titastory, Ternate – Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan mengunjungi Maluku Utara pada 29 Juni 2025 untuk meresmikan pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik (EV) di Maba, Halmahera Timur. Proyek yang disebut-sebut sebagai ekosistem baterai kendaraan listrik terintegrasi terbesar di dunia ini merupakan hasil investasi perusahaan asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology Limited (CATL). Pembangunan ini akan mencakup seluruh proses dari tambang, pemurnian, HPAL (High Pressure Acid Leach), hingga produksi prekursor dan katoda.
Namun, di balik klaim transisi energi yang “hijau”, pembangunan ini justru memperparah krisis lingkungan dan sosial yang telah lama terjadi di Halmahera. Nilai investasi proyek ini mencapai USD 6 hingga 7 miliar dan berdiri di atas luka-luka ekologis serta konflik yang belum usai.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, sepanjang paruh pertama tahun 2025, lebih dari 50 warga mengalami kriminalisasi dan kekerasan saat mempertahankan ruang hidup mereka. Dinamisator JATAM Malut, Julfikar Sangaji, menyatakan bahwa negara justru merespons perjuangan warga dengan tindakan represif, bukan perlindungan.
Contoh nyata terjadi pada awal Juni 2025, saat 28 warga Maba Sangaji ditangkap paksa oleh aparat saat melakukan aksi damai di atas tanah adat mereka. Ironisnya, sebagian warga ditangkap ketika sedang menjalankan ritual adat. Dari jumlah tersebut, 11 orang kini ditahan di Lapas Kelas IIA Ternate sebagai tersangka.
Yang lebih mengkhawatirkan, proyek ini juga mengancam eksistensi suku terasing O’Hongana Manyawa di pedalaman Halmahera. Suku yang hidup nomaden dan menggantungkan hidup sepenuhnya pada hutan ini terancam punah akibat perluasan industri nikel. Kebutuhan bahan baku pabrik baterai EV akan mendorong perluasan tambang ke wilayah hutan adat yang selama ini menjadi rumah dan sumber kehidupan mereka.
Hilirisasi yang Merusak
Ketua Salawaku Institute, M. Said Marsaoly, menyebut proyek ini sebagai kelanjutan dari kebijakan hilirisasi rezim ekstraktif yang telah menjerumuskan Halmahera ke jurang kehancuran. Dalam pandangannya, proyek ini hanyalah dalih transisi energi yang mempercepat penjarahan sumber daya alam, bukan solusi iklim.
Dua kawasan industri besar saat ini sudah menunjukkan dampak destruktif: PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah dan Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Keduanya mendominasi lahan, mencemari sungai, merusak wilayah tangkap nelayan, serta menurunkan ketersediaan pangan masyarakat lokal.

Di wilayah IWIP, Sungai Ake Kobe tercemar berat dan tak lagi layak digunakan warga. Studi terbaru dari Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako menunjukkan ikan di sekitar kawasan industri ini telah terpapar logam berat seperti merkuri dan arsenik, bahkan 47 sampel darah warga juga mengandung merkuri.
Tak hanya di darat, emisi industri juga membebani atmosfer. Smelter Harita Nickel, misalnya, menghasilkan hampir 8 juta ton setara CO₂ pada 2023. Ini setara dengan emisi dari hampir dua juta mobil dan menyumbang sekitar 1 persen emisi nasional.
Krisis Sistemik, Krisis Kemanusiaan
Pemerintah kerap mengklaim proyek ini sebagai langkah hijau demi menekan perubahan iklim. Namun faktanya, proyek ini justru melanggengkan ketergantungan pada energi kotor. Pasokan listrik pabrik-pabrik ini tetap menggunakan batubara dalam jumlah besar—mendorong pembongkaran lebih lanjut di Kalimantan dan wilayah lain.
Alih-alih menghentikan ekspansi tambang, negara terus mendorong proyek yang memperburuk ketimpangan sosial dan bencana ekologis. Bagi masyarakat adat dan warga Halmahera, “transisi energi” ini bukanlah penyelamat, tetapi menjadi wajah baru kolonialisme sumber daya yang menyingkirkan manusia demi industri.
Survival International: “Ini Hukuman Mati bagi Suku Terasing O’Hongana Manyawa”
Sementara itu, sebelumnya, organisasi internasional pembela hak masyarakat adat, Survival International, telah mengeluarkan rilis yang memberikan warning keras terhadap kunjungan Presiden Prabowo ke Halmahera. Dalam pernyataannya, Sophie Grig, Peneliti Senior Survival, menyatakan bahwa pengumuman pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik ini merupakan bencana bagi sekitar 500 orang O’Hongana Manyawa – masyarakat adat yang hidup terisolasi di hutan Halmahera.

“Rencana ini akan mempercepat penghancuran hutan hujan yang menjadi rumah mereka. Jika pembangunan ini diteruskan, berarti rumah, penghidupan, makanan, obat-obatan, dan identitas masyarakat O’Hongana Manyawa akan hancur. Ini akan membunuh mereka secara perlahan,” kata Grig.
Direktur Survival International, Caroline Pearce, menegaskan bahwa konsesi pertambangan nikel telah mencaplok lebih dari 40 persen wilayah adat suku tersebut. “Ini adalah hukuman mati yang dikemas sebagai transisi energi,” ujarnya. Pearce juga meminta pemerintah Indonesia untuk segera menetapkan zona bebas tambang di wilayah adat O’Hongana Manyawa demi mencegah pemusnahan mereka.
CATL, mitra utama dalam proyek ini, diketahui merupakan pemasok utama baterai untuk perusahaan seperti Tesla, Volkswagen, Ford, dan BMW. Survival menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional yang terlibat dalam rantai pasok nikel Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah proyek.
Penulis : Redaksi