RIS. Namun eksperimen yang dipicu perundingan KMB itu gagal prematur. Pada 17 Agustus 1950, RIS bubar dengan sendirinya karena satu per satu negara-negara bagian itu memutuskan bergabung dengan RI.
Soumokil yang memang punya riwayat kedekatan dengan Belanda menganggap federalisme sebagai jalan tengah yang layak dicoba. Ditambah kecurigaan terhadap dominasi Jawa, federalisme memang memikat banyak kalangan.
Soumokil bukan satu-satunya orang yang tertarik dengan gagasan federalisme. Lagi pula, bukan hanya orang-orang yang pernah dekat dengan Belanda saja yang terbuka dengan federalisme. Bahkan Tan Malaka, yang seluruh hidupnya dikejar-kejar polisi kolonial, meyakini konsep Federasi Asia yang cakupannya merentang dari Asia Tenggara hingga Australia.
Namun eksperimen bersejarah itu memang harus tertelan oleh realisme politik yang lebih berpihak pada gagasan negara kesatuan. Segala yang berbau kolonialisme, di negara-negara pasca-kolonial, dengan mudah diidentifikasi sebagai musuh. Identifikasi yang sampai batas tertentu punya alasan psikis yang tidak bisa diremehkan: trauma kepada kolonialisme.
Soumokil sendiri menjadi Menteri Kehakiman lalu Jaksa Agung di Negara Indonesia Timur (NIT). Menurut A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 11: Periode Konferensi Meja Bundar (1977), ketika berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda, Soumokil pernah menjabat Wakil Perdana Menteri NIT juga. Soumokil termasuk orang yang menolak kehadiran pasukan APRIS dari Jawa.
Dalam statusnya sebagai jaksa itulah ia terlibat dalam persidangan Wolter Mongisidi. Dia menuntut hukuman mati Wolter, dan dikabulkan. Wolter dieksekusi pada 5 September 1949. Ironisnya, Soumokil di kemudian hari juga tewas dalam eksekusi hukuman mati. Soumokil dieksekusi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, pada 12 April 1966, tepat hari ini 53 tahun lalu. (titastory.id/tempo.id/tirto.id)