Hari HAM Internasional di Tengah Bencana Ekologi: Yayasan TIFA Sebut Banjir di Sumatera Sebagai Pelanggaran HAM Struktural

10/12/2025
Keterangan gambar" Logo yayasan Tifa

Jakarta, — Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember 2025, Yayasan TIFA menyatakan bahwa bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar bencana alam, melainkan bentuk pelanggaran HAM struktural akibat kerusakan lingkungan yang difasilitasi oleh negara. Bencana ini telah menewaskan ratusan warga, merusak ribuan rumah, serta menghancurkan ekosistem dan sumber-sumber penghidupan masyarakat.

“Tragedi ini adalah bencana ekologis yang merupakan perpaduan antara krisis iklim dan kerusakan alam di tingkat lokal,” ujar Firdaus Cahyadi, Program Officer Natural Resources and Climate Justice Yayasan TIFA. Menurutnya, banjir besar ini merupakan manifestasi dari kebijakan politik nasional yang mendorong tata kelola lingkungan bersifat eksploitatif.

Keterangan gambar: Banjir dan dampaknya, Foto Ilustrasi

Firdaus menjelaskan bahwa peningkatan frekuensi dan intensitas banjir di Aceh, Sumut, dan Sumbar memiliki korelasi kuat dengan deforestasi masif di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). “Perizinan kehutanan, pertambangan, serta perluasan perkebunan skala besar telah menghancurkan benteng ekologis yang seharusnya menjadi penahan air alami,” tegasnya.

Ia menyatakan bahwa tata ruang yang salah arah—yang memprioritaskan investasi ekstraktif di kawasan rawan bencana atau kawasan lindung—telah menciptakan kerentanan struktural bagi masyarakat. “Ini bukti kegagalan negara dalam menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan konstitusi.”

Hilangnya Nyawa dan Tempat Tinggal sebagai Pelanggaran HAM

Zico Mulia, Program Officer HAM dan Demokrasi Yayasan TIFA, menegaskan bahwa dampak bencana yang terjadi menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi warganya. “Ketika kerusakan lingkungan yang difasilitasi oleh kebijakan negara menyebabkan hilangnya nyawa, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang sehat, maka itu adalah pelanggaran HAM.”

Zico mengingatkan bahwa Aceh baru saja memperingati 20 tahun perdamaian pasca-MoU Helsinki. Yayasan TIFA yang mendukung kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mencatat lebih dari 5.000 korban pelanggaran berat HAM yang menanti pemulihan, namun kini banyak keluarga korban kembali kehilangan anggota keluarga akibat bencana ekologis.

Menurut Zico, korban bencana tidak hanya berhak atas bantuan darurat, tetapi juga hak atas pemulihan yang adil dan komprehensif. “Hak atas kesehatan, pangan, tempat tinggal, pendidikan, hingga penghidupan layak semuanya terlanggar akibat kerusakan lingkungan yang bisa dicegah,” ujarnya.

Yayasan TIFA mendesak pemerintah pusat dan daerah segera melakukan audit lingkungan dan perizinan terhadap konsesi yang berada di DAS dan kawasan hulu. “Hentikan penerbitan izin baru, lakukan moratorium permanen, dan cabut izin-izin yang terbukti menjadi pemicu kerusakan ekologis,” kata Firdaus.

Ia menekankan bahwa aparat penegak hukum harus mengusut korporasi dan oknum pejabat yang terlibat dalam deforestasi dan kegiatan ekstraktif ilegal. “Bencana ini memiliki karakter pelanggaran HAM ekologis. Penegakan hukum tidak boleh diabaikan.”

Pastikan Hak-Hak Korban Terpenuhi

Di sisi HAM, Zico menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memastikan pemenuhan hak dasar korban secara menyeluruh — dari kebutuhan pangan, kesehatan, hunian sementara yang layak, pendidikan anak, hingga dukungan psikososial. “Hal ini adalah amanat konstitusi dan instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia.”

Ia menambahkan bahwa pemulihan pascabencana harus dilakukan secara partisipatif. “Libatkan korban, komunitas lokal, dan organisasi masyarakat sipil dalam perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Transparansi penting untuk memutus impunitas dan mencegah keberulangan.”

Menurut Firdaus, bencana besar di Sumatera adalah peringatan bahwa alam Indonesia telah mendekati batas daya pulihnya.

“Negara harus berhenti menjadi fasilitator bagi perusak lingkungan dan segera kembali ke rel konstitusional,” pungkasnya.

error: Content is protected !!