TITASTORY.ID– MASIH banyak masyarakat yang belum memahami dampak perubahan iklim. Meski isu ini telah banyak digaungkan lewat berbagai media baik oleh Pemerintah maupun Organisasi-organisasi lingkungan dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Isu Perubahan iklim (climate change) telah menjadi salah satu isu kepentingan global. Bahkan secara nasional isu perubahan iklim sudah menjadi perhatian sejumlah pihak. Terkait isu perubahan iklim, semua pihak diharapkan bisa terlibat dalam aksi nyata untuk mengendalikan perubahan iklim. Peran tersebut harus melibatkan setiap orang. Termasuk generasi muda.
Efek dari perubahan iklim seperti kenaikan suhu dan perubahan suhu yang ekstrem. Musim kering dan musim hujan tidak menentu. Hingga bencana alam yang kian sering terjadi sangat dirasakan saat ini.
Pemanasan global yang berkaitan dengan pengrusakan lingkungan dan berdampak pada naik suhu rata-rata bumi, menjadi isu penting dalam beberapa tahun belakangan ini. Panel antara Pemerintah tentang perubahan iklim (Interngovernmental Panel on Climate Change-IPPC) dalam laporan bahkan memberikan “Kode merah perubahan iklim”.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, juga perubahan jumlah dan pola presipitasi.
Berdasarkan Laporan Kajian Kerentanan Provinsi Maluku (USAID APIK), Grafik Proyek rata-rata suhu tahun 2025 menunjukan Maluku mengalami kecenderungan Maluku mengalami kecenderungan naik di suhu minimum yang menandai bahwa wilayah ini telah terindikasi terjadi perubahan iklim.
Wilayah Maluku merupakan satu dari sekian wilayah di Indonesia yang paling rentan terhadap bencana akibat dampak perubahan iklim. Aspek terdapak ada pada bidang pertanian dan bahan pangan, bidang kelautan dan perikanan, serta ketersediaan air minum, sosial ekonomi budaya serta tata kelola pemerintahan.
Perubahan dengan fenomena kanaikan permukaan air laut tidak hanya berdampak pada pengrusakan di daerah pesisir, namun dampak dari perubahan iklim ini pun mengancam potensi perikanan dan kelautan yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi berkisar 80 persen, khususnya masyarakat yang bermukim di daerah pesisir laut, dengan 1.412 pulau, dan luas daratan sebesar 7,6 persen dari total Wilayah Maluku.
Untuk wilayah darat, dampak yang dirasakan warga adalah rusaknya infrastruktur jalan dan tembok penahan ombak yang terjadi di sepanjang daerah pesisir, hal nya yang terjadi di kawasan Kecamatan Leihitu yakni Negeri Asilulu, Negeri Lima, dan Negeri Ureng. Kondisinya jalan beraspal pada sejumlah ruas sudah rusak dan tidak ada lagi, dan air laut menggenang di sejumlah titik, dan merusak tanggul penahan ombak.
Bahkan di tiga wilayah adat, di sisi Pulau Ambon ini pun tak jarang menjadi sasaran hantaman angin kencang disertai gelombang pasang tinggi. Fenomena yang juga menjadi ciri perubahan iklim ini pun jadi persoalan, yang sudah terjadi sejak 2010 hingga 2022, yakni perubahan ketinggian pasang air laut meningkat dua kali lipat.
Kondisi ini pun mengakibatkan terganggunya pasokan air bersih untuk masyarakat di ketiga negeri tersebut. Di Negeri Asilulu saja memaksa mereka menggunakan air laut untuk keperluan mandi, mencuci termasuk untuk aktivitas di MCK.
Melihat hal tersebut, Yayasan Harmoni Alam Indonesia (HAI) melakukan aksi kampanye kepada masyarakat dan komunitas pecinta lingkungan di Kawasan Negeri Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Kampanye perubahan iklim dilakukan lewat Program Yayasan Harmoni Alam Indonesia (HAI) dengan melibatkan Komunitas Meti Tetu, Masyarakat, Pemuda, Pelajar SD hingga SMA, serta komunitas pecinta lingkungan dan PDSKP Maluku. Aksi pembersihan sampah bertempat di kawasan pesisir pantai di Negeri Lima, sabtu (26/11/2022).
