Amnesty Kecam Vonis Makar Aktivis Papua: Ekspresi Damai Dibalas Penjara

20/11/2025
Keterangan gambar: Keempat tahanan politik Papua bersama tim pengacara di PN Makassar (19/11/2025) (©LP3BH Manokwari)

Jakarta,– Putusan Pengadilan Negeri Makassar kembali menyorot tajam hubungan negara dan warga Papua. Empat aktivis Orang Asli Papua (OAP) asal Sorong Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Nikson Mai, dan Maksi Sangkek dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara atas dakwaan makar. Amnesty International Indonesia menilai putusan itu bukan hanya keliru, tetapi menunjukkan pola berulang kriminalisasi terhadap ekspresi politik damai di Tanah Papua.

Vonis dijatuhkan pada Rabu, 19 November 2025. Perkaranya bermula dari aksi keempat aktivis yang mendatangi sejumlah kantor pejabat di Sorong untuk mengantarkan surat pernyataan dan klaim politik Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB). Tidak ada kekerasan. Tidak ada pengerahan massa. Hanya selembar surat.

Namun bagi aparat penegak hukum, tindakan itu dianggap ancaman terhadap negara. Keempatnya langsung dibawa ke Makassar—ratusan kilometer dari kampung asal untuk diadili.

Ilustrasi

Kriminalisasi Ekspresi Damai

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyebut vonis ini sebagai kemunduran serius bagi perlindungan hak asasi manusia. “Alih-alih berpihak pada HAM, PN Makassar justru terlihat menjadi alat untuk merepresi kebebasan berekspresi orang asli Papua,” ujarnya.

Menurut Amnesty, tindakan para aktivis itu masih berada dalam koridor kebebasan berpendapat yang dijamin Pasal 28E UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Aspirasi politik, termasuk yang bertentangan dengan pandangan negara, tidak bisa dipidanakan selama disampaikan secara damai.

Kasus ini mengingatkan pada pola kriminalisasi serupa tahun-tahun sebelumnya, ketika aktivis Papua kerap dijerat pasal makar hanya karena mengibarkan bendera, menyampaikan petisi, atau mengirim surat pernyataan politik.

Ilustrasi

Ketidakkonsistenan NegaraAmnesty juga menyinggung ketidakkonsistenan pemerintah. Pada Agustus lalu, Presiden memberikan amnesti kepada enam tahanan politik Papua dalam kasus serupa. Namun tidak berselang lama, aktivis lain kembali ditangkap dan diadili menggunakan instrumen hukum yang sama.

“Negara harus segera membebaskan empat aktivis tersebut tanpa syarat,” kata Adiwena. Baginya, menghukum ekspresi damai hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap negara.Meski kasus terjadi di Sorong, proses persidangan berlangsung di PN Makassar. Pemindahan ini memicu kritik dari sejumlah pegiat HAM karena dinilai menjauhkan terdakwa dari keluarga dan tim pendamping hukum.

Di sisi lain, Amnesty kembali menegaskan bahwa pihaknya tidak mengambil sikap atas status politik Papua. “Namun kebebasan berekspresi, termasuk menyampaikan pandangan politik secara damai, harus dihormati,” demikian pernyataannya.

Tanda Bahaya bagi Demokrasi Papua

Putusan PN Makassar, bagi berbagai kelompok hak asasi, memperkuat kesan bahwa ruang sipil di Papua terus menyempit. Ekspresi damai dibatasi, sementara aparat keamanan semakin dominan dalam memaknai tindakan warga sebagai ancaman kedaulatan.

Di tengah upaya pemerintah memperbaiki situasi keamanan dan membuka ruang dialog, vonis makar atas empat aktivis ini justru mengirim sinyal sebaliknya: kritik dan aspirasi politik tetap dianggap ancaman.

Bagi Amnesty, ini bukan sekadar soal empat orang. Ini soal demokrasi. Soal bagaimana negara memperlakukan suara minoritas. Dan soal bagaimana Papua melihat masa depan hubungan dengan Indonesia.

error: Content is protected !!