Kepulauan Kei, — Warga Ohoiwait di Pulau Kei Besar mendesak Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa segera mencabut izin operasional PT Batulicin Beton Asphalt (PT BBA), perusahaan tambang batu kapur yang dituding masuk tanpa persetujuan dan menggusur lahan adat. Warga menilai aktivitas perusahaan melanggar adat karena menabrak hawear (sasi adat) yang telah dipasang di wilayah petuanan.
Aksi protes warga muncul setelah perusahaan yang merupakan anak usaha PT Jhonlin Group menebang tanaman umur panjang milik masyarakat tanpa kesepakatan. Dalam sebuah video yang dibagikan akademisi Universitas Pattimura, Prof. Dr. Zainuddin Notanubun, warga menuntut kompensasi sebesar Rp1 miliar atas 10 pohon durian yang ditebang perusahaan.
“Sebagai ahli waris, saya berhak mempertanyakan siapa yang memberikan izin. Tidak ada penjualan hak tanah. Kami menuntut Rp100 juta per pohon sebagai ganti rugi,” ujar Dahlan Ingratubun, salah satu pemilik hak ulayat.

Warga menegaskan bahwa hawear yang mereka pasang adalah tanda larangan adat yang wajib dihormati siapa pun, termasuk perusahaan. Namun meski belum ada perjanjian atau perundingan formal, PT BBA mulai menggusur kebun warga untuk pembangunan akses jalan tambang.
Desakan Hentikan Operasi dan Usut Pelanggaran
Warga meminta Kapolda Maluku memerintahkan personel kepolisian di Kei Besar menghentikan aktivitas PT BBA yang dianggap merusak tanah, menebang tanaman produktif, dan melanggar hak adat mereka. Mereka juga mendesak pemerintah daerah memastikan proses ganti rugi dilakukan secara adil dan transparan.
Menurut warga, keberadaan perusahaan bukan hanya mengancam ruang hidup, tetapi juga membuka potensi konflik sosial karena masuknya industri tanpa menghormati struktur adat yang berlaku turun-temurun.
“Ini tanah warisan. Tidak bisa seenaknya digusur hanya karena perusahaan ingin membangun jalan tambang,” tegas Dahlan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi dari manajemen PT BBA maupun Pemerintah Provinsi Maluku.