Secara global, bagi HAI merupakan upaya meningkatkan dan memperkuat kesadaran masyarakat khususnya partisipasi anak muda.
Kegiatan ini menunjukan bahwa jutaan masyarakat khususnya kaum muda di seluruh dunia tidak mendapat peran dalam sector public. Dengan adanya isu krisis iklim maka pendapat, persepektif dan representasi dari kaum muda di saat sekarang sangat dibutuhkan
Project Manager Yayasan Harmony Alam Indonesia (HAI), Iwan Parta menyampaikan kampanye dalam bentuk aksi pembersihan sampah yang melibatkan komunitas kalesang Meti Tetu yang adalah pemuda di Negeri Lima merupakan bagian dari upaya memperkuat kemampuan masyarakat untuk lebih siap dalam merespons perubahan iklim dan dampaknya.
Selain itu untuk memberikan pemahaman, HAI tentunya berkepentingan melibatkan pemuda dan pelajar di Negeri Lima untuk peduli terhadap lingkungan baik lingkungan pemukiman warga, pantai bahkan di dalam laut.
Menurut Iwan dengan melibatkan pemuda sebagai penggerak dalam memberikan pemahaman terkait isu perubahan iklim, maka kaum muda ini di harapkan dapat menjadi corong untuk mengampanyekan petingnya menjaga lingkungan lebih khusus sampah organik atau sampah plastik.
“Selama ini sampah itu dilihat sebagai hal yang biasa di pinggir pantai, sehingga dengan melibatkan pemuda yang juga memiliki kemauan dan kepedulian tinggi maka tentunya akan menjadi tim kerja yang bisa memberikan dampak dorongan kepada masyarakat di Negeri Lima untuk tidak lagi membuang sampah ke laut, tetapi bagaimana cara untuk mengelolanya.” ungkap Iwan.
Dijelaskan pula, kegiatan yang melibatkan pelajar dari tingkat SD, SMP dan SMA ini memiliki tujuan agar mereka mengetahui dan memahami terkait bahaya sampah, khususnya sampah plastik yang pada umumnya berasal dari sampah rumah tangga yang sering di buang ke laut.
Sehingga, katanya waktu yang tidak terpakai dan terbuang hanya untuk bermain bisa tergantikan dengan aktivitas berguna seperti memungut sampah. Maka dalam kurun waktu 2 sampai 3 tahun perilaku mereka akan berubah dan lingkungan pasti bersih.
“Kita ingin menyadarkan mereka bahwa lingkungan itu bisa rusak karena sampah, itu pesannya dari kegiatan ini,” tegasnya.
Dijelaskan pula, dengan melibatkan pemuda tentunya akan memberikan dampak jangka panjang terkait dengan metode pengelolaan sampah. Meski letak wilayah tidak satu pulau dengan pusat pemerintahan kabupaten namun mereka harus mampu untuk melakukan mitigasi.
“Ada hal yang kurang, yakni tidak ada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di Kecamatan Leihitu sehingga saat ini HAI melakukan edukasi dan pemahaman soal bagaimana melakukan pengelolaan sampah, membuang sampah yang sesuai sehingga lingkungan lebih khusus laut tidak kemudian menjadi tempat untuk menampung sampah,” ucapnya.
Kaitannya dengan masalah tersebut, Ia mengakui selalu pro-aktif dalam hal melakukan komunikasi dengan pemerintah Negeri (desa), terkait dengan adanya landasan hukum berupa peraturan negeri yang mengatur upaya menjaga lingkungan.
“Memang disadari perilaku membuang sampah di mana saja perlu ada solusinya dan peraturan dan himbauan juga harus disertai dengan solusi, dan dalam kaitan dengan itu akan dilakukan komunikasi terkait dengan penyediaan TPA,” ujarnya.
Imran Soumena, Sekretaris Negeri Lima, menjelaskan tingkat kesadaran masyarakat Negeri Lima untuk membuang sampah mengalami kemunduran. Dia bilang saat dilakukan pengkajian RPJM satu hal yang menjadi catatan penting adalah kebersihan lingkungan baik dipemukiman dan pesisir pantai. Sehingga atas hal-hal dimaksud, Ia katakan ini bisa menjadi pintu masuk kesadaran masyarakat.
“Negeri lima dalam sejarah dalam penataan negeri soal kebersihan pernah berjaya dalam even lomba kebersihan, namun hal itu kini sirna sehingga atas apa yang dilakukan dengan kehadiran HAI diharapkan bisa memberikan atau mengembalikan identitas Negeri yang cinta kebersihan,” ucap Imran.
Terkait dengan kedudukan sebagai pemerintah negeri, Imran juga menerangkan apa yang dilakukan sebagai terobosan oleh HAI dan melibatkan potensi pemuda dan pelajar di Negeri Lima akan menjadi perhatian khusus. Sehingga sebagai pemerintah negeri hal yang akan dilakukan adalah membentuk perilaku sadar lingkungan dan sadar mengelola sampah.
Fatur Selly, Ketua Kalesang Meti Tetu, mengatakan pemuda telah menerapkan gaya hidup berkelanjutan sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Saat ini menurutnya, Kalesang Meti Tetu juga tengah mengendalikan lingkungan dari bahaya kerusakan.
Cara ini merupakan langkah komunitasnya untuk bagaimana melindungi kerusakan lingkungan dan melindungi bumi dari efek pemanasan global maupun kenaikan suhu secara berkelanjutan yang berdampak pada perubahan iklim.
Kalesang Meti Tetu merupakan komunitas lingkungan hidup di Negeri Lima. Sejak tahun 2015 mereka aktif mengkampanyekan perlindungan dan menggerakan masyarakat khususnya kaum muda untuk ikut membuat perubahan dalam menghadapi pemanasan global, salah satunya adalah melakukan pembersihan lingkungan, baik di darat maupun laut.
Sejalan dengan itu, Kalesang Tetu juga turut terlibat menjalankan program Harmoni Alam Indonesia dengan melibatkan pemuda Negeri Lima untuk berkolaborasi mengkampanyekan pentingnya merawat lingkungan yang bersih dari sampah. Tujuan kolaborasi ini adalah ingin menunjukkan bahwa eksistensi komunitas pemuda yang peduli terkait penanganan sampah dan masalah lingkungan.
Mona Pelupessy, Fasilitator Perempuan Negeri Lima, Ureng dan Asilulu jelaskan penanganan masalah sampah maka yang dibutuhkan adalah campur tangan pemerintah, dalam hal penanganan sampah rumah tangga.
Ia berharap ada terobosan atau Langkah-langkah dari Pemerintah untuk menggelar pelatihan cara pengelolaan sampah yang selama ini digalakan kepada masyarakat. Tentunya ia bilang, sudah banyak pelatihan yang dilakukan Pemerintah untuk pengelolaan sampah ini.
“Harus ada pelatihan bagaimana cara memisahkan sampah yang bernilai ekonomis dan tidak bernilai ekonomis, semua itu tentunya butuh intervensi langsung pemerintah,” kata Mona.
Pantai Alternatif TPA
Dari hasil bersih bebas sampah di sepanjang pesisir pantai Negeri Lima, masih ditemukan tumpukan sampah yang tidak terkontrol dari masyarakat. Sampah-sampah ini pada umumnya berasal dari sampah rumah tangga masyarakat yang langsung di buang ke pantai.
Imran selaku Pemerintah negeri (desa) mengatakan Langkah yang diambil oleh masyarakat dengan membuang sampah ke laut karena tidak ada Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten sehingga, pantai adalah satu-satunya alternatif untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Selain itu, berbagai Langkah juga telah dilakukan kepada masyarakat salah satunya dengan melarang membuang sampah ke laut. Namun begitu, pemerintah sendiri tidak bisa menafikan solusi tempat pembuangan sampah bagi masyarakat.
“Kita ambil Langkah, namun kalau tidak ada TPA maka sama saja, meski telah kita bangun TPS-TPS di Desa ini,” ucapnya.
Meski demikian dirinya harapkan kepada masyarakat agar bisa menyadari pentingnya menjaga kebersihan lingkungan termasuk pantai dan laut.
Dia juga menerangkan dari proses pembersihan sampah yang dominan adalah sampah plastik dan baju bekas. tentunya butuh pergerakan dan butuh perhatian pemerintah dan menjawab kebutuhan dan keinginan masyarakat terkait TPA.
Brand Audit
Sampah-sampah yang dipungut di sepanjang pesisir pantai Negeri Lima, dari hasil brand audit dan pemilahan merk sampah yang banyak di konsumsi serta di buang masyarakat ke pesisir pantai. 50 sampel sampah di temukan lima merk industri besar di pesisir pantai Negeri Lima antara lain: Neste, Unilever, Kao Indonesia, Wing surya, Protect & gamble, indofood.
Rian Hidayat, Direktur Yayasan Harmoni Alam Indonesia (HAI) mengatakan sampah adalah bagian dari dampak perubahan iklim karena akan mempengaruhi kerusakan lingkungan pantai dan juga laut.
Untuk itu, pembersihan sampah ini menurut Rian, merupakan program HAI terhadap adaptasi perubahan iklim khususnya untuk tiga daerah pesisir di Pulau Ambon, yakni Negeri Asilulu, Negeri Lima dan Ureng. Program ini merupakan salah bentuk perhatian HAI untuk masyarakat terdampak perubahan iklim.
Terkait dengan hasil brand audit dan pemilahan merk sampah yang banyak di konsumsi serta di buang masyarakat ke pesisir pantai, Ia bilang akan berkordinasi dengan pemilik perusahaan produk tersebut agar ikut bertanggungjawab dalam menjaga kebersihan lingkungan.
Kondisi Laut
Realita lokasi penangkapan ikan (fhising ground) yang kian menjauh dan cukup berpengaruh pada kondisi alat tangkap ikan tradisional yang keberadaanya tidak lagi mampu mengatasi perubahan iklim, khususnya pada tinggi gelombang dan kekuatan angin.
Menurut nelayan setempat, sulitnya mendapatkan ikan tuna yang merupakan salah satu komuditi yang cukup menjanjikan di bidang ekonomi, namun harapan itu kian terkuras karena tidak lagi berimbang dengan besar biaya yang harus dikelaurkan atau biaya operasional yang kian mahal. Sementara untuk melakukan satu trip pencarian ikan belum tentu akan mendapat hasil yang bisa mengembalikan modal biaya yang telah dikeluarkan.
Seperti kata pepatah, ada asap, ada api adalah istilah yang berarti tidak akan ada akibat jika tanpa sebab. Begitu juga dengan kondisi perairan laut Negeri Lima yang mulai kesulitan hasil laut seperti ikan.
Noen Sangadji, dari Komunitas Pattimura Diving Society Unpatti (PADIS) mengatakan masalah yang ditemukan di dasar perairan Negei Lima adalah tumpukan sampah.
Secara umum diakui, kondisi terumbu karang, rata-rata telah rusak. Jenis ikan karang tidak lagi ditemukan.
“Setelah saya konfirmasi kepada warga di tiga negeri, ditemukan kebiasaan dan maraknya tembak ikan,” kata Noen usai melakukan diving di kawasan perairan Negeri Lima.
Pengamatan di dasar laut kata Noen juga melibatkan, petugas PDSKP Maluku dan juga masyarakat Negeri Lima. Alhasil, kondisi terumbu karang di sekitaran perairan Negeri Lima sangat memprihatinkan. Karena saat melalukan penelusuran dasar laut sejauh 2 kilometer, ditemukan kondisi terumbu karang yang rusak akibat aktivitas pengeboman yang dilakukan di masa lalu.
“Ikan karang tidak dijumpai, baik ikan kaka tua, ikan kerapu dan lain-lain, penyebabnya karena kondisi terumbu karang sudah rusak,” ungkap Noen.
Dia juga menjelaskan dalam proses penyelaman ditemukan juga begitu banyak sampah plastik, yang pada akhirnya harus diangkat ke darat.
Sampah itu punya efek untuk perkembangan karang, dan jika sudah rusak akibat aktivitas pengambilan ikan dengan menggunakan bom maka sudah pasti biota laut berupa ikan karang juga akan menjauh,” ucapnya.
Rian menjelaskan perubahan iklim sangat berdampak pesat pada penurunan hasil tangkapan ikan, yang diakibatkan oleh berpindahnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground), sehingga sampah yang dibuang ke laut ini berdampak langsung pada usaha perikanan yang merupakan tiang penyangga ekonomi untuk ekosistem pesisir.
“Cuaca yang tidak menentu, frekuensi siklon yang lebih intens telah menyebabkan terganggunya sistem operasional penangkapan,” ulasnya
Dikatakan, hal mendasar berkaitan dengan usaha perikanan adalah pada biaya operasional yang kian membengkak, dan ini pun disebabkan karena daerah tangkap ikan kian menjauh.
Ahli Oceanography dan Remote Sensing Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Dr. Harold J.D Waas, juga menjelaskan soal pemetaan fishing ground, mulai dari rantai makanan hingga penggunaan remote sensing.
Dijelaskan, berkaitan dengan rantai makanan dari di laut mulai dari zooplankton, fitoplankton, ikan kecil hingga ikan besar. Kemudian Dia jelaskan bagaimana ikan besar bisa bertahan di salah satu lokasi jika rantai makanan itu berjalan teratur. Namun jika tidak, tentu saja, fishing ground akan lebih jauh karena ikan besar atau ikan jenis tuna lainnya tidak bisa bertahan tanpa adanya pasokan makanan.
Selain rantai makanan, dosen ilmu kelautan ini juga menjelaskan tentang pemetaan Prakiraan Daerah Potensi Ikan (PPDPI), penginderaan jarak jauh kelautan dengan menggunakan remote sensing, bagaimana menggunakan satelit untuk mempermudah penangkapan ikan oleh para nelayan nantinya.
Subair, Dosen Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Dakwah Ushuluddin, IAIN Ambon dalam jurnal penelitiannya berjudul “Adaptasi Perubahan Iklim di Komunitas Desa: Study Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Desember 2013” menjelaskan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari perubahan iklim yang diidentifikasi dari pemahaman nelayan.
Penelitian Subair bersama peneliti lainnya dipusatkan di Negeri Asilulu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Perubahan iklim, dari hasil penelitiannya menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan yang dipicu oleh sulitnya menentukan musim dan wilayah tangkapan ikan, akibatnya biaya melaut membengkak terutama untuk biaya mengejar musim.
Nelayan melaporkan bahwa perubahan cuaca yang tidak bisa diprediksi ketika mereka sedang berada di laut sering memaksa mereka untuk kembali ke daratan bahkan sebelum memperoleh apa-apa. Pada musim ikan mati, apabila cuaca di lautan bisa dikuasai, dahulu nelayan setiap hari (kecuali pada hari Jumat) bisa melaut setiap hari sepanjang musim itu (berlangsung sekitar 3 bulan).
Dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata nelayan hanya bisa melaut sampai 15 trip perbulan. Bahkan pada ‘musim panen’ tahun 2011, nelayan sama sekali tidak melaut karena keadaan lautan yang tidak memungkinkan.
Dampak gelombang ekstrim serta badai membuat nelayan lebih memilih tidak melaut pada musim-musim untuk mencegah kemungkinan buruk yang dapat terjadi.
Dalam 10 tahun terakhir periode musim gelombang ekstrim serta badai semakin sering berakibat pada semakin seringnya nelayan tidak melaut yang berarti tidak adanya pemasukan untuk kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari. Jarangnya frekuensi melaut dan semakin membengkaknya biaya operasional berimplikasi kepada semakin tergantungnya nelayan kepada pedagang
Menghadapi pergeseran fishing ground yang semakin jauh ke tengah laut, sejak tahun 1990an nelayan mengganti perahu tradisional yang selama ini mereka gunakan dan buat sendiri dengan perahu berbahan fiber yang dibeli di luar desa.
Perahu fiber (nelayan menyebutnya bodi) bobotnya ringan dan bentuknya dimodifikasi untuk bergerak cepat memotong pergerakan ruaya ikan tuna. Sedangkan untuk menyesuaikan kondisi laut yang berombak lebih tinggi dari sebelumnya serta disertai angin kencang, nelayan mengembangkan teknik pemancingan menggunakan layang-layang yang cocok untuk memancing pada kondisi lautan yang berombak disertai angin kencang.
Layang-layang dibuat sendiri oleh nelayan, biasanya dari bambu atau rotan dan plastik yang anti air. Prinsip penggunaan layang-layang adalah membuat umpan seperti ikan umpan hidup yang bermain di air. Jadi ikan tuna mengejar umpan itu seperti mengejar ikan hidup. Dibutuhkan keahlian khusus menerbangkan layang-layang untuk mengatur umpan menyerupai ikan hidup. Penggunaan layang-layang menurut nelayan sangat efektif saat ini apalagi memancing dengan cara lama tidak mungkin dilakukan pada situasi seperti saat ini.
Selain itu, dalam jurnal yang ditulis Subair dkk, Ia menjelaskan antisipasi kenaikan air laut, terdapat beberapa strategi adaptasi yang dilakukan.
Pertama, membangun talit yang secara langsung dapat menahan kenaikan permukaan laut, hantaman gelombang pasang dan rob. Talut yang ada saat ini seluruhnya dibangun oleh pemerintah melalui beberapa proyek.
Kedua, nelayan membuat para-para yaitu tempat penyimpanan perahu selama tidak melaut di atas air laut mengantisipasi hempasan gelombang pasang yang berpotensi mengantam perahu. Para-para dibuat antara talut dan bibir pantai, dari batang kayu-kayu kecil yang tahan terhadap air laut.
Nelayan dalam penelitianya, tidak menanam pohon bakau sebagaimana adaptasi yang umum dilakukan untuk mencegah dampak kenaikan air laut dan gelombang pasang karena menurut mereka pantai di Asilulu berbatu sehingga pohon-pohon tidak bisa tumbuh dengan baik.
Dari Program Adaptasi perubahan iklim yang dijalankan Harmoni Alam Indonesia bersaam masyarakat di Tiga negeri (desa), Rian berharap, program adaptasi dan mitigasi perubahan ini dapat membantu masyarakat pesisir di lokasi program untuk meningkatkan ketahanan, mengurangi kerentanan (vulnerability) secara sosial, ekonomi dan ekologi dari ancaman dampak perubahan iklim.
“Terdapat empat komponen program yang akan kita laksanakan, terdiri komponen program yang bersifat pembangunan fasilitas/infrastruktur, pengembangan ekonomi alternatif, penguatan kapasitas masyarakat khususnya nelayan, dan melakukan langkah-langkah rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan,” jelasnya.
Kurangi Sampah Plastik
Seratusan pelajar dari tingkat SD, SMP, dan SMA berbaris dan mengantri usai gotong royong melakukan pembersihan pesisir pantai Negeri Lima, Maluku Tengah.
Para siswa-siswi sekolah ini mengantri demi mendapatkan tamber atau botol minuman. Tamber ini sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu membersihkan sampah di pesisir pantai, juga turut mengkampanyekan kebersihan lingkungan kepada masyarakat.
Selain ucapan terima kasih, pembagian tamber atau botol minuman kepada pelajar tujuannya adalah salah satu langkah strategis mengurangi konsumsi minuman kemasan yang selama ini jadi penyumbang sampah plastik.
“Sebagai pemuda kami ingin tunjukkan dan merupakan gerakan awal sehingga persoalan sampah dapat diatasi dan tentunya butuh perhatian pemerintah,” ucap Fatur.
Foto Utama: Foto Udara Suasana Pembersihan Pantai Yayasan Harmoni Indonesia (HAI), Masyarakat, Komunitas Pecinta Lingkungan, PDSKP Maluku serta Pelajar Sekolah di Negeri Lima