titastory, Ambon — Willem Pentury tidak sedang menaklukkan medan ekstrem atau mengejar catatan prestasi pribadi. Lelaki Belanda keturunan Maluku itu justru mengayuh sepeda sejauh 100 kilometer melintasi pesisir Seram, dari Masohi hingga Tehoru, pada 14 November 2025, sebagai bentuk solidaritas bagi masyarakat adat yang kian terdesak di tanah leluhurnya.
Di tengah kabut isu perampasan tanah, ekspansi perusahaan tambak, kehutanan, hingga tambang nikel, Willem ingin perjalanan tunggalnya menjadi seruan keras bagi publik internasional dan pemerintah Indonesia: bahwa masyarakat adat Maluku sedang menghadapi tekanan besar dan membutuhkan perhatian.
“Ini bukan sekadar perjalanan bersepeda,” kata Willem kepada titastory. “Ini tentang menyoroti penderitaan masyarakat adat yang terus kehilangan tanah, ruang hidup, dan masa depan mereka.”

Kayuhan di Pesisir Seram
Rute yang dilalui Willem bukan rute singkat. Jalur pesisir Trans Seram membawanya menyusuri Sepa, Tamilouw, hingga Haya—negeri-negeri adat dengan kekayaan ekologis dan budaya yang mengakar kuat. Ia berkali-kali berhenti, sekadar menyaksikan laut Seram di kejauhan, atau mengagumi hutan pulau itu yang masih berdiri lebat meskipun terancam.
“Hutan Seram adalah rumah bagi begitu banyak spesies yang tak ada di tempat lain. Melihatnya langsung membuat saya makin yakin: kita harus menjaga ini untuk anak cucu,” ujarnya.
Pohon-pohon menjulang, suara burung Manusela yang khas, dan perkampungan adat yang berpadu dengan alam menjadi pengingat bahwa Pulau Seram bukan sekadar kawasan geografis, tetapi ruang kehidupan yang diwariskan turun-temurun.
Solidaritas Diaspora: “Kami Tidak Lupa Dari Mana Kami Berasal”
Willem, putra diaspora Maluku yang telah puluhan tahun tinggal di Belanda, menyebut aksi ini sebagai wujud cinta kepada tanah asal. Sebelumnya, pada 2019, ia melakukan pendakian ke Gunung Binaiya untuk menyerukan perlawanan terhadap deforestasi ilegal dan menggalang donasi bagi korban gempa.
Kali ini, ia kembali dengan misi yang lebih besar.
“Yang saya ingin capai hanyalah satu: menyuarakan bahwa masyarakat adat tidak boleh terus menjadi korban,” katanya.
Ia merasa masyarakat adat di Maluku semakin kehilangan ruang hidup karena ekspansi konsesi perusahaan, pemutihan kawasan, dan proyek-proyek baru yang kerap dibungkus narasi pembangunan.

Kampanye Donasi untuk Pendidikan dan Lingkungan
Perjalanan 100 kilometer ini tak berdiri sendiri. Willem mengaitkannya dengan kampanye donasi yang akan digunakan untuk:
- mendukung perjuangan masyarakat adat secara luas,
- memperkuat masyarakat sipil dalam memperjuangkan distribusi sumber daya yang adil,
- mendukung pendidikan lingkungan dan kegiatan literasi ekologis di Maluku.
“Kampanye ini untuk memastikan bantuan sampai ke kelompok yang benar-benar menjaga hutan, laut, dan budaya mereka,” ujarnya.

Ancaman Lingkungan dan Kriminalisasi Masih Nyata
Dalam satu dekade terakhir, tekanan terhadap masyarakat adat di Maluku meningkat tajam. Data liputan titastory menunjukkan:
- komunitas adat di Seram, Buru, Aru hingga Maluku Utara berulang kali dilaporkan menjadi korban kriminalisasi saat mempertahankan hutan,
- proyek tambang, perkebunan, hutan tanaman industri hingga tambak udang merusak sungai, hutan mangrove, dan kebun-kebun warga,
- konflik lahan terus meningkat seiring ekspansi investasi skala besar.
Bagi Willem, semua ini tidak boleh lagi dianggap sebagai isu periferal. “Kita butuh solidaritas global agar masyarakat adat mendapatkan perlindungan yang layak,” katanya.
Perjalanan panjangnya itu menjadi simbol perlawanan yang sederhana, namun kuat: sepasang pedal yang terus bergerak untuk suara-suara yang selama ini dipinggirkan.
